Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Muslim Komunis Jadi Pahlawan Nasional Cina

Jika Partai Komunis Indonesia punya Haji Misbach dan Partai Komunis Prancis punya Hadj-Ali Abdelkader, maka Partai Komunis Cina punya Ma Jun.

Oleh: Novi Basuki | 28 Apr 2018
Ma Jun (1895-1928). Foto: Repro "Kumpulan Tulisan Memperingati Ma Jun (Ma Jun Jinian Wenji)."

BIARPUN “selama ini orang menganggap bahwa Marxisme-Leninisme atau lebih mudahnya komunisme, berada dalam hubungan diametral dengan Islam,” Gus Dur dalam esainya, “Pandangan Islam Tentang Marxisme-Leninisme” yang dimuat Persepsi No.1, 1982, “menghendaki adanya kajian lebih mendalam tentang hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme, yang akan membawa kepada pemahaman yang lebih terinci dan pengertian lebih konkret akan adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam sebagai ajaran kemasyarakatan dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik.”

Buktinya, dalam ranah praksis, penganut Islam yang sekaligus menjadi pengamal komunisme pun ada di pelbagai negara. Jika Partai Komunis Indonesia (PKI) punya Haji Misbach dan Partai Komunis Prancis punya Hadj-Ali Abdelkader, maka Partai Komunis Cina (PKC) punya Ma Jun untuk dijadikan amsal. Sebut saja mereka, pakai bahasa Arab, “muslim syuyū‘ī”, alias muslim komunis.

Saya hendak memperkenalkan Ma Jun di sini. Mengenai Haji Misbach si Haji Merah dan Hadj-Ali Abdelkader, sila baca, misalnya, karya klasik Takashi Shiraishi, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java 1912-1926, dan “Hadj-Ali Abelkader: A Muslim Communist in the 1920s”, makalah Ian Birchall dalam International Socialist Review Issue #105 Summer 2017.

Advertising
Advertising

Latar Belakang Kehidupan

Ma Jun, ditengok sekilas melalui marga di depan namanya, sudah bisa diterka dia bukan bersuku Han. Sandarannya, “Ma” yang jamak diketahui merupakan perubahan kata (verbastering) dari “Muhammad”, adalah marga yang biasa dipakai Hui, suku pengikut Islam terbesar dan terluas perseberannya di Cina sampai dewasa ini.

Memang, “Ma Jun dilahirkan pada 12 September 1895 dalam keluarga suku Hui muslim di sebuah kota kuno di Cina bagian timur laut –Kabupaten Ning’an, Provinsi Jilin (sekarang bagian dari Provinsi Heilongjiang),” tulis Sha Yunzhong dalam “Ma Jun, Anggota Partai Komunis Suku Hui Pertama Jilin” (Ma Jun, Jilin Di yi wei Huizu Gongchandang yuan) yang tercantum di buku Kumpulan Tulisan Memperingati Ma Jun (Ma Jun Jinian Wenji) terbitan Agustus 1995.

Ayahnya, Ma Xigui, adalah pengusaha makanan asal Provinsi Shandong. Sebagai anak dari kelas borjuis –kalau boleh disebut begitu– Ma Jun disekolahkan di sekolah privat (sishu) sejak 1903. Tiga tahun kemudian, dia melanjutkan pendidikan dasar di sekolah Islam (qingzhen xuetang) yang didirikan oleh bapaknya untuk kalangan muslim tak mampu di kampungnya. Setelah tamat pada 1912, Ma Jun bersekolah di Sekolah Menengah Pertama Jilin. Demikian diinformasikan Ma Weiping, cucu lelaki Ma Jun, dalam buku Bukan Sekadar Keturunan: Menyimak Sesepuh Bercerita Masa Lalu (Bu Jin shi Xueyuan de Chuancheng: Ting Fubei Jiang Na Guoqu de Shi, 2013).

