Masuk Daftar
My Getplus

Parlemen Belanda Gelar Debat Kekerasan Era Perang Kemerdekaan Indonesia

Polemik penelitian dekolonisasi jadi perhatian parlemen Belanda. Sejarawan Indonesia dan Dubes RI diundang bicara mewakili perspektif Indonesia.

Oleh: Randy Wirayudha | 24 Mei 2022
Diskusi/debat meja bundar di De Tweede Kamer alias Parlemen Belanda terkait penelitian dekolonisasi (tweedekamer.nl)

BOLA panas terkait penelitian dekolonisasi yang dilakukan tiga lembaga Belanda kini sudah sampai ke parlemen “Negeri Tulip”. Selain para politisi, sejarawan, dan perwakilan institusi veteran Belanda, diskusi meja bundarnya juga memberi panggung “dengar pendapat” dari pihak Indonesia.

Tiga lembaga riset Belanda itu adalah Koninklijke Instituut vor Taal, Land, en Volkunde (KITLV), Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie (NIOD), dan Nederlands Instituut voor Militaire Historie (NIMH). Mereka dibantu 17 akademisi Indonesia asal UGM (Universitas Gadjah Mada) memulai penelitiannya yang bertajuk “Onafhankelijkheid, Dekolonisatie, Geweld en Oorlog in Indonesië, 1945-1950” (Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950) pada 2017 silam. Penelitian rampung empat tahun berselang.

Penelitiannya berangkat dari buku hasil penelitian sejarawan Swiss-Belanda, Rémy Limpach, De Brandende Kampongs van Generaal Spoor (terj. Kampung-Kampung yang Dibakar Spoor, 2016), yang menyingkap pembantaian massal oleh militer Belanda di masa Revolusi Fisik. Riset berongkos 4,1 juta euro itu rampung pada 2019 meski kemudian baru dipublikasikan lewat 14 buku pada Februari 2022.

Advertising
Advertising

Baca juga: Mempertanyakan Peran Indonesia dalam Penelitian Belanda

Polemik hasil penelitian itupun kini sampai ke De Tweede Kamer (Parlemen Belanda). Salah satu penyebabnya, hasil penelitian itu mengubah posisi pemerintah Kerajaan Belanda terkait kekerasan militer Belanda yang sebelumnya masih berpegang pada Excessenota (Catatan Ekses) 1969.

“Alasan perubahan posisi pemerintah adalah studi ‘Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950’. Studi ini menyimpulkan bahwa, meskipun figur-figurnya tak diungkap, (pemerintah) Belanda membiarkan penggunaan kekerasan ekstrem secara luas terhadap penduduk Indonesia dengan tujuan mengalahkan negara itu dengan menghalalkan segala cara,” kata De Tweede Kamer (Parlemen Belanda) di laman resminya.

Perwakilan tiga institusi veteran militer Belanda di diskusi meja bundar pada awal sesi (tweedekamer.nl)

Oleh karenanya, De Vaste Commissie voor Buitenlandse Zaken (Komisi Bidang Luar Negeri) menghelat empat sesi diskusi meja bundar dalam dua hari, 23 Mei dan 30 Mei 2022. Tiga sesi pertamanya pada 23 Mei pagi waktu setempat, memberi panggung pada empat perwakilan institusi veteran, dan masing-masing seorang dari Dewan Direksi Komite Nasional dan Yayasan Peringatan Nasional Belanda. Selain itu, ada dari pihak militer, akademisi Universitas Leiden, dan tentu Limpach pribadi yang mewakili NIMH.

Sesi berikutnya, pernyataan pendapat dari pihak Indonesia melalui sejarawan, pemimpin redaksi Historia.id, cum kurator tamu pameran Revolusi! di Rijksmuseum, Bonnie Triyana, dan Duta Besar RI untuk Belanda H.E. Mayerfas. Keduanya berbicara dalam sesi terpisah. Sedangkan sesi terakhir pada 30 Mei mengundang perwakilan dari 12 organisasi non-pemerintah (ornop) yang bergerak di bidang HAM. Termasuk Hans Moll mewakili Federatie Indische Nederlanders (FIN) dan Jeffry Pondaag dari Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB).

Baca juga: Menyesapi Cerita-Cerita Tersembunyi di Pameran Revolusi!

Kecuali untuk sesi pernyataan dari Dubes Mayerfas, keempat sesi terbuka untuk publik lewat aplikasi dan laman Debate Direct. Pihak parlemen tak memberikan alasan lebih jauh soal alasan mengapa sesi dari Dubes Mayerfas digelar tertutup.

