SIRINE meraung-raung disusul beberapa kali suara dentuman terdengar di beberapa kota di Ukraina sejak Kamis (24/2/2022). Militer Rusia melancarkan operasi militer khusus mulai dari wilayah Donbas hingga Chernobyl setelah Presiden Vladimir Putin memilih opsi militer.
Putin beralasan bahwa ia memberi lampu hijau pada penggunaan militer untuk dua alasan. Pertama, melindungi jutaan orang Rusia yang tinggal di Donetsk dan Lugansk di wilayah Donbas, Ukraina Timur. Dua areal itu sejak 21 Februari 2022 diakui Rusia sebagai negara berdaulat: Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk.
“Untuk mengakhiri (genosida) ini, kami akan melakukan demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina, sekaligus mengadili mereka yang terlibat atas kejahatan terhadap sipil, termasuk terhadap warga Rusia,” tutur Putin, dikutip Sputniknews, Kamis (24/2/2022).
Baca juga: Upaya Perdamaian Amerika-Rusia di Helsinki
Kedua, untuk memperingatkan Pakta Pertahanan Atlantik Utara NATO agar tidak mengancam keamanan perbatasan Rusia. Putin mengingatkan bahwa sudah tiga dekade Rusia ingin mencapai kata sepakat soal keamanan bersama di Eropa namun tak kunjung terwujud. Situasinya justru makin runyam sejak 1992 lantaran Ukraina merapat ke NATO. Hal itu mengakibatkan ekspansi geostrategis NATO makin dekat 100 mil dari Kremlin. Rusia jelas makin terancam lantaran sangat memungkinkan NATO mendirikan sistem-sistem misil dan basis-basis militer di Ukraina.
“Saya merujuk pada ekspansi NATO ke timur yang lebih dekat ke perbatasan Rusia. Faktanya selama 30 tahun kami menanti dengan sabar dan mencoba mencapai kesepakatan dengan negara-negara NATO terkait prinsip-prinsip keamanan di Eropa,” imbuhnya.
Berbeda dari Kremlin yang mengklaim serangannya ke Ukraina sebagai operasi militer khusus, Gedung Putih menyebutnya sebagai invasi terhadap negara berdaulat. Apalagi militer Rusia tak hanya masuk ke wilayah Donbas tapi juga Chernobyl, reaktor nuklir yang namanya mendunia akibat kecelakaan pada 1986.
Sejak insiden pada 1986 itu, Chernobyl jadi kota mati dan dan dinyatakan sebagai zona eksklusi oleh pemerintah Ukraina. Tentu sudah tidak ada lagi reaktor dan pembangkit tenaga nuklirnya yang masih berfungsi.
Kendati begitu, militer Rusia tetap merebut Chernobyl dan menyandera sejumlah staf zona eksklusi Ukraina. Menurut pengamat yang juga mantan asisten menteri keamanan dalam negeri Amerika Juliette Kayyem, Rusia bukan memprioritaskan fasilitas reaktor nuklirnya lagi melainkan ingin menguasai kota dan rute terdekat menuju ibukota Kyiv.
“Chernobyl adalah rute terpendek dari Rusia menuju Kyiv. Fasilitas (nuklir) bukanlah tujuan utamanya,” ujar Kayyem di akun Twitter-nya, @juliettekayyem.
Baca juga: Alarm Perang Dunia Ketiga
Pendapat itu diamini Letjen (Purn) Ben Hodges. Eks-Panglima Angkatan Darat Amerika untuk wilayah Eropa itu juga meyakini Chernobyl direbut sebagai jalan pintas bagi Rusia yang hanya berjarak 80 mil dari perbatasan mereka dan 10 mil dari perbatasan negara sekutunya, Belarusia.
“Lokasinya sangat penting mengingat di mana tempatnya berada. Jika pasukan Rusia menyerang dari utara, Chernobyl adalah jalurnya,” timpal Hodges, disitat NBC News, Jumat (25/2/2022).
Banyak pihak mengkhawatirkan langkah militer Rusia itu. Aktivitas militer apapun di Chernobyl dikhawatirkan akan memicu material-material radioaktif nuklirnya tersebar luas. Ancamannya tidak hanya bagi Ukraina tapi juga Eropa.
“Para pejuang kami mempertaruhkan nyawanya agar tragedi 1986 tak terulang lagi. (Serangan Rusia) Ini adalah deklarasi perang terhadap segenap Eropa,” kata Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy.
Baca juga: Perang dan Pandemi
Warisan Brezhnev
Sejak booming pasca-Perang Dunia II, nuklir jadi prioritas negara-negara adidaya untuk dieksplorasi sebagai sumber energi yang dapat diperbarui. Uni Soviet tak ingin ketinggalan dari Amerika yang sudah memulai lebih dulu pembangunan reaktor untuk pembangkit listrik alternatif dari bahan bakar fosil.
“Energi nuklir pertamakali digunakan untuk kelistrikan pada Desember 1961 di situs eksperimen Idaho. Lalu pada 1970-an krisis minyak menghantam perindustrian dan harga bahan bakar fosil mulai melonjak,” tulis Wil Mara dalam The Chernobyl Disaster: Legacy and Impact on the Future of Nuclear Energy.
Realita itu mendorong pemimpin Uni Soviet Leonid Brezhnev menyetujui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Chernobyl di raion (distrik) Chernobyl, dekat kota Pripyat yang baru aktif pada 1977. Chernobyl jadi PLTN ketiga Uni Soviet setelah PLTN Leningrad dan PLTN Kursk, dan Chernobyl jadi PLTN pertama yang dibangun di Ukraina.
Baca juga: Persaingan Penjelajahan Antariksa dari JFK hingga Trump
Mengutip Thomas Crump dalam Brezhnev and the Decline of the Soviet Union, inisiatif Chernobyl sejatinya sudah diajukan Dewan Menteri Ukraina melalui sekretaris partai di Kyiv sejak Januari 1965. Pengajuan itu lantas disetujui Moskow pada September 1966. Dua bulan berselang, komisi untuk menentukan situs pertama reaktornya dibentuk.
“Pada Februari 1967 keputusan (komisi) adalah membangun dua bangunan di sebuah lokasi di tepi Sungai Pripyat, sekitar 80 kilometer sebelah utara Kyiv. Rekomendasi resmi, tertanggal 2 Februari, menentukan ‘Chernobyl Atomic Regional Electrical Power Station’ dengan mengadopsi reaktor model RBMK yang lebih murah dari model VVER,” singkap Crump.
Peletakan batu pertamanya dilakoni pada Januari 1970. Bersamaan dengan itu juga kota Pripyat, 16,5 kilometer sebelah barat daya Chernobyl, dibangun sebagai penopang kehidupan para pekerjanya.
“Chernobyl didukung sebuah kota baru yang bisa menampung 50 ribu jiwa, di mana pembangunannya tak lepas dari pengawasan Brezhnev. Tak heran baik beberapa proyek bangunan kota dan bangunan reaktornya tertera kata-kata yang berawalan: ‘imeni Brezhneva’ (atas nama Brezhnev),” sambungnya.
Baca juga: Sikut-sikutan Perlombaan Bom Atom Amerika-Jerman
Setelah rampungnya unit reaktor pertama, PLTN Chernobyl pun mulai beroperasi pada September 1977. Dua tahun kemudian, Sekretaris Partai Kyiv Vlad Tsybalko mengubah namanya jadi Stasiun Energi Atom Lenin untuk memperingati hari ulangtahun pendiri Soviet, Vladimir Lenin.
Dalam kurun 1979-1983, unit kedua, ketiga, dan keempat reaktor PLTN Chernobyl juga mulai beroperasi. Empat reaktor nuklir itu bisa memasok 10 persen kebutuhan listrik segenap wilayah Ukraina. Namun, hasil manis itu hanya bertahan hingga 26 April 1986 karena terjadi bencana nuklir terdahsyat yang pernah tercatat.
Bencana Nuklir Terburuk
Energi nuklir yang basisnya berasal dari partikel atom setali tiga uang dengan energi-energi lain yang sukar dikontrol jika dikonsentrasikan dalam jumlah besar. Energi nuklir bisa dihasilkan dari partikel atom lewat dua cara: fusi atau peleburan dan pembelahan. Reaktor-reaktor RBMK-1000 PLTN Chernobyl memakai metode kedua.
Reaktor RBMK-1000 dipilih lantaran lebih murah ketimbang model VVER. Reaktor ringan water-cooled yang ditopang material grafit sebagai moderatornya itu masih sering mengalami overheat yang menghasilkan reaksi berantai. Akibatnya, beberapa kendala teknis pernah dialami empat reaktor Chernobyl sejak 1982. Lazimnya, kendala teknis itu terjadi akibat overheating yang berbuntut pada core meltdown reaktornya. Oleh karenanya, Direktur Chernobyl Viktor Bryukhanov menginisiasi safety test pada 25 April 1986.
“Tesnya dikhususnya untuk reaktor nomor 4, dijalankan oleh kepala insinyur Nikolai Fomin. Sayangnya ia belum punya banyak pengalaman di industri nuklir. Tak ayal beberapa fase tesnya justru berisiko dan melanggar hukum keamanan internasional, seperti memutus sistem dua turbo generatornya. Eks-insiyur Grigori Medvedev mengatakan: ‘Dia (Fomin) ingin membuktikan dirinya bahwa reaktor nuklir…bisa berfungsi tanpa pendingin,’” sambung Mara.
Baca juga: Patriot Norwegia Gagalkan Bom Atom Jerman
Pada sekira pukul 1.23 dini hari tanggal 26 April, reaktornya mulai bermasalah. Aliran air pendingin untuk meredakan panas malah mandek. Emergency Power Reduction System (EPRS) untuk menghentikan proses pembelahan pada reaktor juga bermasalah. Eksperimen tes keamanan itu justru berujung petaka.
“Reaktor nomor empat mengalami kebocoran uap. Disusul ledakan yang menghancurkan reaktor yang berisi berton-ton material radioaktif ke udara dan memulai perjalanan kehancurannya ke muka dunia,” lanjutnya lagi.
Dua pekerja Chernobyl yang tewas di tempat saat terjadi ledakan dahsyat jadi dua korban pertamanya. Sementara satu pekerja lain yang sempat selamat kemudian meninggal tak lama setelahnya karena serangan jantung. Total korban tewas ketika kejadian sekira 100 orang, meliputi pekerja maupun pemadam kebakaran.
“Asap dan apinya menerbangkan radiasi ke udara, di mana bahkan radiasinya terdeteksi sampai ke Jepang. Para pemadam kebakaran Pripyat bergegas memadamkan api. Banyak dari mereka tak sempat mengenakan pakaian pelindung. Beberapa dari mereka jadi korban meninggal pertama akibat radiasi,” tulis Rebecca Rissman dalam The Chernobyl Disaster.
Di kota Pripyat saat itu tinggal sekira 30 ribu jiwa dan mayoritas masih lelap dalam tidur saat kejadian. Tak ayal kebanyakan dari mereka sudah terpapar radiasi nuklir sebelum perintah evakuasi turun pada 27 April. Warga kota Pripyat yang terdampak radiasi mengalami banyak gejala, di antaranya sakit kepala, batuk-batuk, dan muntah yang tak bisa dikendalikan.
Baca juga: Enam Tragedi Kapal Selam Nuklir Rusia
Jika gejala di atas merupakan efek jangka pendek, penyakit kanker lazim jadi dampak jangka panjang para eks-pengungsi Chernobyl dan Pripyat. Seperti yang kemudian dialami Yuryi Litvinov. Saat terjadi bencana itu, ia baru berusia empat tahun. Lima belas tahun kemudian, ia didiagnosa mengalami kanker ginjal.
“Banyak teman saya yang lebih tua, mungkin sekira usia 40-an dan 50-an meninggal karena kanker. Saya sendiri mengidap kanker ginjal sampai satu ginjal saya harus diangkat dan saya yakin itu karena radiasi. Anak-anak lain ada yang mengalami kanker tiroid karena minum susu dari sapi yang diberi makan dari rumput-rumput yang telah terekspos,” kenang Litvinov kepada National Public Radio, 26 April 2011.
Dewan kota baru melakukan evakuasi secara berangsur pada pukul 11 pagi 27 April menggunakan bus-bus menuju kota-kota lain di sekitar ibukota Kyiv. Meski begitu, pemerintah tetap mengoperasikan tiga reaktor lainnya hingga milenium baru. Namun pada Desember 2000, Chernobyl terpaksa ditutup karena tekanan asing dan kerusakan reaktor terakhirnya, reaktor nomor 3, yang tak bisa diperbaiki lagi.