GALANGAN kapal Kaigun Kōshō di Kure, Jepang, lebih ramai pada 8 Agustus 1940. Sebuah kapal tempur gagah yang paling ditakuti Sekutu di Perang Pasifik diluncurkan dari galangan keringnya ke perairan. Kapal itu yang mulanya disebut “Kapal Tempur No. 1”, kemudian dinamai Yamato merujuk salah satu provinsi di Negeri Matahari Terbit.
Namun itu baru sekadar peluncuran dengan perayaan sederhana oleh para pekerjanya, para perancang, serta sejumlah petinggi Kaigun (Angkatan Laut/AL Jepang). Next, kapal tempur itu mesti lebih dulu menjalani fitting out atau penyempurnaan kelengkapan, termasuk dilekatkan simbol kekaisaran berupa bunga krisan atau bunga serunai.
“Kami percaya bahwa kapal kami milik kaisar. Itulah mengapa terdapat lambang keluarga kekaisaran. (Simbol) bunga krisan hanya dilekatkan di kapal-kapal terbesar AL, kapal tempur, kapal induk, kapal penjelajah. Simbol (bunga krisan) di kapal tempur Yamato adalah yang terbesar, dua meter diameternya,” kenang salah satu perancang Kaigun, Sakutaro Nishihata, dikutip sejarawan maritim University of Northumbria Daniel Knowles dalam Yamato: Flagship of the Japanese Imperial Navy.
Yamato dibangun di galangan Kaigun Kōshō mulai Maret 1937 atau tiga tahun setelah Jepang keluar dari Liga Bangsa-Bangsa dan Traktat AL Washington. Ia satu dari tiga proyek Yamato-class. Satu saudara mudanya, Musashi, juga dibangun dengan spesifikasi yang hampir sama megah dan gagahnya. Sementara satu lagi yang dibangun belakangan, Shinano, justru buru-buru diubah jadi kapal induk di tengah pembangunannya karena kebutuhan mendesak akan kapal induk tambahan.
Baca juga: Adu Kekuatan Armada Amerika dan Jepang
Hingga 1940, Jepang menjadi kekuatan AL terbesar dunia ketiga setelah Inggris dan Amerika Serikat. Sebelumnya melalui Traktat AL Washington tahun 1922, rasio pembatasan kapal perang yang diperbolehkan, 5:5:3 untuk Inggris, Amerika, dan Jepang.
“Jepang hanya diperbolehkan memiliki 60 persen dari total kekuatan AL Inggris atau Amerika. Setelah keluar dari traktat, Jepang mengalami peningkatan jumlah kapal induk dan kapal tempur. Terdapat 20 kapal baru dibangun pada 1937 dan seterusnya. Termasuk kapal tempur super Yamato yang diluncurkan pada 8 Agustus 1940 untuk dilakukan fitting out, dan Musashi yang diluncurkan pada 29 Maret 1940,” tulis Rod MacDonald dalam Task Force 58: The US Navy’s Fast Carrier Strike Force that Won the War in the Pacific.
Yamato dibangun dengan tingkat kerahasiaan amat tinggi. Rancangannya terbagi menjadi sejumlah bagian yang masing-masing ditangani perancang-perancang berbeda.
“Setiap kali kami selesai menggambar, kami akan mengembalikan rancangan-rancangan kami kepada para pengawas yang akan menguncinya di dalam brankas. Rancangannya memang direncanakan dengan top secret. Saya membangun kapal terbesar di dunia dan saya bahkan tidak tahu bagaimana hasil akhir rancangannya sampai pecahnya perang,” sambung Nishihata.
Untuk menjaga kerahasiaannya dari pihak luar, imbuh Nishihata, galangan kering tempat dibangunnya Yamato ditutupi atap buatan agar siapapun tidak melihat bagaimana pekerjaan konstruksinya. Sementara di sekeliling galangannya dihalangi pagar-pagar baru yang tertutup rapat.
Baca juga: Akagi, Kebanggaan Armada Jepang Karam di Midway
Pun para pekerja dan perancangnya disumpah untuk menjaga kerahasiaannya. Barangsiapa yang menyebutkan proyeknya di muka publik dan tepergok pihak berwenang, hukuman berat atau ancaman hukuman mati sudah menanti.
“Proyek ini dikategorikan rahasia negara dan kami diperintahkan hanya merekrut perancang dan para pekerja yang bisa dipercaya. Setiap pekerja itu akan diperiksa polisi rahasia, soal latarbelakang agama dan politik, hingga kemungkinan memiliki kenalan orang asing. Setelah itu mereka akan diambil sumpahnya untuk terus merahasiakannya,” timpal Kapten Shuji Hirata, salah satu pengawas konstruksi Kaigun.
Setelah diluncurkan pada 8 Agustus 1940, fitting out Yamato rampung pada 12 Agustus 1941. Tapi baru setahun kemudian, yakni pada akhir Oktober 1941, Yamato menjalani serangkaian uji pelayaran dengan nakhoda pertamanya Laksamana Pertama (laksma) Miyazato Shutoku.
“Yamato dan Musashi masing-masing 64.000 ton bobotnya adalah kebanggaan AL Jepang, sebab keduanya adalah kapal tempur paling besar yang manusia pernah bikin. Kapal tempur paling besar Amerika, dari Iowa-class (USS Iowa, USS New Jersey, USS Missouri, dan USS Wisconsin, red.), cuma 45.000 ton,” tulis P. K. Ojong dalam Perang Pasifik.
Baca juga: Tirpitz, Benteng Terapung Hitler
Dibandingkan dengan kapal tempur kepunyaan diktator Jerman Nazi, Adolf Hitler, dari Bismarck-class, yakni Bismarck dan Tirpitz, Yamato unggul karena Birmarck-class hanya berkisar 41 ribu ton bobotnya. Adapun King George V-class milik Inggris yang meliputi HMS King George V, HMS Prince of Wales, HMS Duke of York, HMS Anson, HMS Anson, dan HMS Howe juga hanya berkisar 40 ribu ton.
“Dibangun dengan tingkat kerahasiaan tinggi, Yamato dengan dimensi panjang 256 meter dan lebar lambung 36,9 meter, juga memiliki baja pelindung yang sangat tebal,” ungkap Martin J. Dougherty dalam Modern Warships Up Close.
Ketebalan baja Yamato bervariasi. Bagian deknya dilindungi baja setebal 220-225 milimeter. Di bagian kedua sisi kapal dibalut lapisan baja setebal 410 mm. Sedangkan untuk pelindung turret-nya dilapisi baja setebal 650 mm hingga membuat seluruh bagian meriamnya, baik mounting, mekanis, kubah, hingga laras meriam terbesarnya punya bobot sekira 2.500 ton.
“Sebagai perbandingan kapal perang Indonesia yang terbesar frigat dari Tribal-class eks Inggris (KRI Wilhelmus Zakarias, KRI Hasanuddin, KRI Martha Khristina Tiyahahu, red.) beratnya 2.300 ton. Nah, salah satu tiga mercu meriam dari Yamato ini saja beratnya hampir sama dengan seluruh berat kapal frigat itu,” lanjut Ojong.
Baca juga: Petualangan Evertsen, dari Arktik hingga Arafura
Yamato sendiri punya total 21 meriam yang terdiri dari tiga meriam berlaras tiga kaliber 18,1 inci (46 cm), empat meriam berlaras tiga kaliber 6,1 inci, enam meriam berlaras ganda kaliber 12,7 inci, dan delapan meriam berlaras tiga 1 inci. Itu belum termasuk dua senapan mesin berlaras ganda kaliber 13,2 mm.
“Meriam-meriam terbesar Yamato sembilan buah berdiameter 18,1 inci. Meriam terbesar kapal tempur Amerika adalah 16 inci. Perbedaan 2 inci itu kelihatan tidak banyak tapi sebenarnya hebat, sebab peluru meriam yang digunakan meriam 18,1 inci itu 3.200 pon, hampir 50 persen lebih berat dari peluru meriam 16 inci,” tulis Ojong lagi.
Bukan hanya meriam. Persenjataan Yamato juga datang dari tujuh pesawat amfibi Nakajima E8N yang bisa diluncurkan lewat dua katapel mekanisnya. Sementara untuk berlayar, kapal yang diawaki lebih dari tiga ribu kru itu dipasok 12 ketel uap yang menggerakkan empat baling-balingnya hingga mampu melaju sampai kecepatan maksimal 27 knot (50 km per jam).
Berjibaku
Setelah menjalani serangkaian uji pelayaran, Yamato resmi bertugas sejak 16 Desember 1941 atau sepekan pasca-Pembokongan Pearl Harbor. Yamato jadi tambahan kekuatan besar bagi Divisi Kapal Tempur ke-1 Kaigun. Sejak 12 Februari 1942 hingga setahun kemudian, Yamato dijadikan kapal komando Panglima Armada Gabungan Laksamana Isoroku Yamamoto –kemudian perannya dipindah ke Musashi.
Kendati penampakannya menakutkan, Yamato justru terbilang jarang terlibat pertempuran menentukan sepanjang Perang Pasifik (1941-1945). Pertempuran-pertempuran yang terjadi justru didominasi adu kekuatan kapal induk. Paling sering ia sekadar melakoni tugas patroli atau mengawal iring-iringan kapal angkut pasukan.
“Pada 25 Desember (1943) saat mengawal konvoi kapal angkut dan logistik, gugus tugas yang dipimpin Yamato sempat mencegat serangan kapal selam Amerika USS Skate dekat Kepulauan Truk (kini Kepulauan Chuuk, Federasi Mikronesia). Dari empat torpedo yang dilepaskan Skate, salah satunya mengenai sisi kanan Yamato hingga membuat kapal itu harus diperbaiki di galangan kering sampai 3 Februari 1944,” ungkap William Garzke dan Robert Dulin dalam Battleships: Axis and Neutral Battleships in World War II.
Baca juga: Sebelum Pearl Harbor, Pesawat Jepang Pernah Tenggelamkan Kapal AS
Dalam Pertempuran Laut Filipina (19-20 Juni 1944), Yamato juga sekadar mengawal konvoi Armada Ichi Kidō (Armada Mobile ke-1). Pun juga di Pertempuran Teluk Leyte (23-26 Oktober 1944), kendati kemudian Panglima Gugus Tugas Tengah Laksamana Takeo Kurita memindahkan bendera komandonya ke Yamato setelah kapal komandonya, kapal penjelajah Atago, tenggelam.
Baru pada 7 April 1945, Yamato terlibat pertempuran yang tidak hanya menentukan bagi Kaigun tapi juga nasib kekaisaran. Sepekan setelah Sekutu menginvasi Okinawa, sisa-sisa kekuatan Kaigun Jepang yang masih ada dikonsolidasikan demi mencegah invasi susulan ke daratan utama Jepang yang hanya berjarak 350 mil dari Okinawa.
“(Kepala Staf Kaigun) Laksamana Soemu Toyoda mengirim sisa-sisa armadanya untuk menyerang armada Amerika di Okinawa (Operasi Ten-Go). Perintah itu disampaikan kepada Laksdya Seiichi Itō di kapal tempur Yamato. Itō membaca perintah itu sampai dua kali. Ia tahu bahwa itu adalah serangan bunuh diri. Memang tidak ada gunanya membiarkan kapal-kapal perang yang tersisa itu di pelabuhan Jepang. Apalagi ini bertentangan sama sekali dengan tradisi Jepang, Yamato berarti semangat berperang, warrior spirit,” sambung Ojong.
Di Pertempuran Laut China Timur (7 April 1945) itu, Yamato tergabung di Armada ke-2 Kaigun, yang hanya diperkuat satu kapal penjelajah Yahagi, delapan kapal perusak, dan 115 pesawat Angkatan Darat (AD) Jepang yang menerapkan taktik kamikaze (serangan bunuh diri).
Sementara lawannya, Armada ke-5 dari Gugus Tugas 58 AL Amerika pimpinan Laksamana Marc Mitscher, memiliki delapan kapal induk yang mengangkut 386 pesawat, enam kapal tempur, 11 kapal penjelajah, dan 30 kapal perusak. Pertempuran yang berat sebelah itu berarti Yamato harus berjibaku hingga titik penghabisan.
Baca juga: Operasi Mengebom Kapal Jepang
Nasib Yamato kurang lebih serupa dengan dua kapal tempur Inggris, HMS Repulse dan HMS Prince of Wales, yang dikeroyok pemboman dan torpedo pesawat-pesawat dari kapal induk Jepang pada 10 Desember 1941. Keduanya sama-sama menderita tanpa pengawalan pesawat karena taktik kamikaze tadi, di mana 115 pesawat AD Jepang itu menyasar kapal-kapal induk Amerika yang membantu pendaratan ke Okinawa dan bukan untuk melindungi Yahagi apalagi Yamato.
“Pagi, 7 April 1945 pesawat pembom dan torpedo dari Gugus Tugas 58 tiba. Yahagi secara berani menjadi umpan serangan pesawat ke jurusannya sendiri, supaya Yamato bisa selamat. Setelah kapal berani itu mendapat kerusakan hebat, giliran Yamato yang diserang pesawat torpedo,” tambahnya.
Serangan pertama pesawat-pesawat dari kapal induk USS San Jacinto terhadap Yamato terjadi sekira pukul 12.37 meski Yamato masih sanggup bermanuver untuk mengelak. Dua serangan bom baru telak mengenai Yamato di bagian kubah meriam anti-pesawatnya tercatat pukul 12.41. Tiga menit berselang, satu bom lagi menghantam ruang radar, serta satu torpedo ke sisi kanan.
“Di permulaan serangan gelombang kedua, Yamato masih menembak dan melawan dengan sengit terhadap 48 pesawat pembom Hellcat, 25 pembom tukik Helldiver, dan 53 pembom torpedo Avenger. Tapi perlahan-lahan salvo meriam penangkis udaranya berkurang. Dia memang sempat miring 18 derajat tapi bisa ditegakkan kembali dengan sistem pompa airnya. Para pilot Amerika pun bertanya-tanya, ‘kok begini ulet?’,” ungkap Ojong.
Baca juga: Lonceng Kematian Kapal Kebanggaan Jerman
Sejak serangan pertama pada pukul 12.37, Yamato akhirnya hanya sanggup berjibaku selama hampir dua jam. Setidaknya butuh 11 torpedo dan enam bom untuk melumpuhkan Yamato yang berhenti melawan ketika waktu sudah memasuki pukul 14.23.
Salah satu torpedo terakhir pesawat dari USS Yorktown membuat lapisan baja Yamato rusak parah hingga mengakibatkan kapal gagah itu terbalik. Sekira 3.055 dari 3.332 krunya ikut tenggelam, termasuk Laksamana Itō.