Kejatuhan Dinasti Qing melatarbelakangi kehidupan Ma Jun sejak kanak-kanak sampai remaja. Setelah kehilangan Hong Kong lantaran dua kali kalah dalam Perang Candu (1839–1842 dan 1856–1860) melawan Britania Raya, Dinasti Qing kembali babak belur dibombardir Jepang sehingga harus melepas kendalinya atas Dinasti Joseon, Korea, melalui Perjanjian Shimonoseki pada 17 April 1895.

Para petani yang gerah terhadap terus menguatnya pengaruh asing di tengah semakin merosotnya Dinasti Qing, mengobarkan Pemberontakan Boxer (1899–1901). Mereka meneriakkan slogan “dukung Qing, ganyang Barat” (fu qing mie yang) seraya membunuhi orang-orang luar negeri yang berada di negaranya.

Dinasti Qing kian porak-poranda karena delapan negara beraliansi (Austria-Hongaria, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Rusia, Britania Raya dan Amerika Serikat) menyerang Beijing untuk menumpas pemberontakan tersebut. Dinasti Qing tak berdaya. Protokol Boxer (Xinchou Tiaoyue) terpaksa diteken. Pajak nasional dinaikkan untuk memenuhi tuntutan ganti rugi negara-negara itu karena keuangan Dinasti Qing cekak. Rakyat berang. Revolusi Xinhai 1911 yang meruntuhkan Dinasti Qing tak terhindarkan.

Sun Yat-sen lantas mendirikan Republik Cina (ROC) yang berpondasikan nasionalisme (minzu), demokrasi (minquan), dan kesejahteraan sosial (minsheng). Meski negara baru ini tampak kokoh dan bersatu di atas Tiga Prinsip Rakyat (San Min Zhuyi) itu, namun sebenarnya rapuh dan terfragmentasi lantaran digerogoti para faksi militer panglima perang (junfa) yang lebih mementingkan keperluan pribadi di daerah kekuasaannya masing-masing ketimbang kepentingan nasional.

Puncaknya, di bawah kepemimpinan Jenderal Yuan Shikai, ROC secara sembunyi-sembunyi menyetujui tak sedikit dari 21 poin ultimatum Jepang (taika nijūikkajō yōkyū) setelah Negeri Sakura itu mengalahkan Jerman dalam operasi pengepungan Qingdao (siege of Tsingtao) pada 7 November 1914. Di antaranya, Tokyo diizinkan memperluas pengaruhnya di Manchuria dan mengambil alih wilayah konsesi Berlin di Shandong.

Atmosfer politik begitu, memungkinkan benih-benih perlawanan terhadap apa yang dibilang “exploitation d’lhomme par l’homme” dan/atau “exploitation de nation par nation” oleh Soekarno, mengakar dalam diri Ma Jun sejak dini. Apalagi, kampung halamannya –yang secara geografis bagian dari Manchuria– adalah medan yang bersentuhan langsung dengan penindasan imperialis dimaksud.

Aktivis Gerakan 4 Mei 1919

Maka, tatkala mendengar kabar ribuan pelajar di Beijing menggelorakan Gerakan 4 Mei (Wusi Yundong) sebagai protes terhadap melempemnya ROC pada tekanan Jepang yang bernafsu mengukuhkan kekuasaannya di Shandong melalui Konferensi Perdamaian Paris, jiwa patriotik Ma Jun tak bisa dibendung. Dia yang saat itu berstatus sebagai siswa Sekolah Menengah Atas Swasta Nankai (Sili Nankai Zhongxue), Tianjin, terang Shen Zhidu dalam “Beberapa Kenangan Mengikuti Gerakan 4 Mei” (Canjia Wusi Yundong de Ji Dian Huiyi) yang dirangkum jilid 2 buku Memoar Gerakan 4 Mei (Wu Si Yundong Huiyilu) cetakan Maret 1979, langsung mengikhtiarkan dan terpilih menjadi wakil ketua cum kepala pelaksana kegiatan Persatuan Pelajar Tianjin (Tianjin Xuesheng Lianhehui) yang didirikan pada 6 Mei.

