Masuk Daftar
My Getplus

Perdebatan Alot Parlemen Belanda Mengupas Penelitian Dekolonisasi

Polemik hasil penelitian dekoloniasi dibawa ke parlemen dan hasilkan debat alot. Minta pemerintah bertanggungjawab dan meminta maaf.

Oleh: Randy Wirayudha | 14 Jun 2023
Debat tentang penelitian dekolonisasi di Tweede Kamer yang hanya dihadiri para perwakilan 15 partai (tweedekamer.nl)

TWEEDE Kamer atau Parlemen Belanda hari ini, Rabu (14/6/2023) pagi waktu setempat, menggelar debat terkait penelitian dekolonisasi yang dilakoni tiga lembaga riset Belanda yang diongkosi 4,1 juta euro oleh pemerintah. Tiga lembaga itu adalah Koninklijke Instituut vor Taal, Land, en Volkunde (KITLV); Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie (NIOD); dan Nederlands Instituut voor Militaire Historie (NIMH). Mereka kemudian dibantu 17 akademisi Indonesia asal UGM (Universitas Gadjah Mada).

Penelitian bertajuk “Onafhankelijkheid, Dekolonisatie, Geweld en Oorlog in Indonesië, 1945-1950” (Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950) digulirkan mulai 2017 silam dan menghasilkan sejumlah temuan yang dirangkum dalam 14 buku pada medio Februari 2022. Lepas penelitian itu dipublikasi, Parlemen Belanda juga sudah sempat menghelat diskusi meja bundar dengan beberapa pihak, termasuk Duta Besar RI untuk Belanda H.E. Mayerfas dan sejarawan Indonesia Bonnie Triyana, pada 23 Mei 2022.

Setelah diskusi meja bundar itu, polemik tentang kekerasan ekstrem militer Belanda terus bergulir di publik. Oleh karenanya hari ini, Rabu (14/6/2023), parlemen Belanda ingin mendengar masing-masing perwakilan partai dalam arena perdebatannya dan turut disaksikan pula oleh Perdana Menteri (PM) Mark Rutte, Menteri Luar Negeri Wopke Hoekstra, serta Menteri Pertahanan Kajsa Ollorongren.

Advertising
Advertising

Baca juga: Parlemen Belanda Gelar Debat Kekerasan Era Perang Kemerdekaan Indonesia

Masing-masing dari 15 perwakilan partai diberi sekira lima menit bicara di podium utama. Ada dari politisi sayap kanan dan konservatif, poros tengah, serta sayap kiri. Sementara yang lain diizinkan menginterupsi atau meng-counter pernyataan masing-masing pembicara.

Corinne Ellemeet dari GroenLinks (Partai Hijau Kiri) membuka panggung perdebatan itu. Ia mempersoalkan –sebagaimana diterjemahkan kolega Arjan Onderdenwijngaard– pemerintah Belanda sejak masa lalu acapkali menutup-nutupi kejahatan perang.

PM Mark Rutte (kiri) didampingi Menhan Kasja Ollorongren dan Menlu Wopke Hoekstra (tweedekamer.nl)

Ia juga mengkritisi penelitian itu lebih memilih istilah “kekerasan ekstrem” ketimbang “kejahatan perang”. Memang Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan terhadap warga sipil di masa perang baru eksis pasca-Perang Kemerdekaan Indonesia, tapi bukan berarti pelanggaran yang telah terjadi, terutama jika melihat dengan kacamata seperti ini, bukanlah pelanggaran hukum perang.

“Dan terkait hukum perang, kabinet pemerintahan tidak pernah bisa satu suara. Sehingga soal istilah pelanggaran hukum militer saat itu tidak ada kejelasan. Harus ada pertemuan dua negara menyikapi hal ini dan mungkin untuk merespons tentang Proklamasi 17 Agustus 1945 diakui secara resmi atau tidak,” kata Ellemeet.

Baca juga: Penelitian Dekolonisasi Belanda Membuka Perdebatan Baru

Hal senada disampaikan oleh Sjoerd Sjoerdsma dari Democraten 66 (Partai D66). Menurutnya, pemerintahan di masa lalu menutup-nutupi kekerasan yang terjadi walau hal itu sudah jadi rahasia umum.

“Pemerintah dan pejabat peradilan tahu apa yang terjadi tapi dibuat jadi masalah sepele dengan istilah-istilah hukum dan mereka membuat aturan bahwa perkara seperti itu bisa ada masa berlakunya,” kata Sjoerdsma.

Corinne Elisabeth de Jonge van Ellemeet dari Partai GroenLinks (tweedekamer.nl)

Sjoerdsma, meski orangtuanya jadi saksi “Masa Bersiap”, juga menekankan bahwa orang-orang Jawa (Indonesia, red.) sudah menyatakan kemerdekaan pada 1945 dan perang (Kemerdekaan) semestinya tidak boleh terjadi. Diplomasi jadi solusi paling baik jika melihat ke belakang. Di sisi lain, pemerintah tidak hanya mesti menyampaikan permintaan maaf terhadap para korban di Indonesia tapi juga para veteran perang Belanda yang dikirim via wajib militer karena mereka tak serta-merta bisa digeneralisasi begitu saja sebagai penjahat perang.

