Seperti awal tahun 2020 lalu, awal tahun 2021 Jakarta kembali dilanda banjir. Sejumlah wilayah, terutama di Jakarta Selatan, tergenang pada Sabtu, 20 Februari lalu.
Banjir seakan-akan menjadi momok rutin tahunan bagi warga Jakarta dan tak kunjung terselesaikan sejak dulu. Bagaimana orang Belanda menangani banjir kala Jakarta masih bernama Batavia?
Sejarawan Bondan Kanumoyoso menjelaskan dalam Dialog Sejarah “Banjir di Jakarta Riwayatmu Dulu” di saluran Youtube dan Facebook Historia, Selasa, 23 Februari 2021 bahwa karakteristik wilayah Jakarta sejak awal memang berpotensi banjir. Bukan hanya dari zaman kolonialisme Belanda, melainkan sudah sejak zaman Kerajaan Tarumanegara. Hal itu, sambung Bondan, mendorong Raja Purnawarman memerintahkan pembangunan sebuah bendungan untuk mencegah banjir.
“Jadi banjir itu merupakan suatu hal yang terjadi sejak bahkan sebelum kota ini menjadi kota pelabuhan yang ramai. Ini karena karakteristik geologi dan geomorfologi dari Jakarta,” terang Bondan.
Baca juga: Banjir di Kerajaan Tarumanegara
Jakarta yang berdiri di atas delta sungai memang rawan banjir. Paling tidak ada 13 sungai yang melalui kota ini dan berpotensi meluap ketika hujan. Selain itu, tanah Jakarta juga tidak stabil dan cenderung cekung karena tanahnya merupakan tanah hasil sedimentasi.
Ketika orang-orang Belanda tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa, jelas Bondan, mereka sudah mengenali karakterisitik wilayah ini. Namun, orang Belanda telah terbiasa. Secara geografis, wilayah Jayakarta mirip dengan Belanda yang sebagian wilayahnya berada di bawah garis permukaan laut. Mereka menganggap wilayah yang berpotensi banjir ini bukan berarti tidak ideal untuk ditinggali. Di negeri asal, orang Belanda telah terbiasa merekayasa sistem irigasi dan kanal.
Kenyataan-kenyataan itu membuat Jan Pieterszoon Coen menetapkan Jayakarta sebagai ibukota atau pusat kegiatan VOC di Asia. Coen kemudian meminta tolong pada arsitek Belanda bernama Simon Stevin untuk merancang kota dengan sistem kanal seperti kota-kota di Belanda.
“Jadi bagi mereka situasi Batavia itu bukan sesuatu yang asing dan itu yang kemudian mereka coba terapkan teknologi yang mereka punya,” jelas Bondan.
Baca juga: Banjir Jakarta 1960-an
Upaya-upaya merekayasa kota dengan banyak sungai inipun dikerjakan. Misalnya, ada upaya untuk meluruskan sungai ciliwung dan menambahkan kanal-kanal agar luapan air dapat tersebar. Upaya ini cukup berhasil sampai sekitar tahun 1630-an.
Namun ketika Gunung Salak meletus pada 1696, banjir besar kemudian mengikutinya. Material yang dihasilkan Gunung Salak terbawa banjir hingga ke Batavia. Akibatnya, garis pantai dilaporkan bertambah hingga 15 kilometer dalam satu tahun karena endapan lumpur.
Mengetahui bahwa endapat lumpur menjadi salah satu penyebab banjir, setiap musim kemarau orang-orang dari pantau utara Jawa dipanggil untuk mengeruk lumpur. Sungai-sungai yang dangkal digali dan kanal-kanal dibersihkan dari sampah dan limbah industri gula.
Bondan menyebut bahwa Belanda memilih mengeruk sungai karena air tidak bisa begitu saja menyerap ke dalam tanah.
“Itu yang dilakukan Belanda. Dan itu ada ratusan orang tiap tahun yang ditugaskan untuk mengeruk sungai,” kata Bondan.
