SUDAH 77 tahun ia terkubur di dasar Samudera Pasifik tanpa ada yang mengusik. Namun pada 20 Oktober 2019 lalu, posisi bangkainya ditemukan oleh sekelompok arkeolog maritim. Ialah Akagi, kapal induk kebanggaan Angkatan Laut (Jepang) yang jadi kapal komando (flagship) dalam Pertempuran Midway, 4-7 Juni 1942.
Mengutip CBS News, 21 Oktober 2019, bangkai kapal induk berbobot 42 ribu ton itu ditemukan di 2.100 kilometer barat laut Pearl Harbor, Hawaii. Meski bekas gempuran memenuhi segala sisi badannya, Akagi ditemukan terkubur dalam posisi tegak di kedalaman 5.490 meter.
Adalah tim ekspedisi Vulcan Inc. dan Komando Sejarah dan Warisan AL Amerika yang menemukan Akagi menggunakan kapal riset Petrel. Dua hari sebelum Akagi ditemukan, Petrel juga menemukan bangkai Kaga, kapal induk AL Jepang lain yang turut karam di pertempuran yang sama.
Baca juga: Kisah USS Houston yang Tiga Kali Celaka di Indonesia
“Saya yakin dengan apa yang saya lihat di sini. Dimensi yang kami dapatkan dari gambar ini sudah menyimpulkan. Kami juga membaca tentang pertempurannya dan tahu apa yang terjadi. Tapi bisa melihat sendiri di dasar lautan, Anda mendapatkan perasaan tentang semahal apa harga peperangan itu,” tutur Direktur Operasi Bawah Laut Vulcan Inc. Rob Kraft.
“Penemuan ini tentang edukasi dan menghidupkan kembali sejarah bagi generasi penerus,” imbuhnya.
Diangkat ke Layar Lebar
Sebagai satu kisah pertempuran paling menentukan jalannya Perang Dunia II di front Pasifik, Pertempuran Midway pernah difilmkan pada 1976 dengan tajuk Midway. Film yang diproduksi The Mirisch Corporation dengan menggandeng Universal Pictures itu diracik sineas Jack Smight dengan “rombongan” aktor-aktor beken di masanya: Charles Heston, Henry Fonda, James Coburn, Glenn Ford, hingga Toshiro Mifune.
Tahun ini film yang mengangkat pertempuran dahsyat itu kembali dilahirkan dengan tajuk serupa, Midway, besutan Roland Emmerich. Sutradara Jerman ini sudah malang-melintang menelurkan karya-karya box office macam Universal Soldier (1992), Independence Day (1996), The Patriot (2000), dan White House Down (2013).
Baca juga: Menyabung Nyawa di Udara China
Emmerich mengumpulkan sejumlah aktor ternama untuk meramaikan filmnya, mulai dari Ed Skrein, Dennis Quaid, Woody Harrelson, Mandy Moore, Aaron Eckhart, Patrick Wilson, hingga Luke Evans. Rencananya, Midway akan tayang di Amerika mulai 8 November 2019, di pekan yang sama dengan perayaan Hari Veteran (11 November).
Bagi Emmerich, bisa menggarap Midway adalah mimpi terpendam yang akhirnya terwujud. Dalam wawancaranya dengan James Barber yang dimuat military.com, 4 Juni 2019, ia sudah mencetuskan ide ingin menggarap kisah Pertempuran Midway sejak dua dekade lampau.
“Saat itu saya masih terikat kerjasama dengan Sony, tapi karena studionya yang punya orang Jepang, jadi mereka tidak terlalu berminat karena filmnya akan dirasa membuat mereka (orang Jepang) sebagai pecundang. Saya selalu bilang bahwa saya tak ingin menonjolkan Jepang sebagai pecundang. Adalah pembuat kebijakan yang memulai perang. Bukan Angkatan Laut mereka,” tutur Emmerich.
Butuh 20 tahun bagi Emmerich untuk bisa merealisasikannya, setelah bernaung di bawah raksasa film Lionsgate. Menengok trailer-nya yang sudah bertebaran di YouTube sejak 12 September 2019, Midway sudah terasa geregetnya. Emmerich menghadirkan babak demi babak yang menyebabkan Pertempuran Midway terjadi.
Sebagaimana rangkaian kisah aslinya, Emmerich juga menonjolkan kekuatan udara dalam pertempuran di laut. Sebagaimana diketahui, Pertempuran Midway merupakan pertempuran laut pertama di dunia yang seluruhnya mengandalkan kapal induk dengan ratusan pesawat-pesawatnya tanpa diikuti baku gempur klasik antar-kapal tempur dengan meriam-meriamnya.
“Sebelumnya ada Michael Bay dan Jerry Bruckheimer yang membuat Pearl Harbor (2001). Saya selalu ingin memulai film saya dengan (pembokongan) Pearl Harbor karena Anda hanya akan paham tentang Midway ketika Anda memperlihatkan Pearl Harbor,” sambungnya.
Namun, Emmerich tak bisa menggarapnya dengan kelengkapan properti asli. Kapal-kapal perang di era itu yang kini masih bisa beroperasi sudah tak lagi ditemukan. Emmerich terpaksa harus membuat tiruannya dan mengombinasikannya dengan bluescreen. Pun dengan pesawat-pesawatnya.
Baca juga: Kisah Dunkirk yang Dramatis Tanpa Adegan Sadis
Untuk menghindari tersandung soal akurasi sejarah, Emmerich mengajak pakar riset film sejarah Kirk Petruccelli. Sebelumnya, Petruccelli juga diajak Emmerich kerjasama mengerjakan The Patriot.
Meski jadwal resminya belum keluar, Midway patut dinanti lantaran sudah masuk dalam daftar Coming Soon. Semoga tak dikangkangi film-film genre horor hingga drama percintaan yang tengah marak.
Pukulan Telak di Tengah Samudera Pasifik
Bagi yang menantikan filmnya, akan lebih seru jika mengorek informasi tentang apa yang terjadi di tengah Samudera Pasifik 77 tahun lewat itu. Bagaimana sebuah atol bisa begitu penting arti strategisnya buat armada AL Jepang maupun Amerika?
Mendiang jurnalis senior P.K. Ojong dalam Perang Pasifik menggambarkan atol Midway yang diameternya hanya enam mil dan kadang tergenang air laut, letaknya di antara Tokyo dan San Francisco. Oleh karenanya, Amerika menamainya Midway alias setengah jalan. Pasca-Pearl Harbor dibombardir Jepang pada 7 Desember 1941, Amerika melengkapi atol itu dengan landasan-landasan pesawat.
“Kekuatan Jepang berada di puncaknya Maret 1942 ketika tujuan utama penguasaan sumber-sumber minyak di Indonesia tercapai. Tapi setelah kemenangan gilang-gemilang ini menjadi kenyataan, Tokyo tidak punya program konkret selanjutnya,” ungkap Ojong.
Jepang sempat bingung apakah akan mengalihkan perhatian ke Burma dan India menghadapi Inggris atau Australia. Jepang merasa Amerika belum bakal bangkit setelah terpuruk di Pearl Harbor. Jepang yang terlena baru insyaf kala Tokyo dibombardir pesawat-pesawat Amerika lewat Serangan Doolitle, 18 April 1942. Ternyata Amerika masih mampu memberi perlawanan.
Serangan perhitungan Amerika atas pembokongan Pearl Harbor itu dicanangkan Letkol James Harold Doolittle, perwira cadangan dalam Korps Udara Angkatan Darat Amerika. Tidak hanya mengarsiteki serangan dari Kapal Induk USS Hornet, Doolitle memimpin langsung penyerangan itu hingga serangan itu diabadikan dengan namanya, Doolittle Raid.
Meski militer Jepang syok ibukotanya bisa diserang, hikmahnya mereka punya fokus baru: menghancurkan armada Amerika di Pasifik tanpa niat maju terus sampai pantai barat Amerika. Namun, Amerika menyangka Jepang bakal melaju sampai daratannya.
Laksamana Isoroku Yamamoto, panglima kaigun (angkatan laut Jepang), lantas merujuk target berikutnya, yakni Midway, untuk merebut Pearl Harbor, pusat AL Amerika di Pasifik. Yamamoto ingin armada Amerika, utamanya kapal-kapal induknya, segera dihancurkan sebelum industri AL Amerika bangkit lagi.
Namun Yamamoto dan para petinggi kaigun tak mengetahui bahwa Amerika sudah tahu “isi perut” Jepang. Kendati jumlah kekuatan armada Jepang jauh lebih unggul, Amerika punya keuntungan berupa keberhasilan tim intelijen AL Amerika memecahkan kode AL Jepang tanpa disadari Jepang. Amerika pun sudah belajar dari kegagalan intelijennya di Pearl Harbor.
“Sejak 1942 Amerika punya unit khusus memecahkan kode militer Jepang yang berbasis di Stasiun Radio HYPO di Hawaii. Kode yang dipecahkan HYPO mampu menentukan tanggal serangan, bahkan memberi informasi perintah pertempuran AL Jepang lengkap kepada (Panglima Armada Amerika di Pasifik, Laksamana Chester) Nimitz,” sebut sejarawan Michael Smith dalam The Emperor’s Codes: Bletchley Park and the Breaking of Japan’s Secret Ciphers.
Baca juga: Melindungi Kenangan Kapal Perang
Dengan bekal kode itu, Nimitz tinggal menyesuaikan strategi meski armadanya kalah jumlah. Ia pun jadi tahu rencana Yamamoto yang mengirim manuver “pancingan” ke Kepulauan Aleut. Yamamoto pun tak insyaf Nimitz tidak termakan manuver pengalihan perhatian itu.
Nimitz memusatkan kekuatan Armada Pasifiknya tetap di Midway. “Sementara Yamamoto memecah kekuatannya dengan berharap Nimitz terpancing dan mengirim armadanya ke sana,” imbuh Ojong.
Dalam memancing Nimitz ke jurusan Aleut, Yamamoto mengerahkan 10 kapal perangnya, termasuk dua kapal induk. Jika Yamamoto tak memecah kekuatannya untuk memancing Nimitz dan memusatkannya di Midway, mungkin cerita Pertempuran Midway bakal beda.
Jepang bisa mengerahkan enam kapal induk, bukan empat. Sedangkan Amerika hanya punya tiga di Midway. Aleut memang kemudian sukses direbut Jepang pada 3-4 Juni, namun Aleut tak punya arti strategis.
Sejarawan militer Inggris Mayjen J.F.C. Fuller dalam The Decisive Battles of Western World jilid III menyingkap, armada gabungan Jepang totalnya 131 kapal, belum termasuk ratusan pesawat. AL Jepang membawa serta empat dari enam kapal induk “veteran” Pearl Harbor: Hiryu, Soryu, Kaga dan Akagi yang menjadi flagship alias kapal komando di bawah pimpinan Laksamana Madya Chuichi Nagumo.
Sementara, dari 50 kapal perangnya, Amerika hanya diperkuat tiga kapal induk: USS Yorktown, USS Enterprise dan USS Hornet. Namun, jumlah pesawat Amerika lebih banyak lantaran tidak hanya yang berdiam di “perut” ketiga kapal induknya, namun juga ada ratusan lain yang berbasis di Atol Midway.
Adu kuat dua armada pun terjadi mulai 4 Juni 1942 di perairan Midway. Gegara blunder strategi oleh Nagumo, Jepang kehilangan keempat kapal induknya, termasuk Akagi, yang memaksa Nagumo diungsikan ke salah satu kapal penjelahnya.
Yang fatal, Nagumo salah taktik. Dia mempersenjatai ratusan pesawatnya dengan bom untuk membombardir atol. Padahal, dalam pertempuran laut modern menggunakan pesawat, lebih efektif menyerang kapal musuh dengan torpedo ketimbang bom biasa. Maka begitu pesawat-pesawat Amerika dari tiga kapal induk dan atol lebih dulu mendatangi mereka, Jepang ketinggalan start. Butuh satu jam untuk mengganti persenjataan ratusan pesawat dan itu memainkan peran vital.
“Mulanya muatannya torpedo (karena Nagumo tak melihat kedatangan armada Amerika), kemudian ditukar dengan bom, kini diganti lagi dengan torpedo. Nah lalu ini seperti pertandingan cepat tukar baju saja,” sebut Ojong lagi.
Baca juga: Bencana di Danau Ladoga
Pertempuran yang bergulir hingga 7 Juni itu menendatangkan malapetaka besar AL Jepang yang pertama sejak 350 tahun, yakni ketika armada Jepang dipukul telak pada 14-15 Agustus 1592 oleh armada Korea yang dipimpin Laksamana Yi Sun Shing di Pertempuran Kepulauan Hansan.
Kabar kekalahan ini ditutup-tutupi petinggi militer Jepang agar tak kehilangan muka di hadapan Jepang publik Jepang maupun negeri-negeri jajahannya. Sejak itu, armada Jepang selalu dalam posisi defensif. “Kalau ini diketahui kita yang berada di Indonesia, alangkah berbedanya pandangan kita terhadap kekuatan Jepang,” tandas Ojong.