"HAL terburuk yang bisa dilakukan seorang pria adalah menjadi botak. Jangan pernah membiarkan dirimu botak!” begitu kata Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Takut botak sudah dirasakan pria-pria lain jauh sebelum Trump lahir.
Madeline Warner dalam laman The Iris menulis kebotakan menjadi salah satu sumber kekecewaan para pria Romawi Kuno. Mereka begitu memperhatikan gaya rambut. Kendati begitu, sikap mereka terhadap kebotakan berbeda-beda tergantung pada usia, jenis kelamin, dan status sosial.
Pada kasus tertentu, kebotakan pada pria dianggap sebagai karakteristik pria Romawi yang terhormat dan bijaksana. Kepala plontos atau setengah plontos seringkali digunakan sebagai protes para filsuf.
Khususnya pada periode Republik (509-27 SM), potret tokoh-tokoh berpengaruh Romawi sering memilih untuk digambarkan dengan kepala botak yang berkilau, hidung besar, dan kerutan ekstra. Ini semacam untuk mengekspresikan tahun-tahun yang telah mereka persembahkan bagi negara Romawi.
Baca juga: Saat Kepala Menjadi Utama
Namun, lepas dari nuansa patriotisme, kemunduran garis rambut menjadi hal yang hampir tak diinginkan. Kaisar Domitianus (berkuasa 81-96 M) sampai tak bisa tidur karena rambutnya terus menerus rontok.
Para pria kemudian akan mewarnai dan mengkriting rambut mereka. Ini sebagai cara mengindari uban dan penipisan, sehingga mereka akan tetap terlihat awet muda. Pada masa itu menjadi botak dan beruban acap dikaitkan dengan kesehatan yang memburuk.
Sayangnya, mewarnai rambut juga bisa membuat mereka jadi bahan lawakan. Pria-pria itu akan dicurigai botak dan mencoba menyamarkannya. Salah satunya penyair Romawi, Martial, yang mengejek pria-pria botak dalam karyanya.
Baca juga: Gaya Rambut Sapu
“Pada rambut botakmu tidak ada rambut palsu yang kau gunakan. Kau menggambar rambut, tanpa alasan. Setidaknya tak ada tukang cukur yang perlu memotongnya. Kau dapat menghapusnya dalam satu menit,” kata Martial dalam Epigrams.
Menutupi kebotakan juga pernah menjadi obsesi Julius Caesar. Politikus terkenal Romawi itu mencoba segalanya untuk menumbuhkan kembali rambutnya.
“Karangan daun salam yang dikenakannya tidak lebih dari upaya menutupi kepalanya yang mengkilap,” tulis BBC.
Melissa Hogenboom di laman itu menulis, pada saat Caesar bertemu Cleopatra, dia telah hampir sepenuhnya botak. Dalam upaya terakhir untuk menyelamatkannya, Cleopatra pun merekomendasikan obat buatannya sendiri dari tikus tanah, gigi kuda, dan minyak beruang.
Tetapi tetap tak berhasil. Caesar akhirnya kehilangan rambut sama seperti tokoh besar sebelum dan sesudahnya: Socrates, Napoleon, Aristoteles, Gandhi, Darwin, Churchill, Shakespeare, dan Hippocrates. “Pada akhirnya rambut di bagian bawah mulai tumbuh dan Caesar menyisirnya ke arah depan, teknik yang kemudian disebut sebagai 'gaya ilusi'. Sekarang dinamakan comb-over,” tulis BBC.
Baca juga: Model Rambut Anti Kemapanan
Jika Cleopatra mencoba menyembuhkan kebotakan Caesar dengan ramuan tikus tanah, gigi kuda, dan minyak beruang, orang Viking punya resep berbeda. Mereka membubuhkan lotion yang terbuat dari kotoran angsa. Adapun ahli pengobatan kuno Yunani, Hippocrates, percaya kalau obat terbaik bagi kebotakan adalah kotoran burung merpati dicampur dengan lobak, jinten, dan jelatang.
Sementara satu resep Mesir berusia 5.000 tahun menyarankan untuk merendam duri landak yang dibakar dalam minyak. Lalu mencampurnya dengan madu, pualam, oker merah, dan kerokan kuku. Ramuan itu kemudian dioleskan ke daerah yang mengalami kebotakan.
Botak Penyakitan
Kebotakan kerap dibicarakan dalam istilah yang kedengaran seperti penyakit. Gejala ini sekarang punya nama ilmiah, yaitu androgenic alopecia. Ini sebutan bagi kebotakan kalau rambut yang rontok lebih banyak dibanding yang tumbuh.
