Masuk Daftar
My Getplus

Konferensi Asia Afrika di Mata Pelajar Indonesia

Pelajar menyambut KAA dalam beragam cara. Mengerek bendera, meminta tanda tangan, dan menulis harapan bagi KAA.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 26 Apr 2021
Para pelajar menaikkan bendera peserta Konferensi Asia-Afrika. (30 Tahun Indonesia Merdeka : 1945-1955)

Tanggal 24 April diperingati sebagai Hari Solidaritas Asia Afrika. Penetapannya bertepatan dengan peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika pada 2020. Konferensi Asia Afrika kali pertama berlangsung pada 18–24 April 1955 di Bandung. Tujuannya membangun kerja sama dan solidaritas panjang untuk mewujudkan dunia yang adil, bebas dari penjajahan, dan damai.

Selama KAA, pelajar Indonesia dilibatkan. Mereka berkumpul di lapangan Tegalega, Bandung pada 18 April pagi. Mereka berbaris rapi, menunggu tetamu penting dari 29 negara peserta KAA. Saat matahari agak tinggi, tetamu bermunculan di lapangan. Antara lain Gamal Abdul Nasser dan Jawaharlal Nehru.

Melihat tetamu datang, para pelajar mulai bersenam. Mereka sangat antusias. Tak hirau cuaca terik demi menghibur tetamu. Peristiwa ini terekam dalam album 30 Tahun Indonesia Merdeka 1955–1965. Ini menunjukkan para pelajar turut menyambut KAA.  

Advertising
Advertising

Baca juga: Bom di Tengah Konferensi Asia-Afrika

Di Gedung Merdeka, para pelajar juga menyumbangkan tenaganya. Mereka berasal dari Pandu Bandung. Laki-laki dan perempuan. Laki-laki Pandu “menaikkan dan menurunkan 29 bendera pada waktunya,” tulis Wanita, awal Mei 1955. Sedangkan perempuan Pandu bertugas membantu polisi mengatur kelancaran lalu lintas di sekitar gedung konferensi hingga pertemuan usai pada sore menjelang malam.

Malam hari, tugas perempuan pelajar berganti lagi. Mereka menunjukkan keluwesannya menari di Gubernuran Bandung. Mereka tampil dengan kostum kupu-kupu cantik. Sesuai kostumnya, tarian mereka bernama tari kupu-kupu. Mereka berhasil memukau para tetamu.

Perhatian tetamu lalu tertuju pada perempuan pelajar India berkostum khas negaranya. Dia menyuguhkan tari Hindu untuk para tetamu. Usai pertunjukannya, para perempuan delegasi dari sejumlah negara berebut menghampiri dan mengajaknya berfoto.

Baca juga: Sumbangsih Indonesia untuk Asia-Afrika

Pelajar lain menempuh cara berbeda untuk menyambut KAA. Mereka berusaha mengumpulkan tanda tangan tetamu asing. Lantaran tak tergabung dalam kepanitiaan KAA, mereka mesti bersusah-payah melakukannya.

“Di muka gedung-gedung yang akan dipakai untuk konferensi, orang yang tak berkepentingan tak boleh masuk. Dijaga keras oleh pasukan MB (Mobile Brigade, red.) dan PM (Polisi Militer, red.),” tulis seorang lelaki pelajar dalam “Suka-Duka Pengumpul Tanda Tangan di Sekitar Konperensi AA” yang termuat dalam Minggu Pagi, pertengahan Mei 1955.

Bersama kawan-kawannya, si lelaki pelajar memilih berdiam di depan hotel Savoy Homann. “Dan tiap ada orang keluar hotel yang sekiranya orang asing maka kuminta tanda-tangannya,” tulis si pelajar. Begitu kelihatan tetamu, dia menyodorkan buku catatannya. Berebutan dengan pelajar lain. Kadang berhasil, seringkali malah gagal. “Ada yang mau, ada yang tidak,” lanjut si pelajar.

Di luar kisah susahnya, si lelaki pelajar sempat mengalami dua peristiwa lucu menyangkut kegenitan anggota delegasi. Pertama, saat dia melihat sejumlah perempuan pelajar lagi merubung seorang delegasi asing. Tertarik dengan kerumunan, si lelaki pelajar ikut menghampirinya sekaligus meminta tanda tangan. Delegasi itu menolak dan buru-buru berkata, “My signature is only for ladies”.

Baca juga: Arsip Konferensi Asia Afrika Menjadi Warisan Ingatan Dunia

Kedua, saat si lelaki pelajar sedang mengejar tanda tangan seorang delegasi Arab. Tiba-tiba perempuan pelajar menimbrung. Delegasi Arab itu lalu bertanya dalam bahasa Inggris ke perempuan pelajar. “Siapa nama dan arti namamu?” Tak tahu arti namanya, si perempuan pelajar menggeleng. Lalu delegasi Arab menjawab, “It is love”.

Lalu bagaimana sambutan pelajar di luar Bandung terhadap KAA? Siti Sundari S, pelajar perempuan Sekolah Menengah Pertama II, Sala, Jawa Tengah, berpandangan KAA membuatnya bangga jadi orang Indonesia.

“Alangkah bangganya bangsaku telah dapat mengadakan pertemuan dengan kawan-kawan se-Asia, di mana mereka akan merundingkan nasib yang sama. Bangsa Asia kini telah insyaf, mereka tak mau lagi dijajah, tak mau lagi diperbudak serta dikeruk kekayaannya,” tulis Siti dalam “Aku dan Konperensi AA”, surat kepada Sunday Courier, akhir April 1955.

Di akhir suratnya, Siti berharap kelak dia bakal hidup dalam damai bersama teman-teman dari negara tetangganya. “Dan sudah tentu akupun akan membangun negaraku bersama anak-anak tetangga negaraku. Kami akan menjadi satu manusia yang cinta perdamaian.”

TAG

konferensi asia afrika

ARTIKEL TERKAIT

Aksi Spionase Jepang Sebelum Menyerang Pearl Harbor Mimpi Pilkada Langsung Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Insiden Perobekan Bendera di Bandung yang Terlupakan Memburu Kapal Hantu Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto Paris Palsu di Masa Perang Dunia I Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Presiden Bayangan Amerika Serikat Park Chung Hee, Napoleon dari Korea Selatan