“WANITA itu sangat pemberani. Dia benar-benar sangat pemberani. Yang paling mengesankan adalah dia memilih untuk meninggalkan Inggris, tempat tinggalnya, dan kembali ke Prancis –tempat dia dibesarkan– untuk berperang melawan Nazi bersama kami, dan untuk kami”.
Wanita itu adalah Noor Inayat Khan, operator nirkabel wanita pertama yang disusupkan Inggris ke Prancis pada masa Perang Dunia II. Selain keberaniannya, ketenangan dan keteguhan hatinya saat tertangkap Nazi, membuat musuhnya terkesan.
Wanita kelahiran Moskow, Rusia pada 1914 itu keturunan sultan pejuang. Dari garis ayah, Noor adalah cicit dari Tipu Sultan yang berjuluk Harimau dari Mysore, penguasa muslim terakhir di India bagian selatan pada abad ke-18. Sementara ayahnya, Hazrat Inayat Khan dikenal sebagai musisi dan mistikus.
Baca juga:
Allied dan Kisah Mata-Mata Perempuan di Tengah Perang
Sejarawan Marcus Binney dalam The Women Who Lived for Danger: The Agents of the Special Operations Executive menyebut Hazrat merupakan murid dari seorang guru sufi terkemuka yang menugaskannya untuk membuat sufisme dikenal di Barat. “Hazrat menikahi seorang wanita Barat yang akan memberinya anak-anak yang menggabungkan kebaikan dari kedua dunia,” tulis Binney.
Sementara Burhana Islam dalam Amazing Muslim Who Change the World menyebut orang tua Noor merupakan sosok yang menentang kekerasan. Mereka percaya pada cara hidup sufi, yang dipenuhi dengan kebajikan dan cinta. Oleh karena itu, ketika kabar menyebar bahwa Rusia tengah bersiap ambil bagian dalam Perang Dunia I pada 1914, keluarga Noor meninggalkan Moskow untuk mencari tempat tinggal baru.
Keluarga Noor pergi ke Paris lalu ke London, di mana mereka tinggal di kawasan Gordon Square. Beberapa tahun berselang, mereka kembali ke Paris, lalu pindah ke sebuah rumah dengan taman berdinding besar di Suresnes.
Noor tumbuh sebagai anak pendiam dan pemalu. Seiring bertambahnya usia, dia tertarik terhadap psikologi anak dan mempelajarinya. Noor juga mulai menerbitkan cerita anak-anaknya sendiri. Dalam berbagai tulisannya, wanita yang namanya memiliki arti “Cahaya Kewanitaan” itu kerap menyuarakan pandangan pasifis dan cara-cara menjalani hidup tanpa kekerasan dan pertumpahan darah. Namun, lambat laun pandangannya berubah ketika dunia kembali berperang.
Baca juga:
Cerita Tak Biasa Mata-mata Nazi
Ketika tentara Jerman menduduki Paris pada 1940, tempat tinggal Noor tidak lagi aman. Keluarganya mengungsi ke Inggris. Kehancuran dan penderitaan yang dialami warga sipil akibat Perang Dunia II mendorong Noor menjadi sukarelawan pasukan wanita Inggris, Women’s Auxiliary Air Force (WAAF). Dia dilatih sebagai operator radio dengan spesialisasi operasi nirkabel dan kode morse.
Noor kemudian bertugas di dinas intelijen Inggris. Inggris bertekad menyabotase pendudukan Nazi di Eropa dengan memecahkan pesan terenskripsi, mengungkap strategi Jerman, dan melindungi pasukan Sekutu yang telah dikerahkan. “Mereka tertarik dengan keahlian Noor. Kefasihannya berbahasa Prancis dan pengetahuannya tentang Paris membuatnya menjadi rekrutan yang sempurna untuk menjadi mata-mata,” tulis Burhana.
Noor menyadari tugasnya tidak mudah. Dia diperingatkan bahwa menyusup ke wilayah musuh sangat berbahaya. Nazi dan kaki tangannya ada di mana-mana, dan mereka tak segan melakukan kekerasan. Oleh karena itu, jika Noor terdeteksi dan identitasnya terbongkar, Inggris tidak bisa melindunginya.
Peringatan tersebut tidak menggentarkan semangat Noor. Dia segera menjalani pelatihan dengan mempelajari cara menghubungi jaringan intelijen, mengakali musuh saat diinterogasi, cara membuka kunci, dan menembakkan pistol. Semangat dan ketekunannya dalam berlatih menarik perhatian sejumlah pihak.
Baca juga:
Mata-mata CIA dari Indonesia Dieksekusi Mati di Korea Utara
Sebuah laporan positif pada Maret 1943 menyebut Noor sosok yang tidak egois. “Orang terakhir yang ketidakhadirannya akan diketahui, sangat sederhana bahkan rendah hati dan pemalu, selalu menganggap orang lebih baik daripada dirinya sendiri… sangat sopan. Telah menulis buku untuk anak-anak […] lebih terbilang rajin daripada pintar. Sangat teliti,” demikian isi laporan tersebut.
Dalam laporan lain Noor juga mendapat pujian. Pada pelatihan senjata misalnya, instruktur berkomentar bahwa dia “kurang percaya diri pada awalnya, tetapi telah berkembang dengan sangat baik dan menunjukkan harapan yang cukup besar. Aktif, penuh semangat dan dapat diandalkan untuk tampil maksimal saat dibutuhkan”
Namun, ada pula yang ragu dengan kemampuan Noor. Di salah satu laporan hasil pelatihannya disebutkan bahwa dia “tidak bisa menahan diri untuk tidak ceroboh meski sudah berusaha sangat keras”. Kebiasaannya ini pula yang di kemudian hari membahayakan tugasnya sebagai spion Inggris di Prancis.
Menurut Binney, keberatan serius terkait kemampuan dan kesiapan Noor kembali muncul dalam laporan tanggal 21 Mei 1943 dari Boarmans, tempat agen perempuan untuk Seksi Prancis dilatih. “Tidak terlalu pintar, tetapi telah bekerja keras dan menunjukkan kegigihan, terlepas dari ketidaksukaannya pada sisi pengamanan dalam pelatihan ini. Dia memiliki kepribadian yang tidak stabil dan temperamental dan sangat diragukan apakah dia akan benar-benar cocok untuk bekerja di lapangan,” tulis laporan tersebut.
Baca juga:
Lyudmila Pavlichenko Sang Bidadari Pencabut Nyawa.
Sebuah memo tertanggal 24 Mei 1943 menambahkan: “Saya menyarankan agar diperhatikan bahwa dia tidak diberi tugas apapun yang dapat menimbulkan konflik mental dengan idealismenya. Hal ini dapat membuatnya tidak stabil dari sudut pandang kami”.
Keraguan terhadap kemampuan Noor masih muncul hingga saat-saat menjelang penyusupan para agen. “Dua perempuan lain di sana merasa terdorong untuk menulis surat kepada Vera Atkins (perwira intelijen Inggris yang bekerja di Bagian Eksekutif Operasi Khusus Prancis, red.), mengatakan bahwa mereka tidak berpikir Noor merupakan sosok yang tepat untuk dikirim ke lapangan,” tulis Binney.
Menurut Peter Jacobs dalam Setting France Ablaze: The SOE in France During WWII, pelatihan Noor berakhir lebih cepat dari jadwal yang ditentukan karena perannya begitu penting dalam upaya penyusupan Inggris ke Prancis untuk melawan Nazi. Pada saat laporan akhirnya ditulis pada 30 Juni 1943, Noor sudah berada di Prancis, tetapi sebagai catatan, laporan tersebut berbunyi:
“Siswa ini ditarik kembali pada bulan itu atas permintaan Country Section-nya. Meskipun dia belum bisa dikatakan sebagai operator yang terlatih sepenuhnya karena waktu pelatihannya yang singkat, dia cukup mampu mengoperasikan perangkatnya dan menyampaikan pesan. Namun, dia harus lebih percaya diri dengan waktu. Selama di sekolah ini, dia menunjukkan tanda-tanda mudah bingung ketika kesulitan muncul, terutama jika kesulitan itu bersifat teknis, dan diragukan apakah dia akan dapat sepenuhnya mengatasi hal ini”.
Baca juga:
Seminggu sebelum terbang ke Prancis, Noor menerima penjelasan singkat mengenai identitas palsu dan rincian misinya. Di lapangan dia memakai nama Madeleine, sementara nama samaran di surat-suratnya adalah Jeanne Marie Renier. Adapun misinya yaitu bekerja sebagai operator nirkabel untuk penyelenggara yang direkrut secara lokal, yang didirikan di wilayah Le Mans.
Penjelasan singkat misinya kemudian mencakup rincian tentang bagaimana dia harus pergi ke lapangan, mendekati penyelenggara sirkuitnya, termasuk alamat tempat dia harus pergi untuk melakukan kontak dengannya, dan kata sandi yang harus dia gunakan dengan balasan yang akan diterimanya, serta metode yang harus dia gunakan untuk memenuhi tugasnya.
Setelah mendapat arahan lengkap, maka dimulailah petualangan Noor alias Madeleine menyusup ke wilayah pendudukan Nazi di Prancis.*