“Itu artinya saat dubes Indonesia diberikan panggung, pers dan publik harus meninggalkan ruangan. Juga jika ada yang merekam dengan video akan diinterupsi. Hal ini mencengangkan karena parlemen, pada prinsipnya, adalah publik,” ujar FIN dalam pernyataan di situsnya, Minggu (22/5/2022).

Jenderal (Anm) Simon Hendrik Spoor (kanan) panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia, 1945-1949 (nationaalarchief.nl)

Kendati FIN juga diberi panggung di sesi terakhir 30 Mei, ornop Indo-Belanda itu juga mengecam diundangnya Bonnie Triyana dan Jeffry. Dengan mengundang Bonnie dan Jeffry, FIN menyatakan De Tweede Kamer memasuki titik terendah dalam sejarah karena selama ini parlemen tak pernah memberikan panggung terhadap pihak yang berseberangan terkait isu “Bersiap”.

Keduanya jadi target “serangan” dan bahkan berujung pada pemolisian Bonnie oleh FIN terkait isu “Bersiap” pada Januari 2022. Upaya itu bermula dari artikel Bonnie di media Belanda, NRC, 10 Januari 2022 yang berisi keberatan terhadap penyisipan kata “Bersiap” di pameran Revolusi!.

Meski begitu gugatan FIN kandas. Kejaksaan Belanda menolak laporan FIN pada 15 Februari 2022. FIN mengklaim tetap berupaya naik banding.

“Undangan (kepada Bonnie dan Jeffry) itu jadi tamparan bagi orang (Indo) Belanda yang mengalami penderitaan selama (masa) “Bersiap” sebagai hasil dari kekerasan ekstrem orang Indonesia. Triyana memicu kemarahan besar di awal tahun ini dengan mengumumkan, sebagai kurator di Rijksmuseum, bahwa dia ingin menghilangkan istilah ‘Bersiap’ dari pamerannya. Pondaag yang radikal juga selalu menyepelekan ‘Bersiap’. Alasan parlemen mengundang Pondaag dan Triyana masih misteri,” kata FIN.

Melihat Bingkai Besar Revolusi Indonesia

Terpisah dari sesi tertutupnya untuk Dubes Mayerfas, Bonnie Triyana sebagai sejarawan pertama Indonesia mengambil kesempatan dalam forum itu untuk lebih memberi “pencerahan” bahwa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945-1949 bukan hanya kekerasan ekstrem dan persoalan seruan “Bersiap!” yang belakangan jadi sorotan.

Berbicara pada sesi 23 Mei 2022 pukul delapan malam waktu setempat, Bonnie memaparkan isu kekerasan terkait penelitian dekolonisasi tersebut punya benang sejarah nan panjang ke belakang. Di Indonesia sendiri terdapat dua perspektif dalam melihat periode kekerasan 1945-1949.

Pertama, ada perspektif atau pemahaman bahwa kekerasan itu adalah buah dari pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945). Perdana Menteri pertama Indonesia Sutan Sjahrir menuliskan brosur, Our Struggle, di akhir 1945 yang memaparkan argumennya bahwa para pemuda terpengaruh propaganda Jepang,” kata Bonnie dalam pemaparannya lewat bahasa Inggris.

Baca juga: Penelitian Dekolonisasi Belanda Membuka Perdebatan Baru

Kekerasan itu terjadi di masa transisi di mana golongan masyarakat yang tertindas sebelum kedatangan Jepang berbalik melawan golongan bangsawan, eks-pegawai kolonial dari beragam latarbelakang etnisitas: Belanda, Indo-Belanda, Tionghoa, Ambon, Manado. Di kalangan Indo-Belanda, periode kekerasan ini mereka sebut dengan “Bersiap!”.

“Faktanya ada banyak seruan di Indonesia yang digunakan rakyat saat ini. Seperti misalnya ‘Dombrengdet!’. Jadi sebenarnya ada kata lain yang digunakan untuk mengacu tentang masa-masa kekerasan ini,” jelasnya.

Sejarawan Bonnie Triyana saat berbicara di Parlemen Belanda (tweedekamer.nl)

Kedua, adalah perspektif di mana kekerasan itu lahir sebagai hasil sistem kolonial. Setelah pemerintah Belanda menganeksasi Hindia Timur yang sebelumnya dipegang Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), pemerintah kolonial menetapkan banyak kebijakan rasis. Salah satunya Regeerings Reglement 1854 yang mengkotak-kotakkan masyarakat menjadi tiga golongan: Europeanen (golongan Eropa), Vreemde Oosterlingen (golongan Timur Jauh) dan Inlanders (pribumi).

