Video mesum diduga Ketua DPRD Penajam Paser Utara Syahruddin M. Noor dan perempuan open bo (open booking out) berinisial FA di dalam kamar hotel di Jakarta beredar pada Juni 2022. Syahruddin kemudian dipanggil DPP Partai Demokrat untuk menjelaskan video mesum tersebut.
Syahruddin menceritakan kronologi kejadiannya. Pengurus DPP Partai Demokrat menerima penjelasannya dan menyimpulkan bahwa video mesum tersebut merupakan jebakan untuk menjatuhkan karier politik Syahruddin.
“DPP Partai Demokrat menyarankan untuk melaporkan hal itu kepada Badan Reserse Kriminal Polri sebagai langkah hukum mencari keadilan dan kebenaran dari peristiwa itu,” demikian diberitakan detik.com.
Syahruddin kemudian melaporkan FA ke Bareskrim Polri. FA dan dua orang yang diduga terlibat telah diamankan.
Baca juga: Kupu-Kupu Malam dalam Revolusi
Kasus politisi dan perempuan pekerja seks komersial (PSK) atau wanita tunasusila (WTS) pernah terjadi dalam sejarah. Pada 1970-an, Jusuf Wibisono (1909–1982), mantan politisi Masyumi yang kemudian menjadi tokoh Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), menerima laporan dari beberapa anggota pengurus cabang PSII Solo mengenai kejadian yang menghebohkan. Mereka meminta pendapat Jusuf Wibisono akan masalah tersebut.
Duduk perkaranya, pada suatu malam skuter anggota PSII Solo berinisial S. dilihat oleh anggota partai lain tengah diparkir di depan rumah seorang WTS. Anggota partai itu segera melaporkan S. kepada pengurus PSII Solo.
Baca juga: Prostitusi Masa Jawa Kuno
Pengurus cabang PSII Solo kemudian memanggil S. Ia menjelaskan bahwa skuter itu memang miliknya, tetapi yang memakai malam itu bukan dirinya melainkan kawannya. Ditanya nama kawannya itu untuk dikonfrontasikan dengannya, S. tidak mau menyebutkannya.
“Sehingga tim pemeriksa berkesimpulan bahwa S. sendirilah yang mengunjungi rumah WTS itu,” tulis Soebagijo I.N. dalam biografi Jusuf Wibisono, Karang di Tengah Gelombang.
Perbuatan S. dianggap melanggar hukum agama sehingga ia diskors yang mungkin berujung pemecatan. Jusuf Wibisono berpendapat hukuman itu terlalu berat. Menurut mantan menteri keuangan Kabinet Ali Sastroamidjojo itu, seandainya pun betul S. mengunjungi rumah WTS, maka harus diselidiki dulu apa yang mendorongnya pergi ke sana.
Jusuf Wibisono menduga S. melakukan perbuatan itu karena darurat. Sangat mungkin S. pada saat itu mengalami desakan nafsu seksual yang kuat sekali, sedangkan istrinya dalam keadaan berhalangan untuk melayaninya.
“Jusuf Wibisono mengatakan kepada kawan-kawan separtai di Solo itu, bahwa haruslah diingat bahwa S. adalah seorang berdarah panas dari Timur Tengah. Umumnya nafsu seksualnya lebih kuat ketimbang orang-orang Indonesia,” tulis Soebagijo.
Oleh karena itu, Jusuf Wibisono cenderung untuk memaafkan daripada menghukum berat S. Setelah kembali ke Jakarta, ia mendengar kabar bahwa S. tetap dikeluarkan dari partai. Rupanya pengurus cabang PSII Solo tidak dapat menerima penjelasan S. yang dianggap tidak sesuai dengan hukum agama, apalagi ia anggota partai Islam.
Baca juga: Prostitusi di Perkebunan Deli
PSII didirikan oleh H.O.S. Tjokroaminoto pada 1923 di Solo, setelah terjadi perpecahan dalam tubuh Sarekat Islam karena menguatnya kelompok kiri, yang kemudian mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI). PSII mengalami penurunan setelah pemerintah kolonial Belanda menekan gerakan nasionalis dan Tjokroaminoto meninggal dunia. Islam politik terpecah menjadi faksi-faksi hingga akhirnya PSII dilarang pada masa pendudukan Jepang. PSII didirikan kembali pada 1947.
Pada Pemilu pertama tahun 1955, PSII menempati posisi kelima dengan meraih delapan kursi DPR RI. Perolehan kursi PSII naik menjadi sepuluh pada pemilu pertama masa Orde Baru tahun 1971. Untuk menyederhanakan sistem kepartaian, pada 1973 penguasa Orde Baru memaksa partai-partai Islam termasuk PSII untuk berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Setelah rezim Soeharto jatuh oleh gerakan reformasi, Indonesia kembali demokrasi dengan ditandai munculnya partai-partai politik baik baru maupun lama, bahkan PSII tak hanya hidup lagi tetapi ada dua. PSII yang dipimpin oleh Taufiq R. Tjokroaminoto, keturunan H.O.S. Tjokroaminoto, dan PSII 1905 di bawah pimpinan Ohan Sudjana. Namun, pada pemilu pertama di era reformasi tahun 1999, PSII hanya meraih satu kursi, sementara PSII 1905 tidak mendapat kursi sama sekali.*