Masuk Daftar
My Getplus

Baghdad, Islam dan 1001 Kehancuran

Bagaimana sebuah pusat peradaban sejarah berubah menjadi kota para penjarah.

Oleh: Hendi Johari | 19 Mei 2019
Lukisan kuno tentang penjarahan pasukan Mongol di Baghdad. (Sumber: www.thenational.ae)

KETIKA pasukan gabungan Amerika Serikat (AS) dan Inggris menyerang Irak pada penghujung Maret 2003, kiamat seolah melanda Baghdad. Bukan hanya puluhan ribu nyawa manusia telah melayang akibat penyerangan ilegal tersebut, namun ribuan artefak dan manuskrip sejarah penting peninggalan Kekhalifahan Abbasiyah musnah dilumat rudal dan dicuri para penjarah dari Museum Nasional Irak.

Sejak itulah Baghdad yang dulu dikenal sebagai “kota 1001 malam” berubah menjadi kota 1001 kehancuran. Situasi yang menyebabkan Robert Fisk, salah seorang saksi hidup penyerangan Amerika dan Inggris ke Irak, berang.

”Kehancuran total itu menjadi bencana dan simbol paling memalukan dari upaya pendudukan (yang dilakukan AS dan Inggris) terhadap kota yang pernah melahirkan peradaban dunia tersebut,” ujar Fisk dalam The Independent, 17 September 2007.

Advertising
Advertising

Jurnalis perang itu memang benar adanya. Baghdad adalah aset sejarah dunia. Sebagian ahli sejarah menyebut Baghdad—yang berarti hadiah Tuhan—sudah ada ada sejak 4000 SM. Tercatat berbagai bangsa yang silih berganti menguasai ranah nan subur di pinggiran Sungai Tigris itu. Mereka terdiri dari bangsa Persia, Yunani, Romawi hingga Arab.

Islam sendiri masuk ke Baghdad pada 637 M. Saat itu pasukan Kekhalifahan Arab Islam pimpinan Panglima Besar Saad ibn Abi Waqqash berhasil menguasai seluruh wilayah Kerajaan Persia termasuk ibu kota Ctesiphon. Mereka kemudian mendirikan pusat penerintahan di Kufah dan Basrah. Kenapa tidak memilih Baghdad? Bisa jadi selain belum ramai, saat itu Baghdad masih merupakan perkampungan kecil belaka.

Baca juga: Ketika Khalifah Tak Lagi Duduk di Singgasana

Baghdad baru dilirik 125 tahun kemudian, saat Khalifah al Manshur dari Dinasti Abbasiyah meletakan batu pertama pembangunan sebuah ibu kota baru. Pemilihan Baghdad didasarkan pada beberapa alasan. Selain letaknya strategis secara militer, al Manshur juga melihat Baghdad memiliki Sungai Tigris. Itu faktor penting karena bisa menjadi sarana penghubung dengan Tiongkok sekaligus mengeruk hasil makanan dari Mesopotamia, Armenia dan daerah sekitarnya. 

Untuk membangun Baghdad, menurut Al-Thabari (sejarawan Arab klasik termashur),  al Manshur sampai merogoh kocek sebesar 4.883.000 dirham dan mempekerjakan sekitar 100.000 arsitek, pengrajin, dan kuli yang berasal dari Syiria dan Mesopotamia.

Sejak 762 M, Dinasti Abbasiyah memusatkan pemerintahannya di Baghdad. Berbeda dengan para pendahulunya para khulafaur rasyidin, khalifah-khalifah Abbasiyah terasing dari rakyatnya. Kebersahajaan dan informalitas lama yang menjadi ciri khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib) tergantikan oleh gaya hidup glamor dan hedonistik.

“Dalam keseharian, para khalifah Abbasiyah dikelilingi para tukang jagal. Itu seperti sebuah bentuk pemberitahuan tersirat kepada khalayak bahwa mereka memiliki kekuasaan atas hidup dan mati,” tulis Karen Armstrong dalam Islam, A Short History.