Seiring waktu, penindasan yang terjadi baik lewat kebijakan-kebijakan rasis imperialis maupun penaklukan daerah-daerah Nusantara lewat kekerasan, jadi pupuk penyubur gerakan-gerakan nasionalis yang mengambil momentum besarnya ketika Jepang menumbangkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ketika Jepang menyerah pada Sekutu, 15 Agustus 1945, situasi berubah dengan cepat dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus oleh Sukarno-Hatta.

“Para pemuda berinisiatif mengambilalih kekuasaan. Kemudian revolusi Indonesia tidak hanya digambarkan dalam satu periode kekerasan. Faktanya revolusi itu tentang tingginya motivasi rakyat untuk bisa hidup lebih baik. Revolusi Indonesia melibatkan banyak orang dari aneka latarbelakang: akademisi, seniman, sastrawan, jurnalis, diplomat, perempuan, petani, buruh, dan pelajar yang berpartisipasi lewat banyak cara,” terang Bonnie lagi.

Baca juga: Rasisme Sejak dalam Pikiran

Lantaran keterbatasan waktu, ketua forum, Agnes Mulder, menyela penjelasan itu demi bisa memberi kesempatan pada tiga anggota parlemen untuk bertanya. Ruben Brekelmans dari Partai VVD (Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi) dan Corinne Ellemeet dari Partai GreenLeft menanyakan hal sama, tentang apa pandangan dan makna penelitian itu bagi Indonesia. Sedangkan Simone Kerseboom dari FvD (Partai Forum untuk Demokrasi) menitikberatkan pada beban masa lalu bagi kedua pihak.

Bonnie menjawabnya dengan mengulang pembicaraan tentang pengalaman salah satu mentornya, sejarawan Anhar Gonggong. Sebagaimana diketahui, ayah, dua saudara, dan paman Anhar turut jadi korban kekerasan jagal kondang Kapten Raymond Westerling di Sulawesi (1946-1947).

“Ketika saya tanya apakah dia ingin kompensasi? Dia jawab, ‘Tidak. Karena ayah saya, dua saudara saya, dan dua paman saya sudah melakukan tugasnya untuk memerdekakan rakyat kami.’ Jadi selalu ada dua perspektif dalam melihat situasi (kekerasan) ini, seperti dua sisi mata uang di (sudut pandang) Indonesia,” kata Bonnie.

Aksi "pembersihan" sipil Indonesia oleh tentara Belanda di Piyungan, April 1949 (NIOD)

Sementara, terkait apa arti penelitiannya, Bonnie menilai penelitian itu justru jadi jawaban bagi banyak pertanyaan dari masyarakat Belanda sendiri bahwa penelitian itu mestinya jadi awal untuk membuka pintu pemahaman lebih lebar. Juga sebagai lorong waktu untuk melihat lebih dalam tentang apa yang sudah dilakukan para penguasa Belanda dengan sistem kolonialnya.

“Jadi saya pikir kita harus melihat semua perspektif. Bukan hanya melihat dari periode pendek revolusi ini. Kadang orang memahami kekerasan ini hanya 1945-1949, tapi ceritanya berakar kuat kepada sistem kolonial. Anda bilang kekerasan 1945-1949 karena pengaruh fasisme Jepang. Tapi bagaimana dengan Perang Aceh? Bagaimana orang-orang dibantai di pedalaman lain? Kita harus melihat lebih luas bukan hanya karena retaliation feeling. Harus lebih peaceful melihat sejarah ini,” sambungnya.

Dalam melihat fakta historis itu, Bonnie berupaya lebih obyektif. Selain merupakan laku serdadu Belanda, kekerasan juga dilakukan pihak Indonesia dalam periode empat tahun revolusi tersebut.

“Dan saya pikir penting untuk tidak men-downgrade revolusi Indonesia dengan menggambarkan bahwa revolusi hanya tentang kekerasan atau tentang ‘Bersiap!’. Tapi sebagai sejarawan, saya mengakui adanya kekerasan. Tapi saya pikir penting untuk melihatnya (dalam) bingkai besar sejarahnya secara keseluruhan,” tandas Bonnie.

Baca juga: Istilah "Bersiap" yang Problematik

TAG

agresi militer belanda kekerasan-belanda

ARTIKEL TERKAIT

Banjir Darah di Puri Smarapura Alasan PM Belanda Menolak Istilah "Kejahatan Perang" Thierry Baudet: Harusnya Indonesia Masih Jajahan Belanda Akhirnya Belanda Mengakui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 Perdebatan Alot Parlemen Belanda Mengupas Penelitian Dekolonisasi Menyegarkan Kembali Historiografi Revolusi Indonesia Penelitian Dekolonisasi Belanda Membuka Perdebatan Baru Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo