SEIRING meningkatnya penetrasi pasukan Jepang di Asia Tenggara, pada Januari 1942 Belanda memindahkan kesatuan pembom Group 7 ke Pangkalan Udara Manggar (Samarinda II). Grup 7 bertugas melindungi konvoi kapal Belanda dari kapal selam Jepang dan menyerang konvoi kapal Jepang dan pangkalan laut Jepang di Borneo bagian barat.
Pada 13 Januari 1942, tiga grup masing-masing tiga pesawat pembom B-10 Glenn Martin menggelar misi penyerangan terhadap armada Jepang di Tarakan. Seorang Indonesia terlibat dalam misi itu: Letnan Suryadi Suryadarma. Sebelum di Group 7, dia menjadi instruktur di Sekolah Penerbang dan Pengintai Kalijati, Jawa Barat. Meski bukan sebagai pilot, impiannya sejak lama, pria kelahiran Banyuwangi itu bertugas sebagai Waarnemer yang berfungsi sekaligus sebagai navigator, observer, perwira pengeboman, dan air liason.
Suryadarma, kemudian menjadi KSAP dan KSAU Indonesia pertama, ikut dalam pesawat ketiga bernomor registrasi M-588 yang dipiloti Letnan Penerbang JH Lukkien. Dalam grup itu, dua pesawat lain dipiloti Serma Troost dan Serma WCG Tinkelenberg.
Sekira pukul delapan waktu setempat, M-588 mengudara hampir bersamaan dengan dua pesawat lain di grupnya. Cuaca pagi itu amat cerah. B-10 Glenn Martin riskan dimangsa musuh lantaran pesawat tua itu hanya mengandalkan cuaca untuk perlindungan diri. Standing operation procedure memperbolehkan pilot membatalkan misi apabila cuaca cerah. Tapi Lukkien memutuskan tetap menyelesaikan tugas ketimbang pulang.
Mendekati sasaran, para awak M-588 melihat sekira 50 kapal perang Jepang. Mereka mulai menyerang ketika M-588 berada di ketinggian 5000 kaki. M-588 bergerak zigzag untuk menghindari tembakan.
Di tengah keadaan genting itu, Suryadarma terus konsentrasi dengan bomb sight-nya untuk mencari mangsa kapal Jepang. Begitu mantap, dia langsung memberi aba-aba yang diikuti terjunnya bom-bom dari ketiga lambung pesawat. Dua kapal perang Jepang tenggelam, salah satunya kapal penjelajah (battle cruiser ship).
Namun, M-588 menghadapi bahaya baru yang lebih keras. “Lukkien melihat ada enam pesawat Zero yang menyerang mereka dari atas,” ujar Suryadarma dalam Bapak Angkatan udara: Suryadi Suryadarma karya Adityawarman Suryadarma. M-588 langsung melakukan diving untuk menghindari tembakan itu sekaligus terbang rendah. Tembakan itu tak semua meleset. Satu peluru menembus paha Lukkien.
“Letnan JH Lukkien mengalami luka parah,” tulis buku terbitan Drukkerij G.C.T. van Dorp, Nederlands-Indië Contra Japan, Vol. 4. Suryadarma segera memberi pertolongan pertama untuk menghentikan pendarahan. Posisi Lukkien diambilalih kopilot Sersan Penerbang Vermey.
Sementara itu, pesawat yang dipiloti Tinkelenberg kondisinya lebih parah. Pesawat berantakan oleh serangan pesawat Jepang. Tembakan juga mengenai Tinkelenberg yang tak merasakan sakit. Pesawat itu semakin parah saat serangan kedua mengenai engine throttles sekaligus tangan sang pilot. Akhirnya, pesawat terbakar oleh serangan ketiga. Tinkelenberg memerintahkan para awak untuk terjun. Dia terakhir terjun. Pesawat yang dipiloti Troost juga tertembak jatuh.
M-588 satu-satunya pesawat yang masih terbang. Pesawat itu terbang dengan satu mesin karena mesin sebelah kiri tertembak dan mengalami kebocoran bahan bakar. Dalam keadaan pincang, M-588 tetap memberi perlawanan. Bahkan, penembak berhasil menembak jatuh satu Zero.
Alih-alih terus memburu M-588, Zero-Zero Jepang balik ke pangkalan. “Karena mengira pesawat buruan mereka sebentar lagi pasti jatuh,” kata Suryadarma.
M-588 berhasil mencapai Bandara Manggar. Sebelum pesawat mengurangi ketinggian, Lukkien mengambilalih kemudi karena kopilot belum pernah mendaratkan pesawat. Dengan kondisi lemah, Lukkien berhasil mendaratkan pesawat yang rusak berat itu dengan mulus. “Semua ground crew lari ke kokpit untuk mengeluarkan Lukkien secepat mungkin dan segera dibawa ke rumahsakit,” kata Suryadarma.
Keberhasilan misi itu tak hanya membuat bangga para pelakunya, tapi juga warga Belanda. Melalui siaran radio, pemerintah menganugerahi Het Bronzen Kruis kepada awak M-588. Medali itu merupakan tanda jasa khusus militer untuk mereka yang menunjukkan keberanian luar biasa.
“Namun, sampai 9 Maret 1942, ketika Belanda menyerah kepada Jepang, Suryadarma masih belum menerima medali tanda jasa tersebut. Baru kelak di kemudian hari pada 1968, setelah Suryadarma pensiun, medali Het Bronzen Kruis diserahkan oleh Kementerian Pertahanan Belanda kepada putra Suryadarma, yaitu Erlangga,” tulis Adityawarman.