Dulu Aristoteles (384–322 SM), seorang filsuf Yunani, berpikir kebotakan disebabkan karena seks. Lalu orang-orang Romawi Kuno menyalahkan helm logam yang terlalu berat, yang membuat pria-pria di kalangan militer mengalami kerontokan rambut berlebih.
Ada juga yang menyebut kebotakan disebabkan oleh kekeringan otak. Ini dipercaya telah menarik kepala dari akar rambut dengan membuat volume otak menyusut.
Baca juga: Akar Historis Penyakit Sifilis
Sementara di Eropa pada abad ke-16 kebotakan dianggap memalukan karena dikaitkan dengan penyakit kelamin. Pada 1580, penyakit sifilis merupakan epidemi terburuk yang menyerang Eropa sejak wabah Maut Hitam pada 1347 hingga 1351. Tanpa antibiotik, korban penyakit ini akan menghadapi serangkaian gejala, seperti luka terbuka, ruam, kebutaan, demensia, termasuk kerontokan rambut yang merata. Padahal, Mentalfloss menulis, pada saat itu rambut panjang adalah simbol status. “Kepala botak bisa menodai reputasi apapun,” catat laman itu.
Itu salah satunya diungkapkan administrator angkatan laut Inggris, Samuel Pepys dalam buku hariannya yang terkenal itu. Dia menulis kalau saudara laki-lakinya terinfeksi sifilis. “Kalau saudaraku hidup, dia tak akan bisa menunjukkan kepalanya, yang mana itu akan sangat memalukan bagiku,” tulis Pepys.
Karena malu, para korban pun akhirnya menyembunyikan luka mereka dengan rambut palsu. Sampai-sampai, pada masa itu produksi rambut palsu melonjak drastis.
Baca juga: Kala Kepala dan Kuku Dipungut Pajak
Bukannya menjadi tren, memakai wig malah menjadi kebutuhan yang memalukan. Itu setidaknya sampai 1655, ketika Raja Louis XIV dari Prancis pada usianya yang ke-17 juga mulai kehilangan rambut. Karena takut kebotakan merusak reputasinya, dia pun menyewa 48 pembuat wig untuk menyelamatkan citranya.
Lima tahun kemudian, sepupu Louis, Raja Inggris Charles II, melakukan hal yang sama ketika rambutnya mulai beruban. “Kedua pria itu kemungkinan menderita sifilis,” tulis Mentalfloss.
Pejabat istana dan bangsawan lainnya pun segera meniru kedua raja itu. Mereka memakai wig, yang kemudian membuat gaya itu mengalir ke kelas menengah dan atas. Mode terbaru Eropa pun lahir.
Sementara pada 1897, seorang dermatologi Prancis mengumumkan telah menemukan penyebab sebenarnya dari kebotakan, yaitu mikroba. Karenanya, sisir harus direbus secara teratur. Anggota keluarga yang botak pun tak boleh menggunkan sisir apapun selain yang mereka pakai.
Baca juga: Gaya Rambut Nabi Muhammad
Ribuan tahun kemudian, pria-pria masa kini telah pindah dari karangan bunga dan ramuan yang menjijikkan ke krim, tonik dan sampo yang mahal. Ada juga yang sampai mengkonsumsi obat dan pil tertentu hingga operasi tanam rambut.
Di belahan dunia lain, nampaknya menjadi botak tak dikaitkan dengan penyakit tertentu. Di Tiongkok dikenal gaya rambut queue. Gaya ini dibuat dengan mencukur licin kepala depannya dan membuat kepangan panjang di belakang kepala. Model rambut ini menjadi identitas bagi pria dari Manchuria dan kemudian dikenakan oleh orang Han selama Dinasti Qing.
Ada pula chonmage, yang merupakan gaya potong rambut tradisional ala pria Jepang. Ini biasanya dihubungkan dengan samurai dan Zaman Edo. Potongan rambut ini punya ciri bagian depan yang dibotaki. Sisanya, pada kepala belakang, rambutnya diikat ke atas.
Baca juga: Samurai dalam Pembantaian Banda
Konon, menurut laman Japan Info, gaya ini menguntungkan bagi mereka yang ingin menyembunyikan gejala kebotakan. Tetapi karena samurai berstatus sosial tinggi, model rambut ini justru menjadi simbol status.
Lalu gaya rambut plontos dipopulerkan pesepakbola asal Brasil, Ronaldo. Ia memiliki poni pada bagian depan rambutnya. Sementara bagian belakang kepalanya dibiarkan licin. Gaya rambutnya itu kemudian malah menjadi tren.
Kini justru banyak aktor sukses yang setia dengan kepala botaknya, seperti Bruce Willis, Jason Statham, Vin Diesel, dan Dwayne Johnson. Mereka kerap dipasang untuk karakter tokoh utama yang penuh aksi bukannya orang yang dicemooh karena kepalanya mengkilap.*