KRISTEN Protestan di Sulawesi Tenggara pernah berjaya di era Hindia Belanda. Jumlahnya terus meningkat: 2609 jiwa pada medio 1930-an, 2806 jiwa pada akhir 1937, 3270 jiwa pada akhir 1940 masih ditambah calon baptis 6000 jiwa. Pada masa yang sama, majalah De Opwekker khusus Kristen berbahasa Belanda, mencatat jumlah penganut Protestan di seluruh Hindia Belanda sekira 700.000 orang, 100.000 orang di antaranya adalah orang Eropa.
“Fakta ini menimbulkan pertanyaan, mengapa di Sulawesi Tenggara pada masa kolonial Hindia Belanda mengalami perkembangan yang pesat. Berbanding terbalik dengan kondisi kekinian di mana penganut Protestan hanya sekitar satu persen dari seluruh jumlah penduduk Sulawesi Tenggara,” ujar Basrin Malamba, sejarawan dari Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara.
Kristen Protestan di Sulawesi Tenggara dibawa oleh Nederlandsche Zendings Vereeniging (NZV). Misi zending atau pekabaran injil ini mulai bekerja disana sejak 1916 hingga runtuhnya negara kolonial, 1942.
“NZV didirikan di Rotterdam pada 2 Desember 1858 oleh beberapa orang yang kecewa terhadap Nederlanche Zending Genootscap (NZG). Mereka menganggap NZG telah dirasuki oleh teologi modern. Para pendirinya banyak tinggal di kota Rotterdam, Belanda,” tulis Th. van den End dalam Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa Barat 1858-1963.
Semula NZV melakukan syiar di Jawa Barat, tetapi kurang berhasil. NZV mengalihkan pekabaran injil ke Sulawesi. Hendrik van der Klift, utusan NZV, tiba di Sulawesi Tenggara –dulu Sulawesi Timur– pada 8 Mei 1915.
Klift mendirikan pos-pos guru agama di pedalaman seperti Mowewe, Lambuya dan Moronene. Dari kampung Mowewe ini, pekabaran Injil menyebar keseluruh pelosok Sulawesi Tenggara. Mereka fokus melakukan pendekatan bagi masyarakat yang masih beragama asli yang ada di pedalaman Sulawesi Tenggara.
“Wilayah Moronene dan Tolaki merupakan wilayah subur yang menjadi sasaran zending protestan di Sulawesi Tenggara. Jika dibandingkan pulau Muna dan Buton yang begitu tandus. Pulau Muna menjadi basis pewartaan bagi misi Jesuit Katholik, sementara pulau Buton, baik misi dan zending tidak berkembang karena kesultanan Buton melarang keduanya menyebarkan pengaruh di Buton,” tulis Basrin dalam “Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda dan Kristen Protestan di Asia Tenggara 1915-1942,” termuat dalam Agama dan Negara di Indonesia suntingan Sri Margana.
NZV melakukan pekabaran injil melalui pendidikan. Bagi para zending, pendidikan penting untuk penduduk agar dapat membaca dan menulis supaya memahami ajaran Kristen dalam Injil. Pemerintah kolonial mengizinkan NZV mengelola pendidikan di Tolaki dan Moronene, terutama di Kolaka, Kendari, Taubonto, Poleang.
“Salah satu yang paling efektif mengkristenkan orang, ya melalui pendidikan. Mereka mau naik status, kok. Selain itu juga dukungan para elite lokal. Di Sulawesi Tenggara, kemampuan agensi para pendeta mendekati para bangsawan, berhasil. Mereka tidak mendapat tantangan. Kalau bangsawan bilang jangan diganggu, ya dipatuhi. Bahkan, anak mereka dikasih masuk. Di sana ada juga bangsawan Islam yang anaknya masuk kristen. Jadi, dalam satu rumah ada dua iman, Kristen dan Islam. Mereka melakukan konversi agama,” ujar Basrin.
Guna menunjang pembelajaran, Klift menyusun buku bagi sekolah dasar dalam bahasa Tolaki berjudul Sura Pobasaa, dan Sala Salamaa (Jalan Keselamatan) berisi bagian-bagian dari Alkitab.
Hingga 31 Juli 1941, ada 60 sekolah dasar negeri berbahasa lokal untuk kelas 1 sampai kelas 3 dengan jumlah siswa mencapai 7078 anak. Sepuluh sekolah dasar swasta dengan subsidi pemerintah memiliki 598 siswa dan 74 sekolah swasta berbahasa Belanda memiliki murid 8335 anak. Data tersebut sudah mencakup sekolah-sekolah yang dikelola zending Protestan di Sulawesi Tenggara.
Menurut Basrin, pemberian izin kepada NZV juga dilandasi cara berpikir praktis. Pemerintah berharap penduduk yang sudah bertautan dengan zending atau bersekolah di sekolah-sekolah zending akan dapat menurut dan tunduk kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Setelah runtuhnya kolonial Belanda pada 1942 dan Jepang masuk, zending di Sulawesi Tenggara mengalami kemunduran.
Basrin mengungkapkan tentara Jepang membunuh banyak jemaat dan merusak gereja. Keadaan tersebut berlanjut pasca kemerdekaan, terutama masa DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang melanda sebagian besar Sulawesi, termasuk Sulawesi Tenggara. Gerakan ini mengusung pendirian negara Islam yang berdampak buruk pada kehidupan sosial warga Kristen Sulawesi Tenggara.
“Masa DI/TII yang dipimpin Kahar Muzakkar itu, basisnya juga ada di Sulawesi Tenggara. Saat itulah Sulawesi Tenggara porak poranda. Gereja dibakar, banyak pendeta dibunuh, jemaat yang tertekan mengungsi, bahkan untuk alasan keamanan mereka rekonversi agama kembali ke Islam,” ujar Basrin.
Kini, jumlah penduduk Sulawesi Tengara yang memeluk Kristen Protestan sudah jauh berkurang. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik Sulawesi Tenggara tahun 2015, penganut Kristen Protestan di Kolaka hanya 8394 jiwa. Padahal, basis zending NZV di era kolonial Belanda berada di Kolaka.