Masuk Daftar
My Getplus

Kupu-Kupu Malam dalam Revolusi

Pekerja seks komersial (PSK) bukannya tanpa peran di dalam sejarah. Di negeri ini, mereka pernah jadi anggota partai, laskar, bahkan kata-katanya jadi alat propaganda.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 28 Jan 2014
Poster propaganda "Boeng, Ajo Boeng" karya Affandi tahun 1947.

Bupati Kendal, Widya Kandi Susanti, membuat pernyataan kontroversial. Dia menganggap "Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah pahlawan keluarga, karena mereka umumnya bekerja untuk menghidupi keluarga. Dalam kondisi itu, tidak manusiawi kalau tempat pelacuran ditutup," demikian dikutip tribunnews.com.

Seberapa besar dan penting peran PSK –yang dulu kerap disebut wanita tuna susila atau "Kupu-Kupu Malam" kata penyanyi Titiek Puspa– dalam sejarah Indonesia?

Dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, Sukarno membuktikan pentingnya peran wanita tuna susila. "Pelacur adalah mata-mata yang paling baik di dunia. Dalam keanggotaan PNI (Partai Nasional Indonesia) di Bandung terdapat 670 orang perempuan yang berprofesi demikian dan mereka adalah anggota yang paling setia dan patuh," kata Sukarno.

Advertising
Advertising

Wanita tuna susila anggota PNI itu memberi Sukarno informasi berharga dari polisi-polisi kolonial yang memakai jasa mereka. "Tak satupun laki-laki anggota partai yang terhormat dan sopan itu dapat mengerjakan tugas ini untukku," ujar Sukarno.

Bahkan, selain memberikan informasi, wanita tuna susila itu menyumbang uang untuk kegiatan partai. "Dan mereka bukan saja penyumbang yang menyenangkan," ucap Sukarno, "tapi juga penyumbang yang besar."

Ali Sastroamidjojo, tokoh PNI, menentang tindakan Sukarno melibatkan wanita tuna susila dalam partai. "Sangat memalukan," tegas Ali. "Ini sangat tidak bermoral."

Gatot Mangunpraja, sekretaris PNI, membantah keterangan Sukarno bahwa PNI menggunakan wanita tuna susila sebagai daya tarik bagi anggota untuk menghadiri kursus politik, dan tidak benar 670 anggota PNI Bandung adalah wanita tuna susila. Faktanya adalah bahwa ada satu atau dua wanita tuna susila yang telah memperbaiki diri dari prostitusi dan menikah, menjadi anggota PNI bersama suami mereka.

"Kami sangat berhati-hati memasukkan para wanita tuna susila dan penjudi, yang mungkin membahayakan dengan memberi nama buruk bagi organisasi," kata Gatot, "The Peta and My Relations with the Japanese: A Correction of Sukarno’s Autobiography," dimuat jurnal Indonesia, Vol. 5 tahun 1968.

Sukarno mungkin berlebihan dalam hal anggota PNI, namun kemudian dia pernah menggunakan 120 wanita tuna susila di Minangkabau untuk melayani tentara Jepang. Tujuannya, "semata-mata sebagai tindakan darurat dan demi menjaga para gadis kita," kata Sukarno.

Seperti halnya para wanita tuna susila yang mendapatkan informasi dari polisi kolonial untuk Sukarno, pada masa revolusi (1945-1949), mereka juga mendapatkan senjata dari tentara Hindia. Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta, menyebutkan para wanita tuna susila Senen menyelundupkan senjata kepada Laskar Rakyat Jakarta Raya (LRJR) terdiri dari tujuh pasukan inti dengan tingkat kekuatan beragam dan tersebar di Kota Karawang. Tujuan jangka pendek LRJR adalah menyerang Jakarta dan mengirim Inggris dan Belanda ke laut.

Senjata dan amunisi merupakan elemen penting dalam perdagangan antara Jakarta dan Karawang. Walaupun tidak bisa ditembus secara militer, garis demarkasi sangat mudah ditembus bagi perdagangan gelap. "Di sinilah koneksi LRJR dengan dunia bawah tanah sebelum perang menjadi sangat penting, karena senjata-senjata tersebut merupakan hasil pencurian yang diselundupkan lewat Singapura dan dengan bantuan pelacur-pelacur Senen yang mendapatkannya dari tentara Hindia," catat Cribb.

Masih pada masa revolusi, Moestopo, seorang dokter gigi dan perwira eksentrik. Ketika ditunjuk sebagai perwira pendidikan politik di Subang pada 1946, dia tiba di sana dengan unit bersenjata yang tidak biasa, disebut Pasukan Terate. Selain merujuk bunga teratai, nama itu juga akronim dari Tentara Rahasia Tertinggi (Baca: Moestopo Senjata Makan Tuan).

"Unit ini sebagian terdiri dari mahasiswa Akademi Militer Yogyakarta yang telah menerima pelatihan lapangan," tulis Cribb, "selain juga pelacur dan pencopet dari Surabaya dan Yogyakarta yang dikirim ke sejumlah garis pertempuran Belanda di wilayah Bandung untuk mencuri senjata, pakaian, dan barang-barang lain."

Jejak wanita susila juga terdapat pada poster propaganda karya pelukis Affandi. Idenya berasal dari Sukarno yang menginginkan sebuah poster sederhana namun kuat sebagai alat propaganda untuk membangkitkan semangat pemuda. Peluksi Dullah sebagai modelnya sedang memegang bendera merah putih dan memutuskan rantai yang mengikat kedua tangannya. Pada poster itu, penyair Chairil Anwar memberinya kata-kata: "Boeng, Ajo Boeng!"

Poster propaganda itu tersebar kemana-mana. Siapa nyana, Chairil memperoleh kata-kata itu dari para wanita tuna susila di Senen ketika mereka menawarkan jasa: "Boeng, ajo boeng…"

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Tertipu Paranormal Palsu Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik Perlawanan Perempuan Nigeria Terhadap Kebijakan Pajak Duka Atim dan Piati Picu Kemarahan PKI Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik Jenderal Nasution Mengucapkan Selamat Hari Natal Waktu The Tielman Brothers Masih di Indonesia