Masuk Daftar
My Getplus

Akhir Perlawanan Dandara

Satu episode perlawanan sosok perempuan yang menentang penjajah Belanda dan Portugis. Asal-usul dan kematiannya masih menyisakan misteri.

Oleh: Randy Wirayudha | 06 Feb 2024
Sosok Dandara yang diperankan aktris Maria José Motta de Oliveira alias Zezé Motta di film "Quilombo" (IMDb/Cinemateca Brasileira)

KETENANGAN permukiman Cerca do Macaco di pedalaman Serra da Barriga, Pernambuco (kini Alagoas), Brasil pada dini hari 6 Februari 1694 pecah saat pasukan Portugis menyerang dengan membabi-buta. Bersama 200 anak buahnya, Dandara (diperankan Zezé Motta) dan suaminya, Zumbi (Antônio Pompêo), terus memberi perlawanan sampai titik darah penghabisan kendati terdesak mundur.

Saat waktu berganti pagi, Zumbi yang terluka masih sempat melarikan diri. Akan tetapi Dandara dikepung serdadu Portugis sampai ke tepi tebing. Oleh komandan Portugis, Dandara diperingatkan agar menyerahkan diri. Namun sorot matanya mengisyaratkan penolakan. Seketika Dandara melangkah mundur lalu berbalik badan. Ia memilih bunuh diri dengan melompat dari puncak tebing ketimbang kembali diperbudak.

Begitulah klimaks yang tersaji dalam film drama sejarah Quilombo (1984) garapan sineas Brasil Carlos Diegues. Film ini mengisahkan perlawanan quilombo atau komunitas kulit hitam merdeka pimpinan Dandara dan Zumbi –yang merupakan Raja Quilombo dos Palmares di pedalaman Pernambuco– terhadap perbudakan dalam kolonialisme Portugis.

Advertising
Advertising

Baca juga: Harriet Pembebas Budak

Berontak Menolak Kompromi

Di suatu siang pada abad ke-17 dekat perkebunan tebu di Pernambuco, Dandara (diperankan Luiza Maranhão) menemani tuan dan nyonya pemilik tanah dalam sebuah perjalanan. Rombongan itu tetiba disergap prajurit Angola Janga alias Quilombo dos Palmares yang bersenjatakan tombak dan panah.

Setelah sang tuan tanah dan istrinya yang bersenjatakan pistol sudah tumbang, Dandara dan dua budak lain yang melarikan diri juga nyaris terbunuh. Namun sosok Zambi, jenderal prajrit Angola Janga, muncul dan melarang anak buahnya mengeksekusi Dandara. Selebihnya, Dandara justru disambut Raja Ganga Zumba (Antônio Pitanga) untuk hidup bebas dari perbudakan di quilombo-nya.

Itu merupakan secuplik gambaran asal-usul Dandara dalam film drama sejarah Ganga Zumba (1963) yang juga merupakan karya Digues. Dramatisasinya karena sebagaimana kisah kematiannya dalam film versi 1984, asal-usul sosok Dandara pun masih jadi misteri karena minimnya sumber-sumber yang terverifikasi.

Baca juga: Konflik Perbudakan Belanda-Portugis dari Mata João

Hingga kini pun belum ada catatan yang menyebutkan kepastian kapan dan di mana Dandara lahir. Mengutip riset antropolog Univeritas Bahia Prof. Maria de Lourdes Siqueira, Habeeb Akande dalam Illuminating the Blackness: Blacks and African Muslims in Brazil menyatakan bahwa Dandara masih keturunan bangsawan Jeje Mahin di Afrika Barat (kini Benin).

Beberapa sumber lain menyebutkan, orangtuanya dikirim sebagai budak dan Dandara lahir di salah satu perkebunan di Brasil. Ketika menginjak usia remaja, ia baru pindah ke (Quilombo) Palmares dan dipersunting Zumbi, keponakan Raja Ganga Zumba.

Peta Capitania de Pernambuco dan Quilombo de Palmares (brasilianaiconografica.art.br)

Quilombo dos Palmares mulai eksis menjadi komunitas kulit hitam merdeka di pedalaman Serra da Barriga pada 1605. Seiring waktu, komunitas Palmares menjadi “suaka” yang berkembang pesat karena pelarian budak yang datang terus bertambah. Mereka sulit dicegah karena sulitnya akses lantaran lebatnya hutan yang sukar ditembus para prajurit kolonialis Belanda dan Portugis.

“Palmares bukan sekadar satu komunitas, melainkan terdiri dari sejumlah mocambos (desa) yang bersatu dan membentuk sebuah kerajaan neo-Afrika. Beberapa penduduknya berasal dari Afrika Barat, semisal Angola. Palmares kemudian tidak hanya menyambut pelarian budak tapi juga orang-orang pribumi, mulatto (campuran Afrika-Eropa) dan juga orang kulit putih,” tulis Erica Lorraine Williams dalam artikel “Dandara of Palmares” di buku The Dictionary of Caribbean and Afro-Latin American Biography.

