Masuk Daftar
My Getplus

Jejak Filantropi Orang Indonesia

Filantropi kuno di Indonesia berbentuk gotong royong. Berkembang seiring masuknya pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 03 Jun 2020
Prasasti Yupa menjadi salah satu bukti tertulis tertua tentang tindakan filantropi di Indonesia. (Wikimedia Commons).

Berbagi itu menyenangkan. Selama masa pandemi Covid-19 dan ekonomi sulit ini, orang menggelar banyak kegiatan berbagi secara sukarela (filantropi). Dari konser penggalangan dana sampai lelang barang. Semangat berbagi muncul dari beragam alasan dan pihak. Bisa karena alasan kemanusiaan atau keagamaan; dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat.

Filantropi memiliki akar kuat di Indonesia. Ia semula berwujud berbagi tenaga kasar. Biasanya gotong-royong untuk membangun rumah atau membuka pertanian dengan semangat menjaga hubungan komunal. Lalu agama Hindu-Buddha masuk dan mengganti semangat filantropi sesuai keyakinan pemberinya.

Leona Anderson dalam “Contextualizing Philanthrophy in South Asia: a Textual Analysis of Sanskrit Source”, menyebut filantropi materi dalam tradisi Hindu sebagai dana. Ada pula bentuk filantropi Hindu lainnya bernama seva, yaitu kerja bakti untuk membangun dan menghidupkan kegiatan kuil atau pura.

Advertising
Advertising

Sementara itu dalam konsep Buddha, filantropi menjadi sebuah kelaziman. Filantropi tidak hanya untuk manusia, tapi juga kepada semua makhluk. Tujuannya membuat semua makhluk berbahagia. Demikian catat Leslie S. Kawamura dalam “The Mahayana Buddhist Foundation for Philanthropic Practices”.

Baca juga: Kutai Kartanagara pada Zaman Kuno

Banyak prasasti dan naskah menunjukkan rasa welas asih sejumlah penguasa Hindu-Buddha di Sumatra dan Jawa kepada pertapa dan rakyatnya. Prasasti Yupa menyebut kedermawanan Raja Mulawarman di Kutai (Kalimantan Timur) menyumbang 20.000 sapi kepada pendeta. Sementara itu, di Jawa, naskah Desawarnana dan Negarakrtagama, mengabadikan kebiasaan derma di lingkungan keraton Majapahit.

Filantropi Islam

Seiring kedatangan Islam ke Nusantara, filantropi kembali mempunyai isi dan bentuk baru. Amelia Fauzia, doktor jebolan University Melbourne, Australia, dalam Filantropi Islam: Sejarah Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia mengungkap tiga bentuk filantropi Islam: zakat, sedekah, dan wakaf.

Zakat berarti pembersihan kekayaan dan jiwa seseorang. Bentuknya ada dua: fitrah dan mal. Fitrah biasanya diberikan saat akhir bulan Ramadan dan berbentuk bahan pangan pokok. Sedangkan mal ialah zakat kekayaan berupa hasil pertanian atau emas. Keduanya memiliki kriteria penerimanya. Seidaknya ada tujuh golongan.

Sedekah memiliki bentuk mirip dengan sumbangan, hadiah, dan hibah. Wakaf merujuk pada cara pengelolaan sedekah berkelanjutan berupa aset tidak bergerak seperti tanah dan bangunan.

Ketiga filantropi ini berkembang selama masa kesultanan Islam. Semuanya bersifat sukarela. Tapi zakat punya keunikan tersendiri. Ia memang sukarela, namun secara hukum agama bersifat wajib bagi tiap muslim. Apabila zakat tak ditunaikan, seorang muslim akan menanggung dosa. Sementara itu, dua bentuk filantropi lainnya bebas dari dosa jika tak ditunaikan oleh muslim.

Baca juga: Kebebasan Beragama Masa Kesultanan Islam di Nusantara

Para penguasa kesultanan mempunyai sikap berbeda dalam memperlakukan filantropi. Sebagian mereka membentuk pengumpul resmi untuk filantropi Islam. “Para penguasa dengan orientasi keagamaan yang ortodoks cenderung menggunakan institusi zakat sebagai alat penguasa untuk memaksa,” catat Amelia.

