Masuk Daftar
My Getplus

Mengungsikan Bung Hatta Jelang Pemilu Perdana Orba

Intrik mewarnai masa kampanye pemilu 1971. Pemerintah mengasingkan sejumlah tokoh negara ke luar negeri karena pengaruhnya berpotensi memecah lumbung suara.

Oleh: Martin Sitompul | 27 Jun 2023
Bung Hatta bersama Duta Besar Taswin Natadiningrat sewaktu berkunjung ke Belanda, 1971. (Dok. Halida Hatta).

Menjelang pemilu 1971, pemilu pertama di masa Orde Baru, Mohammad Hatta, wakil presiden RI pertama, bertolak ke Belanda. Kepergian Bung Hatta ke Belanda dikabarkan dalam rangka berobat. Halida, putri bungsu Bung Hatta, waktu itu berusia 15 tahun, turut menyertai bersama ayah dan ibunya, Rahmi Hatta. Kedatangan mereka disambut Duta Besar Taswin Natadiningrat.    

“Ayah dan ibu bertemu dengan Ratu Juliana di Istana Soestdijk. Lalu ada kunjungan istirahat atas undangan Anak Agung Gde Agung (Dubes RI untuk Austria) ke Vienna,” kenang Halida (67) kepada Historia.id.

Namun, di balik kunjungan Bung Hatta ke negeri Belanda itu ternyata terselip muatan politis. Indikasi tersebut disaksikan oleh Joehazar Sirie Gelar Sutan Perpatih, pejabat atase penerangan pada Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) di Belanda. Saat itu, Joehazar tengah disibukkan dengan persiapan pemilu bagi warga Indonesia di Belanda. Tiba-tiba KBRI menerima pemberitahuan tentang kunjungan Bung Hatta bersama istri ke Belanda. Segenap staf KBRI pun dibikin kaget lantaran Bung Hatta sudah berhari-hari tinggal di Den Haag.

Advertising
Advertising

Baca juga: Buka-Tutup Sistem Pemilu Indonesia

Pada malamnya, Joehazar berinisiatif membesuk Bung Hatta di hotel tempatnya menginap. Tak lupa dia membawa buah tangan. Setibanya di lobi hotel, Joehazar hanya bisa menjumpai Wangsanegara, sekretaris pribadi Bung Hatta, karena Bung Hatta sedang tidur.

Joehazar dan Wangsanegara adalah kawan lama. Pada 1950, ketika Bung Hatta menyerahkan mandat kepada Mohammad Natsir sebagai perdana menteri, Joehazar merupakan staf Natsir. Itulah sebabnya Joehazar tak sungkan menanyakan kondisi Bung Hatta tentang penyakit apa yang dideritanya sehingga harus berobat ke Belanda. Wangsanegara hanya tertawa kecut sambil kemudian membisikkan sesuatu.

“Bung Sirie, berita ini hanya untuk Bung pribadi, untuk diketahui. Sebenarnya Bung Hatta sehat-sehat saja dan tidak ada keluhan. Beliau dan Ibu diminta secara halus agar bersedia meninggalkan Indonesia untuk ‘jalan-jalan’ dan karena itu tidak hadir di tanah air selama pemilu dilangsungkan,” ujar Wangsanegara seperti dituturkan ulang Joehazar dalam memoarnya Moralitas Informasi dalam Diplomasi.

Baca juga: Bung Hatta: Presiden Jangan Lip Service

Atas ucapan orang dekat Bung Hatta itu, Joehazar menyimpulkan kehadiran Bung Hatta di Indonesia akan dapat mempengaruhi jalannya pemilu yang dapat merugikan pihak tertentu. Kunjungan Bung Hatta ke Belanda bertepatan dengan masa kampanye pemilu dihelat di Indonesia.

Sementara itu, Halida menuturkan, selama muhibah di Belanda, Bung Hatta memang sempat jatuh sakit dan dirawat di rumahsakit. Soal kesengajaan penguasa untuk mengasingkan Bung Hatta, Halida enggan memastikan walaupun terbuka kemungkinan ke arah sana.  

“(Saat itu) saya masih usia 15 tahun. Terus terang, hal mendetil saya tidak ingat,” imbuhnya.