Baca juga: Pemberontakan Budak 17 Agustus, Menang atau Mati!

Karena lokasinya yang berada di antara pedalaman pegunungan Serra da Barriga dan pesisir laut, masyarakatnya berusaha mencukupi kebutuhan secara mandiri. Mayoritas dengan bertani menanam jagung, kacang, kentang, tebu, dan singkong. Beberapa lainnya menjadi nelayan.

“Palmares juga merupakan tempat yang indah dengan pantai-pantai pasir putih, laguna-laguna yang airnya jernih, namun keadaan itu jadi ancaman bagi para penjajah Eropa. Oleh karenanya masyarakatnya mengembangkan seni beladiri capoeira. Dandara juga dikenal mahir capoeira untuk memberi perlawanan sengit saat tensi dengan penjajah Belanda dan Portugis bereskalasi,” ungkap Kate Mosse dalam Warrior Queens & Quite Revolutionaries: How Woman (Also) Built the World.

Perang gerilya tak terelakkan, utamanya antara Raja Ganga Zumba dan Gubernur Pernambuco Pedro Almeida. Sang gubernur sampai harus melancarkan ekspedisi pasukan bandeirantes pimpinan Domingos Jorge Velho dan Bernardo Vieira de Melo. Ekspedisi itu berujung perjanjian antara Gubernur Pernambuco dengan Raja Ganga Zumba pada 1678.

Baca juga: Budak yang Merdeka dan yang Melawan

Perjanjian itu berisi kesepakatan damai dengan beberapa poin kompromi. Di antaranya, lanjut Williams, masyarakat Palmares tetap diakui sebagai orang-orang merdeka tapi harus direlokasi ke Lembah Cucaú. Poin berikutnya, masyarakat Palmares tidak boleh lagi menampung pelarian budak dan mereka yang mencari suaka kepada masyarakat Palmares wajib dikembalikan ke pemerintah kolonial.

“Meski beberapa kali bertempur bersama Ganga Zumba, Dandara menentang kesepakatan perjanjian itu. Ia meyakinkan Zumbi, suaminya, untuk menentangnya juga. Zumbi pun menantang Ganga Zumba dan memimpin pemberontakan. Setelah Ganga Zumba terbunuh oleh salah satu anak buahnya, Zumbi mengklaim dirinya sebagai penerus pemimpin Palmares,” tambah Williams.

Selama 16 tahun berikutnya, Dandara dan Zumbi bersama para pengikutnya bergerilya bak tokoh suami-istri Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar dalam Perang Aceh (1873-1904). Mereka kemudian mendirikan basisnya di Cerca do Macaco.

Namun pada Januari hingga awal Februari, situasi mulai mendesak Dandara dan Zumbi. Perlawanan Dandara berakhir namun Zumbi yang melarikan diri terus bergerilya dengan sisa-sisa pengikutnya.

Baca juga: Tjoet Nja’ Dhien Petarung Konsisten

Zumbi akhirnya dikhianati salah satu anak buahnya, di mana dalam serangan Portugis pada 20 November 1695, Zumbi tewas. Kepalanya yang dipenggal lalu dipamerkan dengan tombak untuk menakuti para budak lainnya. Seiring waktu, masyarakat Brasil merayakan tanggal 20 November sebagai Hari Kesadaran atau Hari Kebangkitan Afro-Brasil sebagai penghargaan terhadap perjuangannya.

Namun, faktanya kematian Dandara hingga kini masih jadi misteri. Beberapa sumber memang menyebutkan bahwa perlawanan Dandara berakhir setelah ia lompat untuk bunuh diri. Namun, sejumlah sumber lain menyebutkan Dandara tewas menjadi martir dalam pertempuran di hari itu.

“Terdapat inkonsistensi dalam sejumlah literatur akademik mengenai kematian Dandara. Terlepas dari pada itu, sampai hari ini Zumbi dan Dandara menjadi simbol tradisi perlawanan kulit hitam di Brasil, utamanya dalam isu-isu rasisme dan kesetaraan sosial,” tukas Williams.

Baca juga: Wally Bereaksi, Wally Dieksekusi

Patung dada (kiri) & lukisan Zumbi karya Antônio Parreiras (Agência Brasil/Museu Antônio Parreiras)

TAG

perbudakan brasil portugis penjajahan-belanda

ARTIKEL TERKAIT

Raja Larantuka Melawan Belanda Ayrton Senna dalam Kenangan Bermula dari Nazar Portugis Kena Prank di Malaka Portugis Menangis di Selat Malaka Kampung Tua di Sabang Raja Kristen Bugis Catatan Tentang Kerajaan Tulang Bawang Asam Garam Jacksen F. Tiago di Indonesia (Bagian II - Habis) Asam Garam Jacksen F. Tiago di Indonesia (Bagian I)