Melalui organisasi yang mewadahi perwakilan pelajar dari 15 sekolah menengah atas dan tinggi Tianjin tersebut, Ma Jun mengorganisir massa turun ke jalan, melakukan aksi mogok sekolah dan mogok dagang serempak untuk menyuarakan dukungan terhadap Gerakan 4 Mei. Senada dengan pelajar ibu kota, dia melaknat pemerintah ROC yang dianggapnya menjual negara.

Ketika per awal Juni pemerintah ROC menangkapi pelajar yang hampir sebulan berdemonstrasi di Lapangan Tiananmen, ungkap Liu Qingyang dalam “Rakyat Tianjin yang Telah Sadar” (Juexing le de Tianjin Renmin) yang dihimpun antologi Gemilang 4 Mei (Guanghui de Wusi) keluaran April 1959, Ma Jun pada 5 dan 8 Juni memimpin long march berpeserta ribuan ke kantor gubernur Provinsi Hebei walau dihadang aparat bersenjata. Dia menghadap gubernur, menuntut supaya pemerintah memberikan kebebasan dan tidak mengintervensi aktivitas orasi pelajar. Ma Jun juga memintanya menelegram pemerintah Beijing agar melepas pelajar yang ditangkap dan membatalkan bisnis penjualan negara kepada Jepang.

Tak cukup di Tianjin, Ma Jun terjun ke Beijing. Masih merujuk Liu Qingyang, bersama pelajar lain, dia pada 27 Juni berpanas-panas selama dua hari di depan istana Presiden ROC Hsu Shih-chang untuk menyampaikan petisi penolakan penandatanganan Perjanjian Versailles sebab pasal 156–158 memandati Jepang mengambil konsesi Jerman di Semenanjung Shandong yang semestinya diserahkan ke ROC sebagai salah satu negara pemenang Perang Dunia I.

Sekitar dua bulan dari keberhasilan menekan pemerintah ROC tidak menandatangani Perjanjian Versailles, Ma Jun membawa massa dalam skala besar lagi ke Beijing. Dia, mulai 26 sampai 28 Agustus, mengomando sekitar tiga sampai empat ribu orang di Lapangan Tiananmen mendesak pemerintah menghukum Ma Liang, muslim yang menjabat danramil (zhen shou shi) Jinan, Shandong.

Lantarannya, Ma Liang telah membunuh Ma Yunting, tabib muslim yang menjadi ketua Asosiasi Muslim Jinan Penolong Negeri (Jinan Huimin Jiuguo Houyuandui), beserta dua anggotanya, Zhu Chunshou dan Zhu Chunxiang. Mereka bertiga dihabisi karena pada 21 Juli, jelas Fang Chuangui dan Wang Qunyan dalam “Awal Mula Penggerudukan Kantor Koran Changyan” (Za Changyan Bao Shimo) yang dimuat Literatur Kronik Provinsi Shandong (Shandong Sheng Zhi Ziliao) No. 2, 1959, turut dalam aksi menduduki kantor Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Shandong dan menggeruduk kantor Koran Changyan (Changyan Bao) yang pro-Jepang.

“Untuk memperingati perjuangan [‘aksi bela Islam’ Ma Jun di Tiananmen] tersebut, kami semua menggelari Ma Jun sebagai Ma Tian’an,” kata Liu Qingyang dalam artikel “Mengingat Ma Jun di Era 4 Mei” (Huiyi Wusi Shiqi de Ma Jun) di buku Memoar 4 Mei (Wusi Huiyilu) edisi April 1959. Liu adalah wanita Hui yang aktif berkecimpung dalam Gerakan 4 Mei bareng Ma Jun. Dia, Ma Jun, Zhou Enlai, Deng Yingchao, Guo Longzhen dan 15 orang lainnya membentuk kelompok progresif Paguyuban Sadar (Juewu She) pada 16 September 1919. Mereka pernah mengundang Li Dazhao –salah satu pendiri PKC yang dijuluki “penegak panji sosialisme pertama di Cina”– untuk memberikan petuah.

