Malapetaka yang terjadi akibat epidemi kolera di Tanah Batak sungguh mengerikan. Saat itu, angka kematian pada anak-anak sangat tinggi. Kampung-kampung yang tercemar wabah terasa mencekam bahkan ada yang ditinggalkan penghuninya. Sebagian besar keluarga memiliki lebih banyak anak di kuburan daripada di rumah. Diperkirakan, tiga perempat dari populasi anak yang dilahirkan telah meninggal sebelum usia delapan tahun.
Demikianlah catatan Inger Ludwig Nommensen dalam suratnya tertanggal 5 Juli 1875 yang menggambarkan situasi di kawasan Batak Toba, Tapanuli Utara. Nommensen adalah misionaris zending utusan dari Seminari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) di Wupertal-Barmen, Jerman. Dia bertugas menjadikan Tanah Batak sebagai ladang penginjilan.
Ketika Nommensen memulai pekabaran Injil, penyakit menular yang disebut rakyat setempat “Begu Atuk” tengah mewabah. Selain Nommensen, koleganya Peter Henrich Johannsen juga menyaksikan keadaaan yang sama pilu. Johannsen melaporkan sekira 20–30 orang meninggal setiap hari di Lembah Silindung. Orang tua yang depresi bahkan melakukan bunuh diri karena kehilangan anak-anak mereka. Apa yang sebenarnya terjadi di Tanah Batak?
Krisis Kesehatan
Menurut sejarawan Belanda Sita van Bemmelen yang meneliti surat-surat Nommensen, epidemi kolera 1875 mungkin sangat ganas tetapi penyakit lain juga datang silih berganti. Wabah disentri, tipus, dan cacar terjadi secara teratur dan sering mengamuk selama berbulan-bulan. Krisis kesehatan itu ternyata bertemali dengan gejolak agresi yang memasuki Tanah Batak
Invasi pasukan Padri sekitar 1839 dan pendudukan tentara Belanda pada 1878, 1883, dan 1889 berdampak negatif terhadap situasi kesehatan. Hal ini dikarenakan persediaan makanan di kampung-kampung sering disita oleh musuh. Banyak orang mengalami demam terus menerus, mengurangi resistensi mereka terhadap penyakit.
“Anak-anak remaja sangat rentan. Di samping penyakit yang disebutkan di atas, mereka juga meninggal karena campak, batuk rejan, dan cacar air,” tulis Sita dalam Christianity, Colonization, and Gender Relations in North Sumatra.
Baca juga: Ketika Hantu Kolera Mengamuk di Tanah Batak
Nommensen melihat langsung betapa buruknya tingkat kesehatan orang Batak. Pada 1866, di seluruh Lembah Silindung, ribuan anak sekarat karena cacar air. Banyak dari mereka yang sakit itu mencari pertolongan ke Huta Dame, kampung Kristen yang dibangun Nommensen. Sang misionaris menyadari Batakmission yang dirintisnya mesti berpartisipasi dalam menghadapi krisis itu. Untuk itu, sekolah Kristen Batakmission yang didirikannya beralihfungsi menjadi balai kesehatan.
“Dia terbukti sebagai seorang diakon Kristen sejati dalam pelayanannya kepada orang sakit, mengorbankan waktu tidur yang sangat dibutuhkan untuk merawat mereka agar kembali sehat,” tulis Martin E. Lehman dalam Biographical Study of Inger Ludwig Nommensen 1834--1918: Pioneer Missionary to The Bataks Sumatra.
Mengobati Orang Sakit
Nommensen menggunakan terapi homeopati dalam pelayanan kesehatannya. Metode homeopati merupakan pengobatan alternatif yang menggunakan larutan dari bahan alam, baik berasal dari hewan maupun tumbuhan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Dalam surat-menyuratnya yang diterbitkan berkala RMG, Nommensen menjelaskan bagaimana cara mengatur distribusi obat homeopati di wilayah Silindung.
“Nommensen, yang sangat tertarik dalam perawatan kesehatan dan ahli dalam perawatan homeopati, melaporkan bahwa kematian yang tinggi juga disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang perawatan anak yang tepat dan perawatan orang sakit,” tulis Sita van Bemmelen.
Perawatan ala Nommensen bukan tanpa hasil. Menurutnya angka kematian diantara kampung Kristen lebih rendah daripada populasi Batak tradisional. Perbandingan ini dapat ditilik dari catatan daftar kelahiran dan kematian. Yang menarik, pelayanan kesehatan juga telah memberikan dampak sosial perihal kemanusiaan. Orang-orang dari Toba ikut berdatangan ke Silindung lantaran daerah itu telah bebas dari praktik perbudakan. Dalam misi penginjilannya, Nommensen memang aktif menebus hatoban (budak ) untuk disekolahkan.
Baca juga: Penginjil Kristen dan Wabah di Tanah Batak
Ketika kolera mewabah pada 1870-an, Nommensen tetap menggiatkan pelayanan medis. Dalam bukunya Tuanku Rao Mangaraja Onggang Parlindungan Siregar mencatat, Nommensen ditemani Raja Pontas Lumbantobing – raja Batak pertama yang memeluk Kristen – berkelliling menjalankan sanitasi kontrol di Huta Dame dan Sait ni Huta. Di Toba dan Silindung, hanya dua kampung itu saja yang bebas dari wabah kolera.
“Ribuan orang-orang Silindung, Humbang, dan Toba, mendadak datang kepada Pendeta Nommensen untuk mencari perlindungan terhadap kolera. Oleh Pendeta Nommensen tidak satu pun yang ditolak,” tulis Parlindungan Siregar.
Epidemi kolera memberi ruang bagi para misionaris Batakmission turut serta dalam aktifitas pelayanan kesehatan. Mereka merawat orang sakit, menyalurkan obat-obatan, dan mengajarkan pengetahuan kesehatan. Menurut Guru Besar Teologi Jan Sihar Aritonang, para misionaris mulai melihat bahwa pelayanan kesehatan adalah salah satu kegiatan terbesar mereka. Pelayanan ini sekaligus membendung pengaruh datu (dukun Batak) yang oleh misionaris dianggap keliru, baik dari sudut pandang kedokteran maupun iman Kristen.
“Untuk itu, di Seminari Pansur Napitu, dan sebelumnya di Sikola Mardalan-dalan (di Silindung), para siswa diberikan studi medis agar mereka dapat memberikan beberapa layanann kesehatan di tempat kerja mereka,” tulis Jan Sihar Aritonang dalam Mission School in Batakland, 1861—1940.
Baca juga: Kado Natal 1000 Gulden
Begitu banyak orang-orang Batak yang merasakan manfaat dari pelayanan kesehatan. Dengan demikian, mereka bersedia pula dibaptis. Pada masa-masa gejolak epidemik kolera, Martin Lehman mencatat, cukup banyak tokoh berpengaruh, seperti raja-raja lokal maupun tetua adat yang berpindah keyakinan dari agama tradisional menjadi Kristen.
Misi Kristen rintisan Nommensen kian maju dan meluas. Sekolah dan gereja semakin banyak menghimpun orang-orang Batak sebagai jemaat. Pada 1901, rumahsakit pertama di wilayah Batak Toba didirikan oleh Batakmission di Pearaja, Silindung. Tanah Batak yang tadinya dilanda banyak wabah penyakit itu kini memulai abad baru menuju peradaban modern.