Meski sudah berusia uzur (69 tahun) pada 1971, ketokohan Bung Hatta di awal masa Orde Baru masih sangat mengakar di tengah rakyat. Kiprahnya terukir harum sebagai ko-proklamator kemerdekaan, wakil presiden RI pertama, dan sosok negarawan yang mewakili masyarakat di luar Jawa, khususnya Sumatra. Tak ayal, pemerintah dengan kendaraan politiknya Golkar cukup memperhitungkan pengaruh Bung Hatta. Apalagi Bung Hatta pada Januari 1967 sempat ingin mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Namun, pemerintah melalui respon langsung Jenderal Soeharto selaku pejabat presiden tak berkenan memberikan izin.

Baca juga: Partai Islam ala Bung Hatta

Selain Bung Hatta, tokoh kharismatik asal Aceh Teungku Muhammad Daud Beureueh juga turut “diungsikan” dengan kedok berobat ke luar negeri. Nazaruddin Sjamsuddin dalam Integrasi Politik di Indonesia, menyebut dalam rangka usaha memenangkan Golkar dalam pemilihan umum di Aceh, Daud Beureueh “dibujuk” untuk meninggalkan Aceh dan “bertamasya” ke Amerika Serikat, Eropa, dan Timur Tengah. Eks pemimpin Darul Islam itu, ungkap Joehazar, diminta sudi untuk jalan-jalan menyaksikan negara-negara Timur Tengah dan Eropa.

“Ketika Daud berada di Kairo dan akan menuju ke Belanda, aku diminta oleh Kepala Perwakilan untuk memberitahukan bahwa: ‘Di Belanda tidak ada masjid, harap perjalanan diteruskan ke London’. Akhirnya tokoh Aceh ini tidak jadi berkunjung ke Belanda,” terang Joehazar

Setelah masa kampanye usai, barulah Daud Beureueh dipulangkan ke Aceh. Daud Beureueh sendiri merupakan simpatisan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Oleh karena keberadaannya di luar negeri, maka selama kampanye kesempatan partai Islam menggandeng Daud Beureueh menjadi tertutup. 

Baca juga: Ketika Daud Beureuh Disuguhi Nasi Garam

Sementara itu, Mohammad Natsir pemimpin Partai Masyumi, juga dihalang-halangi untuk memasuki arena politik oleh rezim Orde Baru. Pemerintah disebut-sebut menolak permohonan rehabilitasi Masyumi. Menjelang pemilu 1971, seperti dicatat M. Dzulfikriddin dalam Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia, Menteri Dalam Negeri Amir Machmud bahkan mengumumkan adanya sekitar 2500 orang bekas anggota Masyumi dan PSI yang tidak boleh dipilih sebagai legislator, termasuk Natsir.

Perlakuan rezim itu membuat Natsir meradang. Dalam sebuah rapat para pemimpin reformis modern 1 Juni 1972, Natsir bersungut mengatakan bahwa pemerintah Orde Baru telah memperlakukan kelompoknya seperti kucing kurap. “Sejak itu, berakhirlah sudah karier politik para pemimpin Masyumi,” kata Yudi Latif dalam Genealogi Inteligensia: Pengetahuan & Kekuasaan Inteligensia Muslim Abad XX

Upaya rezim Orde Baru memuluskan jalannya pemilu dengan mengasingkan sejumlah tokoh itu agaknya membuahkan hasil yang diinginkan. Pemilu 1971 dimenangkan secara mutlak oleh Golkar dengan perolehan suara 62,82 persen (325 kursi DPR). NU menempati peringkat kedua dengan perolehan suara 18,68 persen (89 kursi DPR). Sedangkan Parmusi pada urutan ketiga dengan perolehan suara 5,36 persen (11 kursi DPR). Dengan hasil itu, Golkar berhak memajukan Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia.   

Baca juga: Pesan Soeharto bagi yang Kalah Pemilu

TAG

pemilu mohammad hatta orde baru

ARTIKEL TERKAIT

Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Kematian-kematian Sekitar Pemilu 1971 PPP Partai Islam Impian Orde Baru Sudharmono Bukan PKI Ketika Komedian Mencalonkan Diri Jadi Presiden Suami-Istri Cerai Gara-gara Beda Partai Gambar Partai Dilumuri Tahi Lika-liku Quick Count yang Krusial