Masuk Daftar
My Getplus

Cerita Keluarga Pengusaha Es dari Magelang

Perang Dunia II membuat keluarga juragan es ini kehilangan anak dan sumber mata pencaharian. Hengkang dari Indonesia pada 1950-an.

Oleh: Petrik Matanasi | 02 Agt 2023
Bekas pabrik es O'Herne di Magelang. (Ilustrasi: Yusuf Awaluddin/Historia)

Marcelle Dolle kaget. Dia tak menyangka di suatu hari tahun 1974 itu bakal kedatangan tamu yang tak pernah terpikirkan. Sebab, bukan hanya jauh asalnya tamu itu tapi juga “bagian” dari masa lalu Marcelle.

Frits August Kakiailatu, yang biasa dipanggil Ventje, nama tamu itu. Ia merupakan anak dari Alfaris Willem Kakiailatu, salah satu karyawan di pabrik es milik Robert Chevalier, suami Marcelle.

Hidup membawa Alfaris Willem Kakiailatu ke Magelang, kampung kelahiran istrinya yang juga berdarah Ambon. Laki-laki asal Nusa Laut, Saparua ini setelah lebih dari 20 tahun berdinas di tentara kolonial Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) memilih menjalani hidup di Magelang.

Advertising
Advertising

Setelah pensiun pada 1923, Alfaris bekerja sebagai tenaga administrasi pabrik es terkenal di Magelang, N.V. Magelangsche Ijs en Mineralwaterfabriek Chevalier O'Herne. Koran De Locomotief  edisi 25 Agustus 1934 menyebut pabrik itu didirikan pada 1883 oleh E. O'Herne. Dia merupakan kakek dari direktur perusahaan tersebut ketika Alfaris bekerja di sana, yakni Robert Chevalier. Robert sendiri merupakan anak dari Louise Marie O'Herne dan Victor Joseph Chevalier.

Awalnya, pabrik itu menjual es seharga 15 sampai 20 sen per pon. Namun karena terjadi “perang es” akibat persaingan harga dengan para pesaing, pabrik O'Herne pun menurunkan harga jual esnya dari 20 sen menjadi 4 sen.

Pabrik O'Herne memproduksi antara 25 kg hingga 50 kg es per jam dari 1883 hingga 1891. Jumlah itu meningkat ketika modernisasi dilakukan Joseph Chevalier antara 1891 hingga 1920. Modernisasi itu berupa penggantian mesin lama dengan dua mesin baru yang mampu membuat 100 kg es per jam dan 200 kg es per jam. Mesin-mesin itu digerakkan kincir angin berbahan besi. Sebelumnya, kincir yang menggerakkan mesin terbuat dari kayu.

Robert mulai memimpin O’Herne sejak 1920. Di bawah Robert, pada 1930-an pabrik O'Herne memiliki 6 kompresor yang kesemuanya mampu menghasilkan 1.200 kg es per jam. Namun O'Herne tak hanya memproduksi es dan air mineral saja, tapi juga memproduksi  “aer blanda”, limun, penghancur, sirup, dan lain-lain.

Selain di Magelang, N.V. Magelangsche Ijs en Mineralwater Fabriek seperti disebutkan De Locomotief edisi 26 Maret 1936, memiliki dua pabrik es di tempat lain. Jadi perusahaan ini punya tiga pabrik.

Robert Chevalier yang telah dianggap sebagai penduduk asli, Magelanger, lalu menikahi Marcelle Dollé. Koran De Locomotief (25 Agustus 1934) menyebut Marcelle Dollé berbisnis bunga di Magelang. Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (13 Oktober 1919) memberitakan pasangan Robert-Marcelle dikaruniai bayi pada 9 Oktober 1919. Bayi itu mereka beri nama Jean Robert Chevalier.

Ketika Perang Dunia II meletus, tentara Hindia Belanda merekrut banyak pemuda masuk tentara. Jean Robert Chevalier –yang disapa Nono– ikut bergabung dengan KNIL. Sebagai pemuda berpendidikan, Nono menjadi siswa pelatihan perwira cadangan –yang disebut Corps Opleiding Reserve Officiern (CORO)– di Bandung. Pada 1942 dia mendapat pangkat sersan.

Namun, Nono kemudian ditawan setelah KNIL menyerah pada tentara Jepang . Kartu tawanan perang Jepang atas nama dirinya di Arsip Nasional Belanda menyebut Nono memiliki nomor stamboek 167419. Setelah setahun ditawan di Jawa, Nono dipindah ke Osaka Jepang pada Juli 1943. Cerita tentang Nono akhirnya usai setelah ajal menjemputnya pada 9 Januari 1944 di Kamp Tsumori karena menderita colitis.

Bisnis es O’Herne pun terganggu. Setelah Perang Dunia II selesai, bisnis O’Herne tetap tak bisa berlanjut karena Magelang tidak aman bagi orang Belanda. Magelang adalah daerah perang antara Republik Indonesia dan Belanda.

Keluarga Chevalier akhirnya hijrah ke negeri Belanda. Di sanalah Robert Chevalier meninggal dunia sekitar tahun 1961.

Sekitar tahun 1974, salah satu anak laki-laki Alfaris yang bernama Frits August Kakiailatu, biasa dipanggil Ventje, tugas belajar ke Negeri Belanda. Anak itu pun meluangkan waktu menyinggahi keluarga Chevalier. Dia bertemu Marcelle Dolle.

“Apakah kamu benar-benar seorang dokter, Ventje?” tanya Marcelle alias Nyonya Chevalier seperti dikutip Ventje dalam Pak Harto, Pak Nas, dan Saya.

Marcelle tak percaya jika anak bekas KNIL yang pernah bekerja di perusahaan suaminya itu bisa jadi dokter. Maklum, di zaman kolonial hanya anak penggede saja yang bisa jadi dokter.

“Silahkan ditanyakan saja ke AZL (Academisch Ziekenhuis Leiden (akademi rumah sakit Leiden, red.), apakah ada dr Kakiailatu bekerja di sana,” jawab Ventje –yang kemudian jadi dokter Angkatan Laut RI dengan pangkat akhir Laksamana Pertama–  agak kesal.

TAG

perang dunia ii knil

ARTIKEL TERKAIT

Gugurnya Arung Rajang Ibu dan Kakek Jenifer Jill Siapa Penembak Sisingamangaraja XII? Thomas Nussy versus Anak Cik Di Tiro Hukuman Penculik Anak Gadis Dulu Para Sersan Berserikat Pengawal Raja Charles Dilumpuhkan Orang Bali Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Setelah Gerard van Daatselaar Ditawan Kombatan Minahasa dalam Serangan Umum