VOC juga memiliki lembaga bernama Heemraden yang tugasnya khusus mengurusi masalah infrastruktur berkaitan dengan air.
“Nah ini yang kita nggak pernah punya di kota-kota kita,” ujar Bondan.
Bondan, yang telah meneliti lembaga ini, menyebut bahwa tak ada lembaga serupa di seluruh Asia kala itu. Heemraden hanya ada di Batavia dan mengurusi wilayah ommelanden yang sekarang sepadan dengan Jabodetabek.
Baca juga: Air Mengalir Sampai Banjir
Menjelang berakhirnya kekuasaan VOC, Batavia menjadi kurang terurus. VOC dilikuidasi dan dinyatakan bangkrut. Banyak lembaga pengurus kota yang kemudian tidak aktif sehingga pengerukan sungai juga berhenti. Kota terbengkalai.
Beberapa keberhasilan VOC bukan berarti menunjukan bahwa orang Belanda telah melakukan pekerjaan sempurna. Bondan menyebut mereka hanya mengurusi wilayah dengan pemukim orang-orang Belanda.
“Itu sebabnya di Jakarta ini centang-perenang gitu ya. Karena wilayah yang diatur dulu itu hanya wilayah yang dihuni oleh orang Eropa, khususnya Belanda. Jadi hanya di dalam kota. Di wilayah di luar itu mereka nggak mau urus,” sambungnya.
Hal itu, kata Bondan, dikarenakan VOC merupakan perusahaan. Dalam setiap kebijakan yang dibuatnya tentu lebih mementingkan untung-rugi, bukan masalah kesejahteraan penduduk. Selain itu, sumber daya manusia saat itu juga masih terbatas.
Masalah yang datang juga tidak hanya itu. Batavia dan Belanda barangkali mirip. Namun, kedua wilayah ini tidak serta-merta sama dan orang Belanda bisa menduplikasi Amsterdam ke sebuah delta sungai di Jawa. Yang paling kentara, misalnya, perbedaan curah hujan di Belanda dan Batavia. Jika di Belanda hujan turun setiap hari namun hanya gerimis, di Batavia curah hujan dan jumlah air yang tumpah begitu tinggi. Banjir lagi-lagi tak bisa dihindari.
Baca juga: Hidup di Kawasan Rawan Banjir
Pada awal abad-20, upaya menanggulangi banjir kembali dilakukan. Insinyur Herman van Breen adalah salah satu insinyur yang menyiapkan rancangan untuk mengatasi banjir. Ia membuat dua banjir kanal, yakni Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur. Selain itu ia juga membuat beberapa pintu air.
“Sebetulnya berhasil untuk mengatasi banjir pada masanya. Kalau sekarang, tentu perlu direvitalisasi, perlu ditingkatkan lagi, dan perlu dianalisa ulang karena kan daerah pemukiman dan tingkat daripada kepadatan penduduk dan juga karakteristik wilayah sudah berubah,” ungkap Bondan.
Apa yang terjadi di Jakarta saat ini merupakan buah dari pemikiran orang-orang di dalamnya yang serba ingin moden sehingga meninggalkan kearifan lokal dan lebih cenderung eksploitatif. Menurut Bondan, sifat eksploitatif kita sebagian besar merupakan hasil dari mencontoh orang Belanda yang eksploitatif terhadap alam.
Oleh karena itu, sebagai solusi untuk mengatasi banjir di Jakarta yang telah menjadi masalah sejak dulu, Bondan mengingatkan, bagaimana Belanda menangani banjir bisa menjadi satu rujukan dalam merancang kebijakan. Penanganan jangka panjang dan komprhensif perlu dilakukan dari hulu ke hilir. Bukan hanya melalui infrastruktur, melainkan juga menanamkan kembali hubungan manusia dengan alam yang harmonis dan tidak eksploitatif.