Sejak mengundurkan diri sebagai wakil presiden, Mohammad Hatta menjadi warga negara biasa dan menjadi tumpuan bagi berbagai kalangan yang menginginkan demokrasi, kebebasan, dan hak berpolitik. Terlebih Presiden Sukarno semakin berkuasa dengan Demokrasi Terpimpin.
Pada masa itu, Bung Hatta kerap mengadakan pertemuan dengan para pemuda dari organisasi Islam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Nahdlatul Ulama. Dari sekian hal yang dirundingkan, tercetus ide mendirikan partai politik Islam.
Menurut Deliar Noer, mantan Ketua Umum Pengurus Besar HMI (1953-1955) yang rutin menghadiri pertemuan itu, Bung Hatta membenarkan perlunya partai Islam yang akan memberi contoh penerapan ajaran Islam dalam berpolitik.
“Maka disepakatilah secara bersama-sama rancangan anggaran dasar Partai Demokrasi Islam Indonesia, disingkat PDII,” tulis Deliar Noer, “Hatta dan Partai Islam,” dimuat dalam Mengapa Partai Islam Kalah? Rancangan anggaran dasarnya disusun Bung Hatta dengan usulan dari para pemuda. Setelah disusun, konsep itu dibicarakan bersama lagi dengan yang lain. Ini dilakukan berkali-kali.
Baca juga: Pesan Soeharto bagi yang Kalah Pemilu
Dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jan S. Aritonang mencatat bahwa ide pendirian PDII berasal dari desakan para tokoh HMI dan PII kepada Bung Hatta untuk mendirikan suatu partai politik bercorak Islam.
“Ini terjadi hanya beberapa minggu setelah meletusnya G30S/PKI,” tulis Aritonang. “Mohammad Hatta setuju, namun meminta mereka tidak terburu-buru sebelum dimulainya pembentukan kader.”
Baca juga: Zaman Orba, Calonkan Diri Jadi Presiden Ditangkap Polisi
Pada 11 Januari 1967, Bung Hatta mengirim surat kepada Jenderal Soeharto tentang niatnya mendirikan PDII. Dalam surat balasan tanggal 17 Mei 1967, pemerintah Orde Baru tidak memberikan izin pendirian PDII.
“Presiden Soeharto menjelaskan kepada saya waktu itu, bahwa walaupun maksudnya baik, tetapi MPRS telah memutuskan penyederhanaan kepartaian di Indonesia, dan karena itu tidak dapat menyetujui pembentukan partai baru itu. Bagi kita tentunya tidak lain harus menerima keputusan itu,” kata Bung Hatta dalam Bung Hatta Menjawab.
Baca juga: Kabut Golput yang Menggelayut
Padahal, persiapan pembukaan cabang PDII sudah dilakukan di Sumatra Utara, Sumatra Barat, Palembang, Sulawesi Selatan ,dan di kota-kota di Jawa. Beberapa tokoh Islam di Jakarta, seperti KH Abdullah Syafei dan Ustadz Jamalulail menyatakan siap bergabung dengan PDII. Pemimpin dan kader-kader HMI, seperti Deliar Noer, Sulastomo, Norman Razak, dan Ismail Hasan Matareum, memilih bergabung dengan PDII karena “PDII telah mencita-citakan dirinya sebagai partai kader. Sehingga sesungguhnya lebih sesuai dengan cita-cita HMI,” tulis Sulastomo, Ketua Umum HMI 1960-1966, dalam Transisi Orde Lama ke Orde Baru.
Sementara itu, pemerintah Orde Baru kemudian mengizinkan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), partai Islam yang diinisiasi eks Masyumi.
Pada 1980, Deliar Noer bersama Nurcholish Madjid berada di Chicago, Amerika Serikat. Suatu waktu, sambil menikmati pemandangan kota itu, Cak Nur berujar, “Kalau sekiranya Partai Demokrasi Islam Indonesia yang dipimpin Hatta jadi berdiri, keadaan di Tanah Air agaknya tidak separah yang kita hadapi.”