SUATU malam di Batavia pada 1930-an. Seorang perempuan Tionghoa, yang sebelumnya mendapat surat kaleng, bergegas menuju sebuah hotel di Kota. Tujuannya: mencari si pengirim surat, seorang perempuan tanpa identitas yang butuh pertolongan segera. Tiba di hotel, dia menemukan sebuah tong yang bergoyang. Dia buka. Isinya seorang gadis berusia sekira 14 tahun; si pengirim surat. Gadis itu baru datang dari Tiongkok, tak mengerti bahasa Melayu, dan akan dijadikan pelacur.
Dia langsung menolongnya, membawa gadis malang itu ke panti asuhannya. Dari gadis Tiongkok itu, dia mendapat banyak informasi mengenai cara kerja para pedagang manusia (human trafficking).
Aktivisme semacam itu kerap dilakukan Auw Tjoei Lan, yang lebih dikenal sebagai Nyonya Lie Tjian Tjoen. Dia lahir pada 17 Februari 1889 di Majalengka. Ayahnya, Auw Seng Hoe, adalah seorang pengusaha sekaligus Kapitan Tionghoa, yang memiliki kebun tebu dan pabrik gula. Kapitan Auw peduli kemanusiaan. Dia melakukan sejumlah kegiatan amal; menolong para gelandangan, tunanetra, dan tunawisma dengan menyediakan makanan dan tempat tinggal. Jiwa filantropi ayahnya menurun pada diri Auw Tjoei Lan.
Auw Tjoei Lan menekuni upaya pemberantasan perdagangan perempuan setelah menikah dengan Lie Tjian Tjoen, anak Mayor Tionghoa Lie Tjoe Hong, dan pindah ke Batavia. Dia tinggal di rumah mertua yang terletak di tengah kota, di Jalan Pintu Besar. Dia tak betah, tak biasa hidup di tengah kondisi hiruk-pikuk. Tapi kekecewaan itu tak bertahan lama. Melalui perantaraan pendeta Van Walsum, dia bertemu dr Zigman, bekas gurunya yang mengajar bahasa dan kebudayaan Belanda. Zigman mengajaknya ikut mengurus Ati Soetji, organisasi bentukan dr Zigman dan beberapa kawannya seperti Van Hindeloopen dan Soetan Temanggoeng. Organisasi ini menampung perempuan-perempuan yang terpaksa melacurkan diri karena kesulitan ekonomi dan yang didatangkan dari daratan Tiongkok lalu dijual dan dipaksa jadi pelacur di rumah-rumah bordil.
Dia sangat berdedikasi. Dia tak takut keluar malam sendirian, demi menyelamatkan perempuan yang butuh pertolongan. Gadis-gadis asal Tiongkok itu rata-rata masih belia, berusia belasan tahun. Tak jarang dia menghadapi bahaya yang mengancam jiwanya. Ancaman itu terutama datang dari para batauw (mucikari), yang merasa bisnisnya terancam.
Pernah suatu ketika seorang batauw mencekiknya lantaran tak terima dengan upayanya membebaskan gadis yang akan dijadikan pelacur. Centeng, yang jadi kaki tangan batauw, pernah mengancam akan membunuhnya. Pemerasan oleh batauw pernah pula terjadi. Tapi dia tak goyah.
Perdagangan perempuan sudah marak kala itu. Awalnya perempuan-perempuan itu dijual untuk dipekerjakan sebagai pembantu. Lama-lama mereka dijual untuk dijadikan pelacur. Mereka umumnya didatangkan dari daerah-daerah di Tiongkok yang miskin, terutama dari Amoy dan Macau –dikenal dengan istilah macaopo. Jumlahnya meningkat ketika terjadi malaise pada 1930-an. Ditambah lagi Malaya memperketat perdagangan perempuan asal Tiongkok. “Hampir semua penduduk Tionghoa sudah tahu, bahwa di Batavia orang bisa pesan Macaopo atau sing-song girls, sebab saban malam mereka mondar-mandir deleman atawa auto di Pantjoran,” tulis Keng Po, 8 Mei 1939. “Dagang ‘madat’ lebih susah daripada ‘dagang daging manusia’.”
Selain Ati Soetji, Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI) –sebuah organisasi hasil bentukan Kongres Perempoean Indonesia Pertama di Yogyakarta, 22-24 Desember 1928– ikut bergerak. Dalam kongresnya tahun 1932, masalah itu menjadi salah satu fokus bahasan. PPPI lalu membentuk Perkoempoelan Pemberantasan Perdagangan Perempoean dan Anak dan mendirikan asrama perempuan sebagai tempat berlindung bagi perempuan "terlantar" dan mengembangkan kreasi perempuan. Organisasi lainnya: Madjoe-Kamoelian, Po Leung Kuk, Indo-Europeesch-Verbond Vrouwen Organisatie, dan Comite Pembrantasan Perdagangan Anak-anak. Partai-partai juga terlibat dalam upaya memberantas perdagangan manusia dan prostitusi, misalnya Sarekat Islam.
“Isu tentang trafficking in women and children merupakan entry point bagi gerakan perempuan dalam melawan kolonialisme,” tulis Saskia Eleonora Wierengga dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia.
Pada Februari 1937, Liga Bangsa-Bangsa, yang sudah lebih sepuluh tahun absen menggelar konferensi perdagangan perempuan, kembali membahas isu ini dalam konferensi di Bandung. Auw Tjoei Lan hadir mewakili Indonesia. Dia bicara dengan berangkat dari pengalaman pribadinya. Dia mengusulkan agar, “perempuan-perempuan diberi pendidikan khusus, agar dapat dipekerjakan sebagai reserse perempuan,” tulis Myra. Tujuannya, “untuk memberikan rehabilitasi kepada perempuan-perempuan ini agar dapat mengubah nasibnya.” Dia juga usul, “agar pemasukkan perempuan-perempuan itu diberantas, paling tidak dikurangi.”
Praktik ini sulit diberantas. Malahan setelah pendudukan Jepang atas China, jumlahnya terus meningkat. Mereka masuk ke Hindia Belanda, sekalipun ada pengawasan ketat, lantaran ada kongkalikong antara pedagang, polisi, dan pejabat imigrasi serta tak ada penindakan tegas terhadap mereka. “Pejabat imigrasi dan lain-lain instansi yang bersangkutan bekerja sama untuk memasukkan mereka, dan sebelum dipekerjakan mereka dipakai oleh pejabat-pejabat terlebih dahulu,” tulis Myra Sidharta dalam “Nyonya Lie Tjian Tjoen Seorang Perempuan Yang Peduli” yang dimuat dalam Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard.
Perjuangan Auw Tjoei Lan yang tanpa henti menarik perhatian banyak pihak. Polisi sering menggunakan jasanya. Banyak media perempuan seperti majalah Istri dan Fu Len memujinya. Bahkan pemerintah Belanda menganugerahinya bintang Ridder in de Orde van Oranje Nassau.
Selanjutnya baca: Auw Tjoei Lan Pelindung Kebajikan