KOMPLEKS parlemen alias Gedung MPR/DPR/DPD RI belakangan jadi bahan ledekan di aplikasi Google Maps lantaran ada yang menyunting. Belum jelas siapa yang menyuntingnya namun sudah kadung geger di jagat maya. Menurut laman support Google, siapapun yang memiliki akun Google memang bisa menyunting label sebuah lokasi, namun penyuntingannya tentu akan ditinjau pihak Google terlebih dulu.
Kehebohan itu muncul lewat akun Twitter @recehtapisayng pada Minggu (2/7/2023). Tag lokasi gedung parlemen itu diubah sebutannya antara lain dengan olok-olok “Perkumpulan Tikus Berdasi”, “Sarangnya Tikus Tikus Kantor”, “Istana Tikus Berdasi, hingga “Peternakan Tikus”.
Respon sejumlah legislator terhadapnya pun beragam. Ada yang meradang karena merasa ledekan itu tak beretika. Ada pula yang menganggap hal itu sekadar bentuk “perhatian” publik.
Pihak Google, sebagaimana dikutip dari CNN, Selasa (4/7/2023), sudah melakukan peninjauan dan penindakan. Lantas, pada Rabu (5/7/2023), tag-tag yang cenderung ejekan itu terpantau sudah hilang. Kondisinya sudah kembali seperti sedia kala.
Baca juga: Riwayatnya Gedung Presidentinlinna di Finlandia
Gagasan Bung Karno
Parlemen di republik ini bermula dari berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 18 Agustus 1945 sebagai kelanjutan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). KNIP merupakan cikal-bakal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR) di kemudian hari. Namun lantaran gejolak dalam revolusi, Badan Pekerja KNIP selaku pelaksana tugas harian belum punya kantor tetap.
Buku Gedung MPR/DPR RI, Sejarah dan Perkembangannya menyebutkan BP-KNIP acap berpindah-pindah kantor kala bersidang. Jalan Pejambon No. 6, Jakarta (kini Gedung Pancasila); Jalan Cilacap, Jakarta (kini The Hermitage Hotel); Jalan Diponegoro, Jakarta (kini Gedung SMA PSKD); Gedung Republik Indonesia, Solo; di gedung eks-Hotel van Laar di Jalan Kutoardjo, Purworejo; gedung eks-Societeit Concordia, Malang; Gedung PMI di Jalan Gondolayu, Yogyakarta; Gedung Loge Theosofie di Jalan Malioboro, Yogyakarta; hingga di Bangsal Siti Hinggil Kraton Ngayogyakarta merupakan tempat-tempat yang pernah dijadikan kantor BP-KNIP.
Pasca-pembubaran KNIP pada 1949 dan Pemilu 1955 menghasilkan dua lembaga legislatif, yakni DPR dan Konstituante (dewan yang bertugas membentuk undang-undang dasar baru pengganti UUDS 1950), kantor kedua lembaga itu pun terpisah. DPR bekerja dan bersidang di Gedung Parlemen di Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, sementara para anggota Konstituante di Gedung Merdeka, Bandung.
Baca juga: Dinas Sejarah Angkatan Laut Dulu dan Kini
Baru pada periode Demokrasi Terpimpin, kompleks parlemen dengan bangunan ikonik beratap hijau yang kini diduduki para wakil rakyat –baik DPR, MPR, maupun DPD (Dewan Perwakilan Daerah)– mulai dibangun. Itupun mulanya bukan dimaksudkan untuk gedung parlemen.
Sejarawan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Asvi Warman Adam dalam diskusi daring “Dialog Sejarah: Gelora Bung Karno Milik Siapa?” di Youtube Historia.id pada 30 Mei 2023 menguraikan, kompleks parlemen itu sengaja dibangun di dalam Kompleks Gelora Bung Karno (GBK) yang ditetapkan sebagai lokasi olahraga dan politik.
“Bung Karno yang memikirkan tempat yang tepat di mana. Ada beberapa pilihan seperti Rawamangun, ataupun juga Dukuh Atas yang dianggap kemungkinan banjir atau menimbulkan kemacetan. Lalu akhirnya dipilihlah (kawasan) Senayan,” kata Asvi.
Baca juga: Kawasan Gelora Bung Karno untuk Publik
Stadion GBK dan sejumlah arena olahraga lain di sekelilingnya dibangun untuk menjamu para atlet asing di Asian Games IV 1962 Jakarta. Sedangkan lokasi yang kini menjadi Kompleks MPR/DPR/DPD RI awalnya digagas untuk Gedung CONEFO (Conference of the New Emerging Forces).
“Bung Karno ketika mulai membangun sudah terpikir bahwa sebetulnya area (Senayan) ini ada dua yang dibayangkan. Pertama, khusus olahraga. Kalau kita lihat jalan yang terbentang di depan TVRI, di jalan ke arah stadion, itu venue olahraga. Sementara jalan yang mengarah ke Gedung MPR/DPR sekarang untuk politik yang dimaksudkan untuk Gedung CONEFO tapi kemudian itu tidak jadi dan pada masa berikutnya gedung yang terbangun itu Gedung MPR/DPR,” imbuhnya.
Gedung CONEFO sebagai venue politik baru mulai dibangun pada 8 Maret 1965. Melalui Kementerian Pekerjaan Umum, proyek perancangan pembangunannya disayembarakan. Desainnya kemudian dimenangkan oleh arsitek Soejoedi Wirjoatmodjo.
Namun, Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 menghambat pembangunannya. Pembangunannya baru berlanjut setahun berselang dengan berlandaskan Surat Keputusan Presidium Kabinet Ampera No. 79 tanggal 9 November 1966.
Baca juga: Riwayat Nama Ruang dan Gedung DPR/MPR
Sebagaimana dilansir majalah Parlementaria edisi khusus No. 12 th. XXVII, 1995, gedung yang jadi bahan ledekan di atas memang dirancang Soejoedi yang dibantu arsitek Ir. Sutami dengan megah beratapkan dua kubah hijau yang dipisahkan perpotongan kubah oleh dua balok plengkung yang bersekutu di puncaknya.
Konsep kubah itu menggambarkan kepakan sayap burung Garuda yang hendak terbang. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, gedung itu justru dijuluki “Gedung Kura-Kura” karena dianggap lebih mirip cangkang atau tempurung kura-kura. Hingga kini, belum jelas sedari kapan julukan itu melekat.
Kompleks parlemen itu pun rampung secara bertahap kurun 1968-1983. Gedung-gedung di dalamnya lantas dinamai dengan bahasa Sanskerta: Grahatama, Lokawirabasha Tama, Pustaloka, Grahakarana, dan Samania Sasanagraha. Sementara usulan mengubah namanya seperti sekarang: Gedung Nusantara, Gedung Nusantara I hingga Gedung Nusantara V, serta Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI) mulai muncul di pengujung rezim Orde Baru.
“Yang jelas semua menggunakan bahasa Sanskerta yang amat sulit (diucapkan) bahkan untuk orang Jawa. Apalagi mereka yang datang dari seberang. Saya mengusulkan perubahan dan penyederhanaan nama ruang rapat di Gedung DPR,” tulis Salim Said yang sempat menjabat anggota MPR periode 1998-1999 dalam bukunya, Dari Gestapu ke Reformasi.
Baca juga: Di Balik Pendudukan Gedung DPR