Masuk Daftar
My Getplus

Tanggal Salawe (25 Desember 1881) di Cianjur

Seperti halnya Lebaran, anak-anak dan para jemaat mengenakan baju baru di hari Natal.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 10 Des 2010

SUATU pagi, Hari Natal Kedua, 26 Desember 1881, 26 jemaat Cianjur merayakan Perjamuan Kudus. Sebelumnya, utusan Injil (zendeling) Christiaan Albers menerima peti berisi bermacam-macam hadiah dari Negeri Belanda.

Albers merupakan zendeling tertua di Jawa Barat. Dia tiba di Batavia pada 1863, kemudian ditugaskan di Cianjur hingga tahun 1886. Albers menceritakan perayaan Natal di Cianjur dalam suratnya kepada Pengurus Pusat Perhimpunan Pekabaran Injil Belanda (NZV) tanggal 4 Januari 1882. Surat tersebut diterjemahkan Th. van den End dan disertakan dalam buku Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat 1858-1963.

Menurut Th. van den End, NZV lahir dari Perhimpunan untuk Memajukan Karya Pekabaran Injil yang didirikan di Rotterdam oleh sejumlah “sahabat zending” pada 2 Desember 1858. Pembentukan ini merupakan bentuk kekecewaan mereka terhadap haluan yang ditempuh Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG), lembaga pekabaran Injil terpenting di Negeri Belanda.

Advertising
Advertising

Di Hindia Belanda, NZV menguasai daerah Priangan atas anjuran beberapa tokoh Kristen di Batavia. Pada 1863 para utusan NZV yang pertama menetap di Bandung dan Cianjur, termasuk Albers. Sementara di Cirebon dan Indramayu telah berdiri gereja dengan jemaat terdiri atas orang-orang Tionghoa, dengan dua utusan menetap di sana.

“Orang Sunda ternyata menutup diri terhadap Injil, sedangkan orang Tionghoa memberi harapan,” tulis van den End. “Beberapa kali seorang utusan NZV menjalin hubungan dengan orang Baduy di Banten Selatan. Tapi pemerintah Hindia Belanda tak mengizinkan kegiatan pekabaran Injil di tengah kelompok terpencil yang menganut agama Jawa asli itu.”

Tak heran jika Albers merasa senang perayaan Natal di wilayahnya berlangsung meriah.

“Jadi, perlu dibuat pohon Natal,” kata Albers. Dibantu para jemaat, dia membuat pohon Natal dari batang pohon pisang yang besar, lalu dihiasi barang-barang cemerlang, dedaunan wiringin dan kamuring, bunga mawar, dan bunga-bunga lain yang beraneka warna dan bentuk. Setelah itu, pohon itu dihias 70 lebih lilin dan dimuati berbagai hadiah dari bawah sampai atas.

Pukul setengah delapan para peserta pesta masuk. Pohon Natal itu berkilauan cahaya, sehingga memudarkan lampu-lampu lainnya. “Orang Sunda kita, besar-kecil, duduk di atas tikar di sepanjang dinding, sedangkan orang Eropa mengambil tempat di atas kursi dan bangku,” kata Albers.

Setelah menyanyikan sebuah lagu, Albers membagikan hadiah.

“Baju menjadi hadiah yang paling disenangi. Mereka yang tidak perlu diberi baju, seperti (janda) Nyonya Cohen, orang Tionghoa dan istrinya, mendapat cangkir. Anak-anak kami dan beberapa anak Eropa lainnya, jumlahnya enam orang, dan orang dewasa, mendapat hadiah masing-masing,” kata Albers. “Tak seorang pun bertangan kosong. Ini sungguh suatu kenikmatan!”

Kegembiraan Albers melihat anak-anak dan sebagian orang Kristen memakai baju baru, sebelumnya juga diceritakan dalam suratnya tanggal 2 Januari 1880. “Saya menyadari bahwa (di Nederland) akan ada banyak tokoh yang anggun, arif, dan bijaksana, barangkali juga nona-nona yang serupa, menganggap ini menggelikan.”

Albers menerima saja penilaian itu, tapi dia tetap gembira karena mereka harus berusaha keras agar dapat berpenampilan begitu. Untuk itu mereka terpaksa melakukan pengeluaran yang menurut ukuran mereka cukup besar. “Mereka mau melakukannya, karena hari itu merupakan Hari Raya Kristen, karena Natal bagi mereka merupakan pesta Kristen yang artinya dirasakan dalam hati. Menurut saya agama Kristen mulai memiliki tempat di hati mereka, dan selain adat Islam lahirlah adat Kristen. Bukankah pada Lebaran orang Islam memakaikan baju pada anak-anaknya? Ternyata orang Kristen melakukannya pada Natal. Tentu saja kejadian ini tak akan begitu memukau dan menarik bagi saya seandainya saya telah memberi perintah, isyarat, atau teguran. Sebaliknya, gejala ini sepenuhnya timbul dari jemaat sendiri.”

Pada 1899, J. Verhoeven, zendeling yang bertugas di Majalengka (1878-1882), mencatat bahwa bagi orang Kristen Indonesia, termasuk orang Kristen Sunda, Natal menjadi pesta Kristen yang utama. “Orang Kristen Sunda menamakannya tanggal salawe (tanggal 25-Red), dan memandangnya sebagai lebaran mereka,” tulis Verhoeven.

Pentingnya Natal di mata orang Kristen Sunda dibuktikan oleh kejadian yang berlangsung di jemaat Gereja Rehoboth di dekat Indramayu pada 1915. Van de Weg, zendeling di Juntikebon Indramayu, menulis dalam suratnya tanggal 2 Februari 1916 bahwa jemaat mengabaikan gedung gerejanya hingga roboh dan tak mau memperbaikinya kalau tak mendapat upah. “Tapi, ketika mereka sadar bahwa gedung itu merupakan tempat perayaan Natal mendatang, dalam sekejap mata mereka membangun gereja baru.”

Tapi, secara umum, sejak sekira tahun 1870-an para tenaga NZV sudah putus harapan. Mereka yakin, kegiatan pekabaran Injil di tengah orang Sunda tak akan membawa hasil yang berarti. Mereka pun menyarankan agar NZV beralih ke luar Pulau Jawa. Akhirnya pada 1913, setelah menerima usulan dari A.J. Bliek, zendeling di Jatinegara (1906-1926), Pengurus Pusat NZV memutuskan membuka medan kerja baru di Sulawesi Tenggara. Meski begitu, di Jawa Barat para zendeling tetap bertugas. Hingga 1932, terdapat 5.497 orang Kristen pribumi dan Tionghoa.

Pada 1933, sesudah peninjauan, Dr H. Kraemer, utusan Lembaga Alkitab Belanda, menganjurkan agar Jemaat-jemaat di Tanah Pasundan dipersatukan dalam sebuah gereja mandiri, terlepas dari pemeliharaan sehari-hari NZV. Pada 14 November 1934, Gereja Kristen Pasundan menjadi gereja yang berdiri sendiri.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Percobaan Pembunuhan Leon Trotsky, Musuh Bebuyutan Stalin Sponsor Jersey Timnas Indonesia dari Masa ke Masa Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Siapa Penembak Sisingamangaraja XII? Roland Garros Pahlawan di Udara Mendarat di Arena Tenis Sejarah Prajurit Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan