LEIF Tronstad tak punya pilihan lain. Ketimbang dipaksa Jerman terlibat dalam proyek bom atom di pabrik Norsk Hydro Rjukan di Vemork dan membuatnya jadi pengkhianat pada negerinya, ilmuwan-perwira militer Norwegia itu memilih kabur dari negerinya meninggalkan anak dan istri.
Sebelumnya, Tronstad jadi salah satu konsultan militer di pabrik produksi air berat itu. Di akhir 1930-an, ia belum insyaf bahwa air berat bakal dijadikan salah satu bahan terpenting untuk percobaan atom uranium guna produksi bom atom. Faktor ini yang membuat Jerman menargetkan instalasi tersebut untuk diambilalih ketika menginvasi Norwegia 8 April-10 Juni 1940.
Saat Norwegia diduduki, Tronstad masih bertahan bersama para anggota perlawanan bawah tanah Skylark B. Kelompok partisan itu rutin melakukan kontak dengan Inggris sejak Januari 1941.
Baca juga: Empat Senjata Jerman yang Mengubah Dunia
Mengutip Neal Bascomb dalam The Winter Fortress: The Epic Mission to Sabotage Hitler’s Atomic Bomb, Tronstad mengetahui bahwa Jerman sudah mengambil alih pabrik itu dari Jomar Brun, teman lamanya yang masih bekerja di pabrik. Pada Maret 1941, Brun melaporkan bahwa para ilmuwan Jerman mulai berdatangan ke Vemork.
“Mereka menginginkan dipasangnya instalasi air terjun buatan setinggi sembilan lantai di depan penampungan ribuan sel elektroliser berkonsentrat tinggi. Mereka dituntut menghasilkan lima belas ribu kilogram air berat dalam setahun dan mereka memaksa Brun jadi penanggungjawabnya,” tulis Bascomb.
Pada September 1941, Tronstad mencoba keluar dari negerinya dan lolos secara dramatis dari sergapan Gestapo (Polisi Rahasia Jerman Nazi) yang menggerebek rumahnya. Tronstad kabur dengan mobil menuju Østfold, lalu meniti jalan-jalan setapak untuk menghindari jalan utama yang jamak terdapat tentara Jerman. Dia berhasil mencapai Ørje di perbatasan Norwegia-Swedia dan akhirnya tiba di Töcksfors yang sudah berada di wilayah Swedia yang netral.
Dari Töcksfors, Tronstad terbang ke London, Inggris. Ia kemudian memberi laporan langsung kepada Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, bahwa Jerman menggunakan pabrik Norsk Hydro Rjukan sebagai instalasi produksi air berat terbesar untuk percobaan senjata bom atom.
“Dengan menguasai pabrik Norsk Hydro, Jerman bisa mencapai kemajuan lebih pesat dan Sekutu terancam ketinggalan dalam perlombaan senjata bom atom. Para ilmuwan Jerman hanya perlu menanti sampai mempunyai persediaan air berat cukup banyak, sesudah itu mereka siap untuk percobaan membelah atom uranium,” tulis P.K. Ojong dalam Perang Eropa: Jilid II.
Baca juga: Sikut-sikutan Perlombaan Bom Atom Amerika-Jerman
Sekutu tak ingin tertinggal. Sementara Proyek Manhattan –dipimpin Kolonel James C. Marschall; melibatkan sejumlah ilmuwan pelarian dari Jerman– baru bisa berjalan pada Agustus 1942, Sekutu tak punya cara lain untuk mengejar ketertinggalan selain menyabotase proyek Jerman itu. Namun karena medan Norsk Hydro sulit dan penjagaannya ketat, sabotase hanya bisa dilancarkan lewat darat. Sabotase dengan pemboman udara bisa menimbulkan korban sipil.
Maka, dipilihlah sabotase berupa penyusupan para sabotir. Untuk itu sejumlah anggota Milorg, partisan Norwegia, pun dilatih di Inggris untuk melancarkan Operasi Gunnerside yang bakal dipimpin Tronstad dan Einnar Skinnarland.
Walau sekitar pabrik dijaga ketat sejumlah meriam anti-udara dan ranjau yang ditebar di sekelilingnya, ternyata tak lebih dari 50 serdadu Jerman yang menjaga pabrik itu. Skema sabotase lalu digodok Tronstad-Skinnarland yang kemudian membagi dua kelompok sabotir. Kelompok pertama akan menanam bom di dalam pabrik, sementara kelompok kedua berjaga-jaga untuk melindungi proses sabotase. “Direncanakan serangannya pada malam antara 27-28 Februari 1943,” tulis Thomas Gallagher dalam Assault in Norway: Sabotaging the Nazi Nuclear Program.
Usai dilatih, 30 patriot Milorg disusupkan pada Oktober-November 1942. “Mereka menyusup dengan menuruni ngarai, melewati sungai es, hingga mendaki punggung bukit terjal untuk menghindari area-area terbuka penuh ranjau. Setelah itu hanya tinggal menyusuri rel yang mengarah ke pabrik dan beruntungnya tanpa bertemu penjagan tentara Jerman,” sambung Thomas.
Satu-satunya penjaga yang mereka temui di perjalanan menuju pabrik hanya seorang penjaga berkebangsaan Norwegia bernama Johansen. Tetapi secara persuasif, ia bersedia bekerjasama. Maka kelompok pertama beserta Johansen mulai merangsek ke dalam pabrik membawa sejumlah peledak. Sementara beberapa serdadu Jerman yang berjaga dan tak sadar, berhasil dilumpuhkan.
“Bahan-bahan peledak kemudian diletakkan pada tempat-tempat terpenting. Prosesnya mulus karena berdasarkan keterangan (info denah pabrik) dari Tronstad, para sabotir sudah hafal seluk-beluk instalasi pabrik. Dinamit juga dipasang di gudang penyimpanan air berat dan kemudian mengatur waktu peledakan. Saat sudah disulut dengan langkah seribu, para sabotir meninggalkan lokasi,” sambung Ojong.
Baca juga: Paul Tibbets, Pilot Pembawa Bom Atom
Tak berapa lama kemudian para sabotir itu mendengar ledakan dahsyat dari pabrik. Misi sabotase sukses. Hampir seluruh dari tiga ribu pon persediaan air berat Jerman di pabrik itu binasa bersama sejumlah alat dan mesin penting lainnya.
“Mungkin sekali orang Jerman dapat menghasilkan bom atomnya yang pertama dalam beberapa bulan kalau tak dihalang-halangi oleh beberapa gelintir patriot Norwegia yang gagah berani. Orang-orang tak terkenal ini memegang peranan tak kecil dalam menentukan kemenangan terakhir Sekutu pada tahun 1945, ketika bom atom pertama Amerika dijatuhkan di Hiroshima (6 Agustus) dan Nagasaki (9 Agustus),” tandas Ojong.