Masuk Daftar
My Getplus

Banjir Besar di Lembah Anai

Pada masa kolonial Belanda, dua kali banjir besar menerjang Lembah Anai. Menghancurkan jalan raya serta jalan dan jembatan kereta api.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 13 Mei 2024
Jembatan di Batubadukung, Lembah Anai, Sumatra Barat, runtuh oleh banjir bandang, sekitar 1904. (C.B. Nieuwenhuis/Wereldmuseum).

SUMATRA Barat dilanda bencana alam pada 11 Mei 2024. Banjir bandang di kaki Gunung Marapi menerjang Lembah Anai. Akibatnya, jalur yang menghubungkan Padang-Bukittinggi terputus karena badan jalan amblas di Lembah Anai. Jalur utama ini tidak bisa dilewati sama sekali. 

Banjir juga menghanyutkan pondok-pondok wisata di lokasi pemandian, termasuk sebuah kafe yang berdiri di depan air terjun Lembah Anai. Sejauh ini korban jiwa 27 orang meninggal dan 18 luka-luka. 

Dalam sejarah pada masa kolonial Belanda, bencana banjir besar pernah dua kali terjadi di Lembah Anai tahun 1892 dan 1904. 

Advertising
Advertising

Hasjim Ning, pengusaha nasional masa Sukarno, menceritakan dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang, “Ketika aku dibawa kakekku ke Payakumbuh untuk disekolahkan, kami naik kereta api. Ketika kereta api melewati Lembah Anai dengan jalannya yang lamban karena menaiki pendakian yang berbelok-belok di lereng lembah itu, kakekku bercerita tentang Batang Anai yang pernah banjir.”  

Baca juga: Air Mengalir Sampai Banjir

Waktu itu, lanjut Hasjim Ning, air sungai itu gemercik di sela-sela batu besar yang bertaburan di sepanjang dasarnya. Menurut cerita kakekku, air sungai yang gemercik itu pernah banjir dengan dahsyatnya. Sehingga, dinding bukit longsor menimbuni jalan kereta api dan jalan raya, serta menghanyutkan sebuah jembatan besi sampai 50 meter ke hilir.  

“Kakekku tidak lupa peristiwa itu, karena pada tahun itu (1892) ayahku baru lahir. Dan kakekku tertahan oleh karena jalan putus. Untuk meneruskan perjalanan kakekku harus berjalan kaki ke Kayutanam. Dan dari sanalah kakekku bisa naik kereta api lagi ke Padang,” kata Hasjim Ning. 

Banjir di Lembah Anai dilaporkan melalui telegram kepada pemerintah oleh W. De Jongh Dzn., Kepala Insinyur Kereta Api Negara Sumatra dan Tambang Ombilin. Isi laporan tersebut dimuat dalam surat kabar di antaranya Algemeen Handelsblad, 6 Februari 1904 yang mengutip Javasche Courant

Baca juga: Bagaimana Belanda Mengurus Banjir di Batavia?

Kepala insinyur itu melaporkan, akibat derasnya banjir Sungai Anai, disertai hujan deras pada malam tanggal 5 hingga 6 Januari 1904, terjadi kerusakan parah. Banjir tersebut disebabkan oleh hujan lebat di ujung atas ngarai sehingga Sungai Anai dan Singgalang meluap. Selain banyak longsoran tanah dan batu, kerusakan besar terjadi pada jalur kereta api dan jalan utama. 

Lintasan tersapu di dua tempat dan jembatan kereta api sebelum Kampung Tengah rusak, jembatan kereta api di Tambun Tulang di atas Sungai Anai dan jembatan pertama antara Kandang Ampat di Padang Panjang sepanjang lima puluh meter dengan penyangganya roboh dan hancur. Massa batuan dan tanah meninggalkan rel dan bantalan atau membengkokkan rel seperti batang korek api.  

Rumah penjaga wesel kereta api tersapu banjir. Wesel, dari bahasa Belanda wissel, adalah konstruksi rel kereta api yang bercabang atau bersimpangan tempat memindahkan jurusan jalan kereta api. Komunikasi telegraf dengan Padang Panjang terputus. Namun, komunikasi pos dengan daerah dataran tinggi bisa segera dipulihkan. Angkutan barang ke dataran tinggi dilakukan dengan gerobak kerbau melalui Soebang Pass menuju Stasiun Solok. Sejauh diketahui tidak ada korban jiwa. Perbaikan akan memakan waktu dua hingga tiga bulan dengan biaya untuk sementara diperkirakan sekitar dua ratus ribu gulden. 

Baca juga: Banjir Jakarta 1960-an

Selain itu, pengiriman batubara untuk BOW (Burgerlijke Openbare Werken atau Departemen Pekerjaan Umum) dan Angkatan Laut harus dihentikan sampai pemberitahuan lebih lanjut. Namun, kapal yang singgah di Emmahaven (Pelabuhan Teluk Bayur) akan dipasok dengan batu bara yang tersedia di bunker. 

“Ini adalah bencana serius kedua yang terjadi di Ngarai Anai. Bencana pertama yang masih hidup dalam ingatanku terjadi pada Hari Natal 1892,” tulis kepala insinyur tersebut. “Dalam delapan jam pada tanggal 23 Desember, di ujung atas ngarai Padang Panjang, hujan turun dengan curah hujan 225 milimeter; terjadilah banjir yang dahsyat.” 

Baca juga: Banjir Jakarta 1960-an

Seorang penulis di Het nieuws van den dag, 16 Februari 1893, menyebut bahwa menurut keterangan sebagian penduduk gunung yang berada di Ngarai Anai, air yang tanggal 24 Desember 1892 menyebabkan kehancuran begitu parah, tidak hanya berasal dari hujan deras yang turun pada hari-hari sebelumnya, tetapi juga karena tekanan air yang menumpuk di danau pegunungan mengakibatkan dindingnya runtuh.  

Akibat gangguan lalu lintas yang terputus, sebut Het nieuws van den dag, beberapa barang kebutuhan rumah tangga yang diangkut ke dataran tinggi mengalami kenaikan harga yang tajam. Misalnya, sekotak minyak tanah dari sekitar ƒ4 menjadi ƒ12 di Padang Panjang dan ƒ15 di Port de Kock (Bukittinggi), sedangkan sayur-sayuran, kentang, daging dan sejenisnya, yang sebagian besar disuplai oleh dataran tinggi ke pasar, juga menjadi jauh lebih mahal.

Kepala insinyur itu menyebut banjir mengakibatkan jalur kereta api rusak, termasuk tembok penahan, jembatan kereta api, jalan raya, rumah-rumah, dan sebagian jalan pos hancur. Jalur kereta api, yang baru dibuka sejak Juli 1891, rusak selama berbulan-bulan. Biaya perbaikan diperkirakan lebih dari setengah juta gulden.* 

TAG

banjir sumatra barat

ARTIKEL TERKAIT

Cerita Liem Swie King Terobos Banjir Bagaimana Belanda Mengurus Banjir di Batavia? Banjir Jakarta 1960-an Banjir di Kerajaan Tarumanegara Saat Jakarta Dikepung Banjir Hidup di Kawasan Rawan Banjir Desas-Desus Sabotase Banjir Bandung 1945 Air Mengalir Sampai Banjir Ogah Dipaksa Kawin, Maisuri Kawin Lari Berujung Dibui Ratna Assan, Gadis Cilik Penyambut Sukarno di Amerika