Tapi mayoritas penguasa kesultanan memperlakukan zakat tidak sebagai peraturan penguasa. Mereka membiarkan orang mempraktikannya secara sukarela.

Para penguasa seringkali mencontohkan rakyatnya untuk menyukai filantropi. Tome Pires, seorang penjelajah dari Portugis, merekam kegiatan filantropi penguasa dan rakyat kesultanan di pantai utara Jawa dalam Suma Oriental Perjalanan Dari Laut Merah ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues, suntingan Armando Cortesao.

“Para moor (sebutan Pires untuk orang Islam tempatan, red.) memberinya sedekah dan mereka akan sangat bahagia jika pertapa ini berkunjung ke rumah-rumah mereka,” ungkap Tome Pires.

Disalahgunakan

Memasuki abad ke-19, pengaruh kesultanan Islam surut. Kekuasaan kolonial Belanda mulai pasang. Tapi filantropi Islam masih berlangsung. Pemerintah kolonial memilih tidak ikut campur urusan filantropi Islam. Ini terejawantah dalam Bijblad No. 407 tahun 1858. Mereka tidak melembagakannya seperti sejumlah kesultanan Islam. “Praktik filantropi menjadi sepenuhnya urusan pribadi,” tulis Amelia.  

Kebijakan pemerintah kolonial ternyata membawa perkembangan pesat pada filantropi Islam. Ulama dan pesantren tampil menjadi pusat penggerak filantropi. Banyak orang menyerahkan zakat, sedekah, dan wakafnya langsung kepada para ulama atau pesantren. Dari dua pelaku ini, bentuk-bentuk filantropi ini diteruskan kepada yang membutuhkan.

Baca juga: Kisah Snouck Hurgronje: Ilmuwan, Petualang, dan Mata-mata

Jejak, bentuk, dan pengelolaan filantropi Islam pada masa kolonial tercatat dengan baik dan berlimpah dalam catatan Snouck Hurgronje, Penasihat Urusan Masyarakat Pribumi dan Muslim untuk Pemerintah Kolonial Belanda (1899–1906). 

Snouck bahkan mengisahkan sejumlah orang berupaya memanipulasi latar belakangnya agar berhak menjadi penerima filantropi Islam. Mereka memoles dirinya selaik guru agama.

“Banyak orang menyamar sebagai guru, hanya dengan maksud untuk mendapat hak semu atas hadiah-hadiah yang saleh (zakat, fitrah, sedekah) dari jemaah yang baik,” tulis Snouck dalam Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889–1936.  

Baca juga: Filantropi Masa Resesi Ekonomi di Hindia Belanda

Snouck juga menyoroti masih adanya sejumlah penguasa lokal membebankan zakat harta kepada rakyatnya. “Bahwa ada beberapa orang yang, karena keserakahan pemerintah daerah pribumi, konon diharuskan membayar zakat sampai 5-6 kali dalam musim panen yang sama,” lanjut Snouck.

Tapi itu sangat langka terjadi dan tidak mengurangi sedikit pun semangat rakyat untuk melakukan filantropi. Dari rentetan kisah itu, kelihatan filantropi menjadi DNA orang Indonesia.

TAG

filantropi

ARTIKEL TERKAIT

Pengelolaan Zakat Fitrah Masa Kolonial Filantropi Masa Resesi Ekonomi di Hindia Belanda Radius Prawiro Mengampu Ekonomi Masyarakat Desa Jurus Devaluasi dan Deregulasi Radius Prawiro Jusuf Muda Dalam Terpuruk di Ujung Orde Radius Prawiro Arsitek Ekonomi Orde Baru Jalan Radius Prawiro Menjadi Ekonom Orde Baru Tuan Tanah Cakung Indo-Priangan Kiprah Radius Prawiro di Masa Perang Para "Ekonom" Perintis Selain Margono