PADA 19 September 1948, PKI dan aliansinya yang menamakan diri Front Demokratik Rakyat (FDR) melakukan gerakan bersenjata di Madiun. Menurut Soe Hok Gie, perebutan kota tersebut berlangsung sejak jam 02.00.
“Pagi-pagi pada 19 September, pemerintah RI ditumbangkan…” ungkap sejarawan muda asal UI itu dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan.
Sehari kemudian Kolonel Djoko Soedjono, salah satu tokoh FDR, menegaskan bahwa tindakan-tindakan di Madiun bukanlah suatu pemberontakan. Dia menyebut istilah gerakan itu sebagai bentuk koreksi dari para pemuda revolusiener. Namun pemerintah RI di bawah Sukarno-Hatta terlanjur menganggapnya sebagai suatu upaya kudeta.
Karena dianggap makar, maka pemerintah RI mengerahkan kekuatan militernya guna menumpas gerakan tersebut. Salah satu pasukan yang ditugaskan untuk menghancurkan kekuatan FDR adalah Divisi Siliwangi yang saat itu tengah berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Baca juga: Hijrah Sang Maung
Sejak awal Oktober 1948, unit-unit Siliwangi sudah bergerak memburu Tentara Merah (istilah untuk kekuatan militer di bawah FDR) ke Madiun. Tanpa perlawanan yang berarti pada 30 September 1948, Madiun bisa dikuasai lagi oleh pasukan pemerintah.
“Mayor Sambas Atmadinata dengan Batalyon Kian Santang-nya dan Peleton I MA (Akademi Militer) memasuki kota Madiun…”tulis Himawan Soetanto dalam Perintah Presiden Sukarno: “Rebut Kembali Madiun…”
Gerakan pasukan pemerintah usai menguasai Madiun dilanjutkan dengan operasi perburuan orang-orang FDR ke wilayah-wilayah sekitar Madiun. Laiknya di Madiun, kekuatan FDR di kota-kota lain pun seolah tak bertaji dan selalu berhasil dipukul mundur oleh pasukan Siliwangi.
Saat pembebasan suatu kawasan dari tangan FDR, unit-unit Siliwangi dan pasukan pemerintah lainnya melakukan penangkapan terhadap sejumlah tokoh PKI. Mereka terdiri dari prajurit, perangkat desa, lurah dan camat yang diangkat oleh FDR begitu Insiden Madiun meletus.
Pada 18 Oktober 1948, giliran Blora jatuh ke tangan pasukan pemerintah yang diwakili oleh Batalyon Kala Hitam dari Divisi Siliwangi. Seperti biasanya, saat pembebasan sebuah kawasan, terdapat sejumlah musuh yang menjadi tawanan. Menurut Mayjen TNI (Purn.) Rachwono (saat itu masih seorang kadet di MA), salah seorang tawanan terlihat bersikap menantang dan seolah tak mau menyerah.
Baca juga: Bercanda Gaya Akademi Militer
Seorang prajurit Kala Hitam kemudian membawa tawanan itu ke tengah alun-alun Blora yang sudah dipenuhi kerumunan rakyat. Dengan menggunakan sepucuk pistol, dia kemudian menembak jagoan PKI itu dari jarak sekitar 30 meter. Dor! Peluru mengenai kening. Namun dia sama sekali bergeming. Hanya asap tipis yang nampak terlihat di sekitar kepalanya.
Melihat pemandangan tersebut, seorang sersan berlari ke arah tawanan itu, menuntunnya ke tempat lain lalu dia mundur. Begitu berjarak sekitar 8 meter dari sang tawanan, dia berhenti seraya mengeluarkan pistol mitrailleur Scmeiser kaliber 9 mm dari sarungnya. Pistol dikokang lalu ditarik pelatuknya. Klik. Hanya itu yang terdengar. Dipicu lagi. Klik. Hingga tiga kali ditembakan, pistol itu sama sekali tak berfungsi. Semua yang hadir menjadi bingung termasuk Mayor Kemal Idris, komandan Yon Kala Hitam.
Di tengah kebingungan itu, seorang komandan peleton menghampiri Mayor Kemal.
“Ada apa, Mayor?” tanyanya.
“Itu tawanan mita mati,” jawab Kemal.
Tanpa banyak cakap lagi, sang Danton mencabut pistol Parabellum kaliber 9 mm dari sarungnya. Dia melambaikan tangannya kepada tawanan itu supaya mendekat. Seperti kerbau dicocok hidungnya, sang tawanan berjalan pelan menghampiri. Begitu dekat, sang Danton lalu menempelkan pistolnya ke kening jagoan PKI itu. Thek! Thek! Dua kali dipicu kembali pistol tidak berbunyi.
“Punya ilmu ya?” tanya sang Danton.
“Ndak…” jawab tawanan.
Pistol dikokang lagi. Laras ditempelkan kembali ke kening tawanan. Dor! Kali ini dia terjengkang dan langsung roboh tak berkutik lagi.
“Rupanya, jawaban “ndak” dari sang jagoan merupakan kunci pelepasan ilmu kebalnya sehingga dia mati sesuai permintaannya…” ungkap Rachwono dalam sebuah dokumen pribadinya.
Mayor Kemal Idris termasuk orang yang kerap melihat kejadian aneh seperti di alun-alun Blora. Saat membebaskan Pati (pada Oktober 1948 juga), dia pun terlibat dalam kejadian serupa. Bahkan menurut Kemal, kejadian itu bukan saja disaksikan masyarakat banyak dan puluhan anak buahnya namun juga melibatkan mata perwira Australia Kolonel Stewart, seorang peninjau dari Komisi Tiga Negara (KTN). Itu nama sebuah lembaga yang dibuat PBB untuk mengawasi gencatan senjata antara Belanda-Indonesia pasca Perjanjian Renville.
Baca juga: Berjudi di Atas Renville
“Dia pun sampai heran dan bingung melihat kejadian itu,” ujar Kemal Idris dalam biografinya, Bertarung dalam Revolusi yang disusun oleh Rosihan Anwar, Ramadhan K.H. , Ray Rizal dan Dien Madjid.
Ceritanya, seorang benggol (jagoan) PKI berhasil ditangkap. Setelah melalui pengadilan kilat, diputuskan dia mendapat hukuman mati. Maka eksekusi pun dilangsung di alun-alun Pati dengan disaksikan banyak orang. Namun berkali-kali ditembak dengan menggunakan berbagai jenis senjata (termasuk senapan otomatis), si benggol tetap segar bugar.
Giliran Letnah Ahmad yang kemudian mencoba untuk mengeksekusi tawanan kebal peluru itu. Saat berhadapan dengan sang benggol, terjadilah dialog.
“Kemana kawan-kawan kamu?” tanya Letnan Ahmad. Si benggol diