Masuk Daftar
My Getplus

Dirut yang Menyelamatkan Garuda dari Bangkrut

Robby Djohan ditunjuk menjadi dirut ketika Garuda Indonesia akan dibangkrutkan oleh para kreditur.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 07 Des 2019
Pesawat Garuda Indonesia. (airliners.net/Wikimedia Commons).

Garuda Indonesia pernah nyaris bangkrut karena utang yang besar kepada para keditur asing. Utang dalam dolar digunakan untuk menutupi kerugian selama tujuh tahun maskapai penerbangan nasional itu. Kondisinya menjadi sangat parah ketika krisis ekonomi pada 1998. Nilai tukar rupiah meroket menjadi Rp15.000 per dolar Amerika Serikat.

Presiden Soeharto menugaskan Menteri BUMN pertama, Tanri Abeng, untuk menyelamatkan Garuda. “Ini tentang Garuda yang akan dibangkrutkan oleh krediturnya. Tugas saudara menyelamatkan agar Garuda tidak di-grounded karena Garuda membawa bendera Republik,” kata Soeharto.

Soeharto menyerahkan map berisi berkas Garuda kepada Tanri Abeng. Setelah mempelajari berkas itu, dia menyimpulkan bahwa tidak satu pun dari direksi Garuda saat itu yang tahu duduk persoalannya. Maka seluruhnya harus diganti. Namun, dirutnya mantan ajudan Soeharto. Konon tidak ada yang bisa menggeser mantan ajudan yang ditugaskan Pak Harto di suatu tempat. Ternyata, Soeharto menyetujui pergantian semua direksi Garuda.

Advertising
Advertising

“Mengapa hanya dirutnya? Ganti seluruh direksi, di situ sudah lama ada mafia,” kata Soeharto yang menyerahkan sepenuhnya perombakan direksi Garuda kepada Tanri Abeng.

Baca juga: Menyelamatkan Garuda Indonesia dari Kebangkrutan

Dalam No Regrets, Tanri Abeng menyebut tiga kriteria dalam memilih dirut Garuda yang baru. Pertama, agar keuangannya tidak berdarah-darah lagi, maka dia harus tahu keuangan. Kalau bisa dia berasal dari perbankan. Orangnya harus kredibel agar dapat dipercaya kreditur. Kedua, dia harus jujur agar dapat memberantas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Ketiga, kepribadiannya harus kuat karena dia harus melakukan perubahan.

“Kriteria itu hanya ada di Robby Djohan,” kata Tanri Abeng yang telah mengenalnya selama 20 tahun. “Robby ketika saya tawari posisi tersebut menyatakan bahwa dia tak butuh kerjaan karena dia sudah kaya dan ingin pensiun.”

Tanri Abeng membujuknya. Robby bersedia dengan dua syarat “beri saya kewenangan mengambil orang-orang yang saya mau dan kasih waktu enam jam per hari.”

Tanri Abeng menyetujuinya dengan mengatakan, “Anda butuh enam, dua atau dua puluh jam sehari terserah asal pekerjaan selesai.”

Menurut Rhenald Kasali dalam Change! Robby sendiri mengakui tak tahu apa-apa tentang bisnis penerbangan. Satu-satunya pengalaman yang dia miliki hanyalah menjadi penumpang. Selebihnya dia menghabiskan hidupnya di dunia perbankan (Bank Niaga) dan perhotelan. Wajar saja dia risau. Apalagi utang Garuda saat itu telah mencapai 1,2 miliar dolar, lebih besar dari seluruh asetnya.

Baca juga: Teroris Membajak Pesawat Garuda

Selain itu, Garuda memiliki karyawan hampir 13.000. Padahal kebutuhannya hanya sekitar 6.000 orang. Banyak rute yang tidak produktif, sepi penumpang tetapi dibiarkan bertahun-tahun. Citra pelayanannya buruk, sering delay tanpa pemberitahuan. Sehingga Garuda diplesetkan sebagai Garuda Always Reliable Until Delay Announced.

“Singkatnya, Garuda telah salah urus,” tulis Rhenald.

Robby Djohan, Direktur Utama Garuda Indonesia (Februari-Oktober 1998). (katadata.co.id/syuef.blogspot.co.id).

Menurut Roby Djohan dalam bukunya, The Art of Turn Around, manajemen Garuda tidak pernah diurus secara profesional: pengangkatan CEO tidak berdasarkan keahlian manajerial, keputusan-keputusan strategis tidak diambil oleh direksi tapi oleh siapa saja dari Cendana, BPPT, Menteri Perhubungan, atau Menteri Keuangan. Akibatnya, banyak kontrak aneh. Misalnya, pesawat Airbus 330 disewa dengan harga 1,2 juta dolar padahal hasilnya paling tinggi 800 ribu dolar. Belum lagi perilaku para direksi sebelumnya yang mencampuradukkan keperluan bisnis dengan keperluan pribadi.

Pada hari-hari pertama kerja, Robby disambut dengan demonstrasi karyawan Garuda. Kepada mereka yang menamakan diri Tim Reformasi, Robby mengatakan, “kesulitan utama memang adalah tidak adanya acceptance, karena organisasi seperti ini biasanya sudah dikuasai oleh establishment yang kuat. Sulit bagi mereka menerima seorang stranger yang dianggap belum tentu mampu dan jangan-jangan akan membubarkan establishment yang sudah dibangun. Tapi saya tidak mau mundur. Saya malah menyatakan bahwa Garuda sebenarnya sudah bangkrut dan saya di sini akan berusaha memperbaikinya."

Baca juga: Kecelakaan Pesawat Garuda di Mumbai India

Robby meminta Tim Reformasi atau serikat pekerja tidak ikut campur soal manajemen. Soal kesejahteraan diselesaikan bersama. Tim Reformasi akhirnya tak terdengar lagi. Tapi juru bicaranya belakangan menjadi teman yang baik dalam pembenahan manajemen.

Menurut Tanri Abeng, untuk menerbangkan Garuda agar bertahan di udara, Robby butuh uang Rp800 miliar untuk rasionalisasi karyawan. Dia berjanji selama satu tahun uang akan kembali. Ternyata, dalam delapan bulan saja utangnya telah dibayar.

Keberanian juga dibutuhkan untuk menghadapi kreditur. Sebagai bankir, Robby tahu caranya memperlakukan debitur-debitur saat mengalami kesulitan membayar. Dengan Emirsyah Satar, direktur keuangannya yang juga seorang bankir, dia berangkat ke London untuk berbicara dengan Bank Exim negara-negara Eropa.

"Benar saja, mereka langsung menggebrak, mengintimidasi dengan suara keras, dan mengancam akan menyita pesawat A330 yang disewa," tulis Rhenald.

Baca juga: Bailout Garuda Indonesia dari Bangkrut

Dengan tenang, Robby menjawab: “Saya datang bukan untuk memecahkan masalah saya tapi masalah Anda. Alasan utama mengapa Garuda kolaps adalah karena bank-bank internasional memberikan pinjaman kepada Garuda yang neraca keuangannya defisit. Dari pengalaman saya selama 30 tahun di bank, saya tidak dapat memahami itu. Dan jika Anda ingin mengambil kembali pesawat Anda, silakan lakukan karena tidak produktif bagi kami.”

“Negosiasi berlangsung alot awalnya, tapi Robby dan Emirsyah Satar tak mau mundur. Dia hanya mau membayar pinjaman dalam tempo 16 tahun dengan bunga satu persen di atas SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate). Keras, tapi bisa berakhir dengan baik,” tulis Rhenald.

Baca juga: Awal Profesi Pramugari di Indonesia

Tak sampai setahun Robby memimpin, Garuda selamat dari kebangkrutan. Baginya, restrukturisasi berarti membuang yang jelak-jelak dengan melakukan perubahan-perubahan mendasar. Kepemimpinan, proses manajemen dan operasional, pemasaran, dan sebagainya diubah secara bersamaan.

Karena manajemen Garuda sudah bisa keluar dari kesulitan, Tanri Abeng memutuskan untuk menarik Robby kembali ke habitatnya di perbankan. Dia meminta Robby untuk memimpin proses merger empat bank bermasalah.

“Ketika saya tawarkan posisi ini ke Robby, dia tak mau kembali ke dunia perbankan. Dia sudah terlanjur kecantol cantik-cantiknya pramugari Garuda,” kata Tantri Abeng. Namun, akhirnya Robby menerima tantangan untuk memimpin proses mega merger jadi Bank Mandiri.

TAG

penerbangan garuda indonesia robby djohan tanri abeng soeharto

ARTIKEL TERKAIT

Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Ledakan di Selatan Jakarta Supersemar Supersamar Sudharmono Bukan PKI Dianggap PKI, Marsudi Dibui Dulu Rice Estate Kini Food Estate Dari Petrus ke Kedung Ombo Soeharto Nomor Tiga, Mendagri Murka pada Lembaga Survei Soeharto Nomor Tiga, Lembaga Survei Ditutup Soeharto, Yasser Arafat, dan Dukungan untuk Palestina