Memasuki tahun 2020, banjir melanda sejumlah wilayah di Jakarta dan sekitarnya. Genangan air sempat melumpuhkan berbagai akses jalan dan fasilitas umum, termasuk merendam rel dan landasan bandara.
Ini bukan pertama kalinya banjir merendam Jakarta. Menurut Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, selama air dibiarkan masuk dari selatan ke Jakarta tanpa pengendalian di wilayah selatan, banjir akan terus terjadi.
"Apa pun yang kita lakukan di pesisir termasuk di Jakarta tidak akan bisa mengendalikan airnya," kata Anies seusai memantau banjir melalui helikopter dari kawasan Monas.
Anies pun mengapresiasi pembangunan dua bendungan di Bogor, Jawa Barat, untuk mengendalikan air masuk ke Jakarta. Bendungan Sukamahi dan Bendungan Ciawi tengah dibangun Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Dua bendungan ini diprediksi rampung pada 2020.
"Kuncinya ada di pengendalian air sebelum masuk ke kawasan pesisir," tegas Anies.
Kerugian besar akibat banjir pernah dirasakan Raja Airlangga, penguasa Kahuripan pada 1019-1042, dan rakyatnya. Lewat Prasasti Kamalagyan yang ia keluarkan pada 1037, diketahui kalau Bengawan (Sungai Brantas) sering menjebol tanggul di Waringin Sapta. Luapannya pernah membawa banyak dampak kerugian.
"…demikianlah banyaknya tanah pertanian yang sawah-sawahnya tertahan dan terkena (hasil buminya) oleh sungai kecil yang akhirnya menjadi bengawan menerobos di…," catat prasasti itu. "…Waringin Sapta, sehingga kuranglah milik raja dan binasalah sawah-sawahnya."
Baca juga: Air Mengalir Sampai Banjir
Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia dalam Airlangga, Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI, menjelaskan sungai yang meluap itu tiba-tiba mengalir ke timur. Karenanya tanaman-tanaman rusak. Lalu lintas sungai serta hubungan dengan negeri Janggala dan laut pun terputus.
Akibatnya, tak hanya di sektor pertanian karena sawah-sawah warga yang terendam. Tapi juga perdagangan dan agama.
"Khususnya perdagangan yang menggunakan aliran Sungai Brantas sebagai jalur perdagangannya," jelas Ninie.
Begitu pula nasibnya dengan desa-desa, bangunan-bangunan suci dan pertapaan-pertapaan. Berdasarkan prasasti itu, epigraf Boechari dalam "Perbanditan di Jawa Kuno", termuat di Melacak Sejarah Kuno Lewat Prasasti, menjelaskan desa-desa yang terdampak berada di sebelah hilir, yaitu desa-desa Lasun, Palinjuwan, Sijanatyasan, Panjigantin, Talan, Dasapangkah, dan Pangkaja. Berikut juga semua jenis sima, terutama di antaranya adalah sima bagi Sang Hyang Dharma di Isanabhawana yang bernama Surapura.
"Desa dan sima itulah yang selalu ditimpa banjir dan terendam sawah-sawahnya jika Bengawan (Brantas) meluap di Waringin Sapta. Akibatnya sawah hancur. Pemasukan pajak pun berkurang," katanya.
Baca juga: Raja Pembangun Kanal
Bukan tak tahu risikonya, kata Ninie, Airlangga memang sengaja memindahkan pusat kerajaannya lebih ke pedalaman yang dekat dengan aliran Sungai Brantas. Prasasti Kamalagyan menyebutkan pusat kerajaan berada di Kahuripan. Kemungkinan letaknya di wilayah Mojokerto sekarang.
Sebelumnya pusat kerajaan ada di Wwatanmas. Alasan pindahnya karena Airlangga ingin memajukan pertanian sawah sekaligus menghidupkan kembali pelabuhan perdagangan regional dan lokal.
"Delta Sungai Brantas adalah daerah yang sangat potensial dengan tingkat kesuburan tinggi untuk mengembangkan pertanian," kata Ninie.
Airlangga juga ingin menghidupkan pelabuhan-pelabuhan di tepi sungai di wilayah pedalaman. Fungsi pelabuhan ini untuk mengumpulkan hasil pertanian sebelum dibawa ke pelabuhan yang lebih besar.
Melihat pusat kerajaannya yang baru rawan banjir Airlangga pun mengambil dua cara: membangun bendungan yang menahan air banjir dari Kali Brantas dan memecah aliran sungai menjadi beberapa cabang.
Menurut prasasti yang ditemukan di Klagen, Desa Tropodo, Sidoarjo, Jawa Timur itu, Sungai Brantas tak hanya sudah ditambak sekali atau dua kali. Tapi masih saja jebol. "Tak hanya sekali dua kali penduduk Waringin Sapta membuat tanggul luapan bengawan. Tapi tak pernah berhasil," kata Boechari.
Karenanya raja turun tangan. Airlangga memerintahkan semua penduduk untuk bekerja bakti membangun bendungan. Ketika selesai, luapan air terhenti. Aliran bengawan dipecah menjadi tiga, mengalir ke utara.
Baca juga: Raja Pembangun Bendungan
Itu sesuai dengan pernyataan dalam prasasti. "Sempurna dan kuat dan jalan air yang menerobos sudah tertutup, sungai bengawan bercabang tiga arusnya dan mengalir ke arah utara," catat keterangan dalam Prasasti Kamalagyan.
Jika benar Kahuripan di wilayah Mojokerto sekarang, di tempat ini sekarang Sungai Brantas membelah menjadi dua. Lewat Kali Porong, air mengalir ke timur. Semetara lewat Kali Mas, air mengalir ke utara.
Tetapi tak berhenti di situ. Raja memikirkan pula pemeliharaan bendungan selanjutnya. Ia menyadari banyaknya orang yang berniat menghancurkannya. "Karena bendungan itu tak dapat ditinggikan maka hendaknya ia dijaga," jelas Boechari.
Untuk itulah penduduk Desa Kamalagyan diperintahkan untuk bertempat tinggal di tepi bangunan di Waringin Sapta. Tugas mereka mengawasi semua orang yang hendak mengancam keselamatan bendungan itu.
Sebagai gantinya, raja menjadikan Desa Kamalagyan sebagai desa perdikan (sima). Artinya raja mengurangi beberapa macam pajak yang harus diserahkan kepadanya. Hasil dari sima digunakan untuk kepentingan peneliharaan bendungan di Waringin Sapta.
Baca juga: Cara Penguasa Jawa Mengelola Air
Menurut Boechari, tugas menjaga bendungan itu lebih untuk menghindari dari tindakan sabotase. Rupanya pada masa itu tak banyak yang mendukung pemerintahan Airlangga.
"Karena ia anak raja Bali, sekalipun ibunya keturunan Isana. Mereka tahu bahwa ada orang yang lebih berhak atas takhta kerajaan, yaitu anak Dharmawangsa Tguh, yang mungkin masih bayi atau masih dalam kadungan," jelas Boechari.
Kendati begitu, berkat bendungan itu penduduk desa bersuka cita karena dapat mengolah kembali sawahnya. Para pedagang juga dapat berperahu dari hulu sungai untuk mengambil dagangan ke Hujung Galuh, tempat transaksi para pedagang dan nakhoda dari pulau lain.
"Sehingga sukalah hati orang yang berlayar menuju ke hulu, setelah mengambil muatan di Hujung Galuh…" catat Prasasti Kamalagyan. "Penduduk desa yang sawahnya kebanjiran dan hancur amat bersenang hati sekarang, karena sawah mereka dapat dikerjakan kembali."