YERUSSALEM, 637. Begitu mendengar derap kuda pasukan Arab Islam mulai mendekat, Putra Mahkota Costantine menjadi putus asa. Alih-alih melaksanakan perintah Kaisar Heraklius (yang tak lain ayah Costantine) untuk mempertahankan kota suci itu, dia justru kabur ke pelabuhan Caesarea: menyusul sang ayah menuju Costantinople lewat jalur laut.
“Praktis di Yerussalem hanya menyisakan Panglima Artavon dan Patriach Sophorius sebagai wakil resmi dari bangsa Romawi,” demikian menurut The Historians of the World Vol. VII (Rome).
Dalam sumber klasik yang diselia oleh Henry Smith Williams itu disebutkan, sepeninggal Costantine, terjadilah perbedaan pendapat yang tajam antara Artavon dengan Sophorius. Sebagai seorang jenderal, Artavon bersikeras akan mempertahankan Yerussalem sampai titik darah terakhir dengan mengerahkan seluruh penduduk untuk melakukan perlawanan. Sementara Uskup Agung Sophorius lebih memilih jalan damai mengingat musuh terlalu kuat dan kondisi rakyat yang sudah tidak memiliki nyali lagi untuk berperang.
“Artavon dengan sisa pasukannya yang sedemikian kecil pada akhirnya kalah suara dan harus mengikuti pendapat Sophorius,” tulis Joesoef Sou’yb dalam Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin.
Maka menjelang musim semi, dikirimlah seorang utusan untuk menemui pimpinan pasukan Arab Islam bernama Panglima Besar Abu Ubaidah. Dalam pertemuan itu pihak Sophorius menyatakan siap menghentikan perlawanan asalkan proses penyerahan Yerussalem harus melibatkan Khalifah Umar ibn Khattab sendiri.
Syarat dari uskup agung Yerussalem itu lantas diteruskan kepada Khalifah Umar di Madinah. Usai melakukan rapat dengan para tokoh negara, atas masukan dari Ali ibn Abi Thalib, akhirnya Umar memutuskan untuk berangkat ke Yerussalem. Namun dia menyatakan keberangkatan ke kota suci itu harus hanya dengan seorang ajudan saja. Pasukan kecil yang dipersiapkan untuk mengawalnya justru malah ditolak oleh Umar.
Khalifah Umar Murka
Singkat cerita, setelah beberapa hari melakukan perjalanan, Khalifah Umar akhirnya sampai di gerbang Yerussalem. The Historians of the World Vol. VIII melukiskan kebersahajaan sang khalifah saat berjalan menuju pintu gerbang kota. “…Penakluk Persia dan Syiria itu datang ke Yerusalem hanya bersama seorang hamba sahaya, dengan menunggang seekor unta merah, membawa sekarung gandum,sekantung kurma, sebuah kantung terbuat dari kulit binatang, serta selembar tikar untuk shalat.”
Pemandangan itu jelas membuat penduduk Yerussalem yang beragama Kristen dan Yahudi terperangah dan lantas menaruh rasa hormat dan kagum. Mengapa? Karena sebelumnya, mereka tak pernah melihat seorang penguasa besar berpenampilan laiknya rakyat kebanyakan. Tak juga Kisra Persia dan Kaisar Romawi.
Sophorius termasuk orang yang terkejut dengan kenyataan itu. Saat mendampingi tamu Arab-nya yang berpakaian lusuh itu, dia berteriak kepada khalayak dalam bahasa Yunani: “Sungguh, seperti inilah penampilan Daniel Sang Nabi saat dia mengabarkan kesederhanaan dan kegetiran hidup di kota suci ini!” demikian seperti dikutip oleh sejarawan Philip K. Hitti dalam History of the Arabs.
Rasa takjub kian bertambah begitu upacara penyambutan dilaksanakan. Syahdan, kala menyaksikan para panglimanya berbaris rapi dengan menunggang kuda gagah lengkap dalam pakaian kebesaran mewah yang terbuat dari ragam sutera indah, wajah Umar memerah. Tetiba dia turun dari atas unta merahnya dan mengambil beberapa genggam pasir. Lantas dengan marah, dia melemparkannya ke arah para panglimanya. Dengan cara itu, Umar ingin mengeritik perubahan gaya hidup mereka yang dinilainya telah melupakan nilai-nilai kesederhanaan yang diajarkan Rasulullah.
Tak ada satu pun panglima yang berani menghindar dari hantaman pasir yang dilontarkan Umar. Mereka tahu, Umar adalah salah seorang sahabat dekat Nabi Muhammad SAW yang berwatak keras dan lurus. Ini lah yang kemudian menjadikan Panglima Besar Abu Ubaidah secara berhati-hati memberitahu sang khalifah bahwa penampilan para panglimanya itu hanyalah sementara. Sekadar untuk menjaga harga diri para prajurit Arab Islam di depan orang-orang Yerussalem.
Umar pada akhirnya bisa diyakinkan. Namun dia sendiri tetap menolak mengganti kendaraan dan menampik pakaian mewah yang khusus dipersiapkan untuk dirinya.
“Dia tetap memilih untuk menaiki unta tunggangannya itu hingga sampai ke depan gerbang Stepanus, pintu utama untuk memasuki kota suci Yerussalem,” tulis Joesoef Syou’ib.
Damai yang Hilang
Proses upacara penyerahan Yerussalem berjalan lancar. Dengan diantar oleh para petinggi Kristen di Yerussalem, usai upacara penyerahan, Khalifah Umar mengunjungi beberapa tempat suci. Salah satunya adalah Bukit Zion, reruntuhan Bait Allah yang dibangun Nabi Sulaiman AS dan dikenal oleh umat Muslim sebagai Masjid Al-Aqsha.
Saat berkeliling di Bukit Zion inilah, waktu shalat zhuhur tiba. Uskup Sophorius lantas menawarkan Khalifah Umar untuk shalat di gerejanya. Umar menolak tawaran itu.
“Kalau saya shalat di situ, saya khawatir suatu hari orang-orang akan merampas gereja Tuan dan menjadikannya sebuah masjid,” kata Umar.
Umar lantas memilih tempat di sisi gereja. Di sanalah kemudian sang khalifah mengimami para panglima dan prajuritnya shalat zhuhur. Kelak puluhan tahun kemudian, Khalifah Abdulmalik (685-705) dari Dinasti Umayah mendirikan sebuah masjid yang sangat megah. Hari ini gedung tersebut dikenal sebagai Masjid Umar ibn Khattab
Tiga belas abad kemudian, Yerussalem berkutat dalam konflik berkepanjangan. Sejak jatuh ke tangan Israel pada 1967, damai di kota suci itu seolah hilang, berganti dengan darah dan pertikaian. Tak jarang bom bunuh diri pejuang Palestina dan bombardemen tentara Israel meluluhlantakan sebagian situs sejarah yang ada di sana. Belum lagi puluhan ribu orang yang menjadi korban.
Baca juga: Prahara Yerusalem Diusik Amerika
Soal korban manusia ini, bagi Yerussalem itu seolah menjadi kutukan sejarah. Pada awal pendiriannya, kota itu sudah mengorbankan ribuan nyawa Yahudi yang dibantai oleh balatentara Raja Nebucadnezar dari Babylonia. Bahkan pada masa Perang Salib 1096, seorang Ksatria Salib bernama Raymond dari Aguiles melukiskan genangan darah dari sekitar 75.000 orang Arab Muslim dan Yahudi, membanjiri sudut-sudut kota.
“Di dalam kuil dan pelataran Sulaiman saja, genangan darah mencapai lutut dan tali kekang kuda-kuda yang kami kendarai,”ujar Raymond dalam Fall of Jerusalem karya penulis Dr. E.L. Skip Knox.
Karena tiap zaman selalu mengalami pergantian kekuasaan, tak aneh jika Yerussalem memiliki ciri khas sisi keanekaragaman budaya dan agama. Itu membuat Karen Armstrong menyebut tempat tersebut sebagai milik bersama 3 agama besar: Islam, Kristen dan Yahudi.
“Saya menemukan kenyataan bahwa mustahil untuk mengabaikan ketiga keluarga Abrahamik itu di Yerussalem.Terlebih mereka adalah penyembah Tuhan yang sama,” tulisnya dalam Menerobos Kegelapan, Sebuah Autobiografi Spiritual.
Kalimat yang agak mirip juga pernah dilontarkan oleh Sultan Saladin (di dunia Islam lebih dikenal dengan nama Shalahuddin al Ayubi) ratusan tahun yang lalu. Kala melakukan perundingan diplomatik dengan Richard Si Hati Singa, Saladin menolak klaim raja Inggris legendaris itu, bahwa Yerussalem semata-mata milik orang Kristen.
“Yerussalem adalah milik kami seperti juga milik kalian,” katanya seperti dikutip Karen Armstromg dalam The Holy War.
Baca juga: Kisah Jutaan Manuskrip yang Dibakar