RAJA Airlangga, pendiri kerajaan Kahuripan di Jawa Timur, berang. Sejumlah penguasa daerah vassal (bawahan) menggalang kekuatan untuk menentangnya pada 1029. Tak menunggu lama, dia menyerang mereka. Semua penentangnya takluk dalam waktu enam tahun. Masa damai pun datang.
“Maka ia pun duduk di atas singgasana dan meletakkan kakinya di atas kepala musuh-musuhnya,” tulis Prasasti Pucangan, bertarikh 1041, dikutip Nunie Soesanti, pengajar Program Studi Arkeologi Universitas Indonesia dalam laporan penelitiannya, “Prasasti-Prasasti Sekitar Masa Pemerintahan Raja Airlangga”.
Tapi masalah belum selesai. Banjir kerap melanda kerajaannya, merendam desa-desa di bagian hilir seperti Lasun, Palinjuwan, Sijanatyesan, Panjigantin, Talan, Dasapankah, dan Pankaja.
“Itulah desa-desa dan sima (desa khusus) yang selalu ditimpa banjir dan terendam sawah-sawahnya jika Bengawan (Brantas) meluap di Warinin Sapta, yang menyebabkan hancurnya sawah dan berkurangnya pajak yang masuk,” tulis Boechari, “Perbanditan di Jawa Kuno”, termuat dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti.
Mengetahui rakyatnya sengsara, Airlangga memerintahkan semua penduduk bekerja bakti membangun bendungan. Tujuannya memecah aliran Bengawan, yang mengalir ke utara, menjadi tiga. Cara ini berhasil. Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya 3 menulis, “Banyak tanah yang tergenang (renek) dapat dijadikan sawah.”
Rakyat senang. Petani bisa bekerja kembali, sedangkan pedagang tak lagi khawatir berlayar di Bengawan.
Airlangga tak berhenti pada pembangunan bendungan. Dia sadar bendungan itu harus dirawat. Apalagi ada sekelompok orang yang ingin menghancurkan bendungan itu.
“Untuk itulah penduduk desa Kamalagyan dan kalagyan-nya diperintahkan untuk bertempat tinggal di tepi bendungan di Warinin Sapta itu,” tulis Boechari, mengutip Prasasti Kamalagyan, bertarikh 1037.
Airlangga juga mengingatkan pejabat desa agar tak menelantarkan bendungan itu.