Sedangkan Derk Jan Eppink dari Juiste Antwoord 2021 (Partai JA21) mengkritisi bahwa penelitian itu seolah berat sebelah. Memang “Masa Bersiap” juga ikut diselami dalam penelitian itu tapi seakan-akan penelitian ini hanya dibebankan kepada Belanda.

“Di Belanda lebih banyak diskusi tentang dekolonisasi ketimbang Indonesia sendiri. Ketika saya ke Indonesia tahun 1994 pun saya merasa persoalan ini hanya dibebankan kepada Belanda,” ujar Eppink.

Baca juga: Istilah "Bersiap" yang Problematik

Sedangkan Ruben Brekelmans (VVD/Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi) juga menitikberatkan pada persoalam “Masa Bersiap”. Penelitian dekolonisasi ini juga membuka mata lebih lebar tentang apa yang terjadi hingga menghadirkan trauma kolektif, baik di pihak Belanda maupun Indonesia.

“Kakek-nenek saya jadi interniran di masa Jepang. Trauma itu masih ada di komunitas Indo Belanda yang pernah tinggal di Hindia Belanda. Hasil penelitian ini jadi gambaran yang memang keras dan ekstrem. Tapi tujuan penelitian mestinya bisa membuat kedua negara bisa lebih dekat dan saling memahami. Di sisi lain tidak semua veteran melakukan kekerasan dan ini yang dikeluhkan para veteran, di mana mereka dihakimi (sebagai, red.) penjahat perang. Itu tidaklah benar,” ucapnya.

Sjoerd Wiemer Sjoerdsma dari Partai Democraten 66 (tweedekamer.nl)

Namun, Roelof Bisschop (SGP/Partai Politik Reformasi) punya pandangan tersendiri soal “Masa Bersiap”. Ia melihatnya lebih dekat dari buku harian ayahnya yang pernah dikirim sebagai wajib militer ke Jawa Timur.

“Ayah saya menuliskan, ‘kami dikirim ke sana untuk melindungi warga sipil, di mana banyak dari mereka dibunuh. Kami juga diserang gerilyawan dan kami membalas dengan aksi-aksi kekerasan. Kami mendapat tugas membunuh siapapun.’ Jadi, ayah saya diperintahkan ikut men-sweeping kampung-kampung karena diduga jadi sarang gerilyawan yang meledakkan rel dan membunuh orang Indo, walau belum terbukti kampung-kampung itu benar jadi markas gerilyawan. Ayah saya pulang dengan trauma,” Bisschop berkisah.

Baca juga: Membuka Peristiwa Pembantaian di Sulawesi Selatan

Pengakuan ayah Bisschop itu, selain juga dari hasil penelitian, sedianya sudah cukup membuktikan bahwa sejumlah kekerasan ekstrem yang dilakukan militer Belanda adalah hal yang struktural. Terkait ini, Frank Futselaar (SP/Partai Sosialis) menyebut bahwa kekerasan ekstrem yang disimpulkan penelitian tersebut bukan sekadar halaman gelap sejarah Belanda tapi sudah sebuah buku gelap sejarah Belanda.

“Hasil penelitian ini sudah menyakinkan bahwa yang terjadi bukanlah ekses tapi struktural. Mereka (militer) menggunakan senjata yang menyebabkan banyak korban sipil berjatuhan, terjadi pemerkosaan, pembakaran kampung-kampung, dan eksekusi tanpa proses peradilan. Di sisi lain, walau belum ada kesepakatan dalam aspek hukum perang, harus ada rehabilitasi politik juga untuk mereka yang menolak wajib militer maupun mereka yang menolak ikut aksi kekerasan atas perintah atasannya,” timpal Futselaar.

Berangkat dari fakta-fakta tersebut, Kati Piri (PvdA/Partai Buruh) menyimpulkan dengan adanya hasil-hasil temuan penelitian itu, bukan hanya para pejabat militer tapi pemerintah juga mesti bertanggungjawab penuh. Tak peduli era itu pemerintahan sedang dikuasai PM Louis Beel (1946-1948) dan PM Willem Drees (1948-1958) dari Partai Katolik, Partai Buruh, dan koalisinya.

“Dari penelitian ini kami mengakui apa yang terjadi dan pemerintah harus minta maaf. Memang ada kegagalan dalam pemerintahan dari partai kami saat itu dan tetap saja harus bertanggungjawab atas apa yang sudah terjadi. Masalahnya para pelakunya tak pernah diadili dan para politisi tidak banyak yang berani bicara bahwa kekerasan ekstrem itu hal yang salah,” tukas Piri.

Baca juga: Mempertanyakan Peran Indonesia dalam Penelitian Belanda

 

TAG

belanda kekerasan-belanda

ARTIKEL TERKAIT

Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Pangeran Bernhard, dari Partai Nazi hingga Panglima Belanda Pengawal Raja Charles Melawan Bajak Laut Para Pejuang Bugis-Makassar dalam Serangan Umum Jenderal dari Keraton Murid Westerling Tumbang di Jogja Akhir Perlawanan Dandara Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib Umar Jatuh Cinta di Zaman PDRI