Ma Jun tak jera melakukan beragam gerakan sekalipun sempat dibekuk gara-gara aksinya di Tiananmen itu. Sekembalinya bertugas sebagai perwakilan Tianjin untuk Asosiasi Antargolongan Nasional (Quanguo Gejie Lianhehui) di Shanghai sejak 25 September, informasi mengenai pembunuhan pelajar Fuzhou oleh Jepang pada 16 November, membuatnya naik pitam. Dia bermanuver memboikot dan membakar produk-produk Jepang di pasar-pasar Tianjin. Celakanya, langkah tersebut malah mengantarkannya ke jeruji besi pada 24 Januari 1920.

Liao Yongwu dalam “Ma Jun di Era 4 Mei” (Wusi Shiqi de Ma Jun) yang dipublikasikan di jurnal Literatur Kajian Zhou Enlai Masa Muda (Zhou Enlai Qingnian Shidai Yanjiu Ziliao) No. 3, 1984, menuturkan, demi menyelamatkan Ma Jun dan kawan-kawannya yang diciduk, Zhou Enlai menghelat unjuk rasa akbar di depan kantor gubernur Hebei pada 29 Januari. Sial, Zhou malah ikut digiring ke bui. Mereka mendekam di penjara selama sekitar enam bulan lamanya. Seluruh perkumpulan berhaluan nasionalis dibubarkan oleh penguasa.

Komunisme & Agama Menurut Ma Jun

Setahun berselang, tepatnya pada 23 Juli 1921, PKC resmi berdiri di Shanghai. Ma Jun menjadi salah seorang yang paling awal masuk sebagai anggotanya. Dia lalu diutus ke wilayah Manchuria untuk mempropagandakan partai besutan Chen Duxiu dan Li Dazhao tersebut, sebelum pada Oktober 1925 dikirim ke Uni Soviet untuk belajar di Moscow Sun Yat-sen University.

Selama di Moskwa, Ma Jun membikin heran teman-temannya karena tetap ogah makan daging babi padahal dia sudah berpartai komunis. Catatan Chen Shaoyu alias Wang Ming –kelak ketua Komite Hukum Dewan Negara Republik Rakyat Cina (PRC)– bertitimangsa 1936 yang termaktub dalam Literatur Sejarah Pahlawan Revolusi Hebei (Hebei Geming Lieshi Shiliao) produksi Desember 1959, menyuguhkan jawaban Ma Jun soal itu.

“Sekitar tahun 1926 [...] tak ingat [kenapa saya] lagi-lagi bertanya kepada Kamerad Ma Jun perihal mengapa dia tidak makan daging babi. [Pertanyaan saya itu] membuat dia berbicara sekitar 40 menit mengenai masalah tersebut –bukan, bukan pembicaraan biasa, melainkan sungguh adalah pidato ihwal agama [beserta hubungannya dengan] relasi Hui dan Han.”

Berdasar ingatan Chen, Ma Jun menjawab:

Aku tentu ingat, terlebih paham betul dan percaya, ucapan terkenal Karl Marx ini: ‘agama adalah candu masyarakat’. Namun, di waktu yang sama, justru karena aku adalah pengikut Marxisme-Leninisme itulah, maka aku juga sangat paham dahsyatnya kekuatan agama di dalam masyarakat. Karena itu, aku bukan hanya tidak [mau] menghina orang yang menganut agama apapun, tapi juga sebaliknya, aku senantiasa menghormati kebebasan mereka berkeyakinan.

Aku tidak makan daging babi setelah beberapa tahun masuk partai [komunis], bukan hanya karena aku tidak rela meninggalkan kaumku, suku Hui [yang notabene muslim], tapi juga karena ingin, sebisa mungkin, menjadi mediator hubungan [yang acap tidak harmonis] antara suku Han [yang notabene nonmuslim]. [...] Sekalipun ada perbedaan keyakinan agama [antara Hui dan Han], tapi sesungguhnya tak ada perasaan benci, apapun bentuknya, yang tak bisa dihilangkan. [...] Kalau semuanya berseteru terus-menerus, akan sama-sama celaka pada akhirnya. [...] Aku ingin menjadikan Hui dan Han bersatu di bawah bendera perjuangan bersama.

