Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Soeharto Bertemu Musso

Diutus Panglima Besar Soedirman untuk menyelidiki situasi Madiun yang tengah memanas, Soeharto justru bertemu dan berdiskusi dengan orang nomor satu PKI.

Oleh: Hendi Johari | 02 Apr 2021
Letnan Kolonel Soeharto melapor kepada Sri Paku Alam VIII saat melakukan kegiatan latihan perang di Yogyakarta pada 1949 (ANRI)

SURAKARTA, September 1948. Di jembatan Jurag, hari itu Kapten Imam Sjafi’i dari Brigade ke-13 Kesatuan Reserve Umum (KRU) Divisi Siliwangi menangkap seorang perwira yang dicurigai bagian dari pasukan komunis. Tadinya, Sjafi’i (kelak menjadi menteri urusan keamanan di era Kabinet 100 Menteri), akan langsung mengeksekusi sang opsir tersebut, namun muncul ide untuk meminta izin terlebih dahulu kepada wakil komandan-nya, Mayor Omon Abdurrachman.

Peristiwa itu sempat terekam dalam sebuah dokumen pribadi milik almarhum Kolonel (Purn.) Omon Abdurrachman berjudul Menoempas Pemberontakan PKI 1948.  Dikisahkannya, pada suatu senja, di tengah ketegangan antara Divisi Siliwangi yang pro pemerintahan Mohammad Hatta dengan Komando Pertempuran Panembahan Senopati yang sebagian anggotanya bersimpati kepada kaum komunis, salah seorang anak buahnya yakni Kapten Imam Sjafi’i melapor bahwa pasukannya telah meringkus seorang “letnan kolonel PKI” di dalam kota Surakarta.

“Pak, saya menangkap overste PKI, apa saya bereskan saja?” ujar Sjafi'i.

Advertising
Advertising

Omon yang harus berhati-hati dalam melakukan tindakan, tidak serta merta setuju dengan usulan Sjafi’i. Dengan tegas, dia melarang tindakan gegabah itu. Diperintahkannya sang kapten untuk membawa “perwira PKI” ke hadapannya.

Baca juga: Jagoan PKI Anti Peluru

Betapa terkejutnya Omon, begitu melihat yang dibawa Sjafi’i adalah Letnan Kolonel Soeharto, yang dalam dokumen itu dia sebut sebagai Komandan Resimen Yogyakarta. Selanjutnya secara sopan dan penuh hormat, Omon menginterogasi Soeharto dan menanyakan maksud kehadirannya di Surakarta.

Dalam keterangannya, Soeharto menyatakan bahwa dirinya baru menghadiri undangan rapat konferensi para pimpinan TNI yang diselenggarakan oleh Kolonel Djokosujono, salah satu tokoh FDR (Front Demokratik Rakjat, organ taktis orang-orang kiri), di Balai Kota Madiun.

“Apakah overste juga merupakan anggota FDR?” selidik Omon.

“Bukan. Saya komandan resimen TNI di Yogya. Tapi saya datang karena memang diundang oleh mereka,” jawab Soeharto.

“Komandan kami (Letnan Kolonel Sadikin), juga diundang mereka. Tapi beliau tidak pergi karena sama sekali bukan simpatisan (komunis),” cecar Omon.

“Saya pergi atas perintah Panglima Besar, Pak Dirman,” kata Soeharto.

“Adakah surat perintahnya?”

“Ada.”

“Bolehkah saya melihatnya?”

“Boleh,” ujar Soeharto, seraya memberikan sepucuk surat kepada Omon.

Begitu melihat isi surat keterangan yang langsung ditandatangani oleh Panglima Besar Soedirman, Omon baru yakin bahwa Soeharto bukan bagian dari FDR. Setelah minta maaf, dia lantas memerintahkan Sjafi’i untuk mengantar Soeharto ke perbatasan Surakarta-Yogyakarta hingga selamat.

Soal penangkapan itu disebut juga oleh Soeharto dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Namun, peristiwa penangkapan itu, menurut versi mantan presiden RI itu sangat berbeda dengan apa yang dikisahkan Omon.

Baca juga: Pertempuran Usai Lebaran

 

Diceritakan oleh Soeharto bahwa kedatangannya ke Madiun adalah atas perintah Panglima Besar Soedirman. Tujuannya, selain menyelidiki situasi Madiun, juga mengemban misi mencegah “perwira kesayangan Soedirman” (Letnan Kolonel Soeadi Soeromihardjo) bergabung dengan FDR. Sesampai di Surakarta, Soeharto tak bisa bertemu dengan Soeadi.

