RAJA Airlangga bukanlah yang pertama melakukan pencegahan banjir dan pengendalian air. Jauh sebelumnya, sejumlah penguasa telah memulai langkah itu. Menurut H.M. Vlekke dalam Nusantara, raja Purnawarman –sebagian menduga dia bergelar Raja di Raja– tercatat sebagai “pembangun karya irigasi publik tertua yang kita kenal di Jawa.”
Menurut Prasasti Tugu yang ditemukan di daerah Tugu, Jakarta Utara, Purnawarman memerintah kerajaan Tarumanagara (dalam kronik Tionghoa disebut To-lo-ma). “Ibukota kerajaan Taruma diduga di sekitar Bekasi, kurang lebih lima belas kilometer sebelah timur Tugu,” tulis Adolf Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta.
Ibukota kerajaan itu beberapa kali dilanda banjir. “Raja Purnawarman membangun kali sepanjang 12 kilometer untuk menanggulangi persoalan tersebut,” ujar sejarawan JJ Rizal. Pembangunan itu dilakukan pada pertengahan abad ke-5 atau tahun ke-22 masa pemerintahannya.
Menurut J. Noorduyn dan H. Verstappen, “Purnavarmans River-Works Near Tugu”, termuat dalam KITLV Journals No 128 tahun 1972, Prasasti Tugu menyebut pembangunan dua sungai pada masa itu: kali Candrabhaga dan kali Gomati. Namun mereka tak bisa memastikan hubungan pembangunan dua kali itu. Yang jelas, dua kali itu bertemu di selatan ibukota kerajaan sehingga membentuk tapal kuda.
Heuken yakin penggalian kanal ini merupakan upaya pertama untuk menanggulangi masalah banjir. Restu Gunawan, peneliti sejarah banjir Jakarta, berpendapat serupa. “Penggalian itu tentu dimaksudkan untuk mengairi sawah dan menahan banjir, sebuah usaha untuk kesejahteraan umum,” tulis Restu dalam Gagalnya Sistem Kanal.
Usai pembangunan itu, Purnawarman menyembelih 1000 ekor kerbau. Semacam syukuran. Dia lalu membuat sodetan sepanjang 1 km di antara dua kali. Hasilnya, pengairan sawah menjadi lebih mudah.
“Penerapan teknologi yang makin tinggi ini meningkatkan produksi padi sehingga Tarumanagara menjadi kerajaan yang makmur,” tulis Ridwan Saidi dalam Babad Tanah Betawi.