Aku seorang Hui, [dan] aku sangat paham susahnya melakukan gerakan komunis di dalam masyarakat Hui, apalagi kalau gerakan itu dilakukan oleh orang yang bukan Hui. Karena itu, aku ingin berjuang dengan tetap tinggal dalam suku Hui. Namun, di waktu yang sama, sekalipun aku seorang Hui, aku tak memiliki sedikit pun stereotip etnis [dan agama] yang sempit.

Pendek kata, problem utama suku Hui dan suku Han [boleh dibaca: muslim dan nonmuslim], bukanlah makan atau tidak makan daging babi, melainkan bagaimana agar [keduanya] saling memahami, saling memercayai, dan saling mengasihi, agar bisa sama-sama berjuang untuk sama-sama merdeka.

Membaca jawaban Ma Jun yang dituturkan ulang oleh Chen Shaoyu itu, dia sepertinya ingin menjadikan komunisme sebagai jalan untuk –meminjam istilah Gracchus Babeuf (1760–1797), jurnalis Prancis berjuluk “komunis revolusioner pertama”– mewujudkan “kebahagiaan bersama” (le bonheur commun) tanpa perlu menghilangkan apapun identitas diri yang dipunya.

Pula, nampaknya, Ma Jun tak urus apapun agama atau kepercayaan yang diimani seseorang. Dia barangkali mau mengejawantahkan QS. Al-Baqarah 256 “lā ikrāha fī al-dīn” (tak ada paksaan dalam agama) serta QS. Al-Kāfirūn 6 “lakum dīnukum waliya dīn” (untukmu agamamu dan untukku agamaku). Baginya, baik beragama atau tidak, yang paling krusial adalah “saling memahami, saling memercayai, dan saling mengasihi, agar bisa sama-sama berjuang untuk sama-sama merdeka.”

Sebab, memakai wejangan Dalai Lama –pemimpin spiritual Tibet yang dilansir laman Newsweek (1/11/2015) mengaku seorang Marxist– dalam buku Kindness, Clarity, and Insight (1984), “Tak peduli apakah seseorang percaya atau tidak pada agama, [...] [yang pasti] tak akan ada seorang pun yang tidak mengapresiasi sikap welas asih (compassion).”

Kematian Pahlawan Revolusi

Laskar Ekspedisi Utara (bei fa) pimpinan Generalissimo Chiang Kai-shek dari Akademi Militer Whampoa Guangzhou untuk memerangi pemerintahan panglima perang di Beijing guna mereunifikasi ROC, mulai melakukan pembantian besar-besaran terhadap anggota PKC di Shanghai pada 12 April 1927. Pembersihan komunis terus berlanjut di daerah-daerah lain. Front persatuan perdana PKC dan Kuomintang sebagai “balas jasa” atas sokongan Uni Soviet terhadap Partai Nasionalis tersebut, pupus karena Insiden 12 April itu.

Beijing yang sejak akhir 1924 dikuasai oleh faksi militer Zhang Zuolin, panglima perang Manchuria, juga memburu dan menghabisi orang-orang komunis. Li Dazhao pun mati digantung oleh Zhang pada 28 April 1927.

Di tengah mencekamnya situasi politik negeri, Ma Jun pada Agustus 1927 dipanggil pulang untuk mereorganisasi dan menjadi sekjen Komite PKC Beijing sepeninggalan Li Dazhao. Naas, seperti dikisahkan Li Longyin dalam buku Pahlawan Suku Hui Ma Jun (Huizu Yingxiong Ma Jun, Juni 1991), segerombolan intel menggerebeknya pada 3 Desember 1927, sekitar jam 4 pagi, sehabis memimpin rapat rahasia dengan bawahannya. Pembelot PKC bernama Xu Xiren yang membocorkan keberadaannya.

“[Pasukan] musuh menutupi informasi [perihal penangkapan kakek]. Waktu itu, nenek dan anaknya sedang berada di Ning’an. Dalam keadaan darurat, ahong masjid Beijing, tak takut mati, menulis dengan bahasa Arab di koran, diam-diam mengabarkan penangkapan Ma Jun. Berita ini secara estafet sampai ke masjid Ning’an. Takmir masjid cepat mengabarkan ke rumah. Kami baru tahu [dari situ kalau kakek ditangkap]. Nenek segera membawa anak perempuan dan laki-lakinya yang belum pernah bertemu kakek, untuk menyelamatkannya [keluar dari penjara Beijing],” tutur Ma Liying, cucu perempuan Ma Jun, kepada Harian Harbin (Haerbin Ribao, 19/6/2011).

Walakin, sebagaimana diutarakan Ma Weiping dalam wawancara dengan Radio Beijing yang transkrip dialognya bisa diakses di http://bj.wenming.cn/chy (8/7/2015), Ma Jun menolak inisiatif Yang Xiurong, istrinya, yang berusaha membebaskannya dengan membayar sejumlah uang. Bahkan, dia juga bergeming meskipun diiming-imingi jabatan menteri oleh Zhang Zuolin asal mau membeberkan rahasia PKC.

Alhasil, Ma Jun harus wafat di bawah regu tembak pada 15 Februari 1928. Jenazahnya dimandikan dan disalatkan di Masjid Nanxiapo, Beijing. Bai Baochun, muslim yang ikut memakamkan Ma Jun, mengenang dalam bukunya, Susah Senang 60 Tahun (Liu Shi Nian de Beihuan, 1985):

“Aku pergi [ke masjid], nampak usia yang meninggal lebih dari 30 tahun, berjenggot panjang warna hitam, di dadanya berjejeran lubang bekas peluru, tubuhya pucat. [...] Kami memakamkannya di tanah wakaf muslim (di jalan Jianguomen, pojok barat daya Taman Ritan sekarang). Setelah dikubur, istrinya terus bersimpuh meratap di depan makamnya, seraya menggendong anak perempuan yang berumur kira-kira 3 tahun di pangkuannya. Sementara di sekitar, ada tiga orang laki-laki bergamis hitam yang terus melihat kiri-kanan. Sepertinya adalah intel yang sedang mengawasi mereka. Teman-temannya dan keluarganya tak ada yang mengikuti prosesi pemakaman. Ini tak aneh: di masa-masa itu, sipapun yang terciprat secuil saja hubungan dengan partai komunis, pasti akan dibunuh. Bahkan, bukankah tentara-tentara itu tak mau melewatkan begitu saja [pembunuhan terhadap] anak yatim dan janda renta?!”

Kini, Ma Jun sudah tenang di alam sana. Di atas pusaranya yang terbuat dari granit putih, tergurat aksara Arab yang jika ditransliterasikan berbunyi “ḍarīh Mā Jiyūn al-syahīd liqaumiyah huwī.” Ya, sejak 1945, Ma Jun dinobatkan sebagai pahlawan revolusi (geming lieshi) yang syahid membela keyakinannya: komunisme dan islam.

Allāhumma igfirlahu warhamhu wa‘āfihi wa‘fu ‘anhu wa akrim nuzulahu wa wassi‘ mudkhalahu.

Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina.

TAG

Tiongkok Islam Komunis

ARTIKEL TERKAIT

Akhir Pelarian Teroris Kiri Sayuti Melik dalam Gerakan Bawah Tanah Singapura Komunis Agen Syiar Islam di Belantara Papua Lika-liku Hamas di Jalur Gaza Tiga Peristiwa yang Terjadi September 1965 Peradaban Islam dalam Sehimpun Arsip Soerjopranoto Si Raja Mogok Dakwah Walisongo Toleransi Beragama Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker Gerakan Baso di Sumatra Barat