Soeharto baru bisa bertemu dengan Komandan Brigade ke-5 Komando Pertempuran Panembahan Senopati itu di Wonogiri. Lalu disampaikanlah pesan Soedirman itu kepada Soeadi. Dalam otobiografinya Soeharto, tak jelas benar bagaimana respons Suadi atas pesan Panglima Besar itu. Alih-alih mengiyakan atau menolak, Soeadi malah mengajak Soeharto pergi ke Madiun untuk bisa melihat sendiri situasi di sana.

Sesampai di Madiun, mereka berdua langsung menuju gedung keresidenan. Mereka bertemu dengan Soemarsono (gubernur militer Madiun versi FDR) dan Musso (tokoh utama PKI). Tadinya Soeadi akan mempertemukan langsung Soeharto dengan Amir Sjarifuddin yang menurut Soeharto sudah dia kenal baik.

“Tetapi Sjarifoeddin masih tidur waktu itu. Jadi saya tidak bisa bertemu dengan dia,” ungkap Soeharto.

Namun Soeharto sempat bertemu dan berbincang-bincang dengan Musso. Kepada Musso secara langsung dia mengaku sempat menyayangkan terjadinya permusuhan antara pihak Musso-Amir Sjarifuddin dengan Sukarno-Hatta, justru ketika Republik Indonesia tengah melawan Belanda.

Musso menyatakan bahwa dia sepakat dengan kata-kata Soeharto. Namun dia menyatakan bahwa dirinya tidak ingin berkompromi saat melawan Belanda. Inilah yang menurut Musso, menjadikan Sukarno-Hatta tidak menyenanginya dan bermaksud ingin menghancurkannya.

“Bung Harto, kalau saya akan dihancurkan, saya akan melawan…” ujar Musso.

Sepulang dari Madiun itulah, Soeharto ditahan oleh pasukan Divisi Siliwangi. Penahanan itu menurut Soeharto sendiri hanyalah kesalahpahaman: dirinya dikira sebagai Mayor Soeharto, seorang komandan batalyon Panembahan Senopati yang pro FDR.

Setelah senjatanya dilucuti, Soeharto kemudian dibawa ke markas Brigadeke-13 Divisi Siliwangi di gedung walikota Surakarta. Di sana dia diinterogasi. Namun menurut versi Soeharto, dalam situasi kritis itu tetiba muncul komandan Brigade ke-13 Divisi Siliwangi, Letnan Kolonel Sadikin yang tentu saja mengenal-nya.

Baca juga: Sadikin, Proklamator Tentara Nasional Indonesia

“Lho, mengapa kamu di sini?” tanya Sadikin.

“Saya sendiri tidak tahu, mengapa saya ditahan di sini…” jawab Soeharto.

Setelah menyampaikan tujuannya berada di Madiun dan Surakarta, Sadikin menjadi mafhum. Dia kemudian memerintahkan anak buahnya untuk membebaskan Soeharto.

“Dia teman kita. Letnan Kolonel Soeharto dari Yogya…” ungkap Sadikin.

Baca juga: Jalan Baru Musso dalam Peristiwa Madiun

Soeharto pada akhirnya selamat sampai kembali ke Yogyakarta. Dia lantas melaporkan semua hasil peyelidikannya kepada Soedirman. Beberapa hari kemudian, pasukan pemerintah bergerak untuk menumpas FDR. Padahal menurut Soemarsono, dia sudah mengajak Soeharto untuk berkeliling Madiun demi melihat situasi sebenarnya.

Yang menarik, sebelum pulang ke Yogyakarta, Soeharto dititipi surat oleh Amir Sjarifuddin untuk diberikan kepada Presiden Sukarno. Isi surat itu adalah permintaan agar Sukarno turun tangan menengahi soal Insiden Madiun tersebut. Demikian menurut Soemarsono kepada Harry A. Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak.

Apakah surat itu sampai ke tangan yang bersangkutan? Hingga kini hal itu belum jelas benar. Namun secara tersamar, Soeharto sendiri telah membantah anggapan Soemarsono itu dengan mengatakan bahwa dirinya tak sempat bertemu dengan Amir saat berkunjung ke Madiun.

TAG

insiden madiun soeharto musso

ARTIKEL TERKAIT

Ketika Kapolri Hoegeng Iman Santoso Kena Peremajaan Insiden Mobil Kepresidenan Soeharto Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto TAP MPR Dicabut, Sejarah Makin Berkabut Pencabutan TAP MPR Membuka Lagi Wacana Gelar Pahlawan Soeharto, Begini Kata Sejarawan Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Eks KNIL Tajir Soeharto Berkuasa seperti Raja Jawa Ali Moertopo “Penjilat” Soeharto