Baca juga: Kota 120.000 Kanal

Lebih dari 500 tahun, para khalifah dinasti Abbasiyah hidup dalam kejayaan dan kemewahan. Di bawah pemerintahan mereka, Baghdad yang awalnya hanya sebuah kampung kecil telah berubah menjadi pusat fashion laiknya Paris, Milan dan New York saat ini. Berbagai prilaku dan gaya pakaian keluarga besar khalifah bahkan menjadi acuan mode dunia kala itu. Salah satu selebritis mode itu adalah Ulayyah, salah seorang adik perempuan Khalifah Harun Al Rasyid (786-809).

“Ulayyah pernah coba menutupi sebuah goresan kecil di dahinya dengan memakai pengikat kepala yang berhiaskan emas permata. Ikat kepala ala Ulayyah tersebut lantas menjadi trend dunia mode pada zaman itu,” ungkap Philip K. Hitti dalam History of the Arabs.

Namun tidak hanya trend mode dan kemewahan, ilmu pengetahuan pun mengalami kemajuan yang sangat pesat di Baghdad. Kala itu, hampir di setiap sudut kota terdapat perpustakaan dan laboratorium penelitian. Bahkan bisa dikatakan hampir sebagian besar masyarakat Baghdad memiliki minat besar mempelajari matematika, fisika, kedokteran, seni dan filsafat.Sejarawan Prancis Gustave Le Bon,menyebut situasi tersebut sebagai ironi bagi dunia Barat. Mengapa?  

Baca juga: Apotek Pertama di Baghdad    

” Karena saat pusat-pusat Islam Baghdad (dan Spanyol) sedang berada di puncak kecemerlangannya, pusat-pusat intelektual di Barat hanyalah berupa benteng-benteng perkasa, yang dihuni oleh para bangsawan semi barbarik yang merasa bangga atas ketidakmampuannya membaca,” tulis Le Bon dalam The World of Islamic Civilization.

Kendati demikian, sejarah tidak selamanya berpihak pada sebuah bangsa. Di tengah gayahidup mewah yang sudah malampaui batas,Baghdad pada akhirnya didatangi malapetaka. Bulan Februari 1258, sekitar 200.000 prajurit Mongol pimpinan Jenderal Hulago Khan menyerbu Baghdad. Menghadapi serangan tersebut, alih-alih bertahan, tentara Abbasiyah yang secara moril sudah miskin keberanian dan semangat itu malah lari kocar-kacir. 

Baca juga: Hulagu Khan Menaklukkan Baghdad

Ibnu Katsir melukiskan ketidak-berdayaan para tentara Abbasiyah tersebut. Menurut sejarawan Arab itu, Baghdad yang mewah dan indah dibuat jadi lautan darah oleh para prajurit Hulago Khan.

”Tentara Tartar (Mongol) mengejar pasukan khalifah dan rakyat biasa hingga ke lorong-lorong kota. Mereka dengan biadab membantai tanpa ampun tentara, anak-anak, perempuan dan orang tua. Baghdad menjadi samudera darah dan penderitaan,” tulis Ibnu Katsir dalam al-Bidayah an-Nihayah.

Setelah berhari-hari bertahan di istananya yang megah, Khalifah al-Mu’thasim (1243-1258) beserta 300 pejabat dan keluarga istana akhirnya menyerahkan diri pada Jenderal Hulago Khan. Sepuluh hari kemudian para tawanan itu dipancung satu persatu, termasuk al Mu’tashim beserta dua puteranya.

Syahdan sepeninggal khalifah, Baghdad dibakar dan dijarah habis-habisan. Ribuan artefak dan manuskrip sejarah pun berubah menjadi abu. Selain kepada emas, rupanya tentara Mongol sama-sekali tidak tertarik pada aset sejarah dan ilmu pengetahuan. Sebuah sikap yang pada zaman sekarang terbukti dimiliki juga oleh militer Amerika Serikat dan Inggris saat menyerang Irak. 

Baca juga: Suatu Hari di Yerussalem

TAG

Baghdad

ARTIKEL TERKAIT

Perang Teluk Hitler Celana Dalam Al-Baghdadi dan Kahar Muzakkar Cerita Tentang Hamka Alkisah Gereja Tertua di Gaza Saul, Raja Israel yang Berakhir di Tangan Bangsa Filistin Di Balik Kemenangan Daud atas Goliat Goliat yang Gagah dari Filistin Mendedah Sejarah Syiah Peradaban Islam dalam Sehimpun Arsip Ujian Haji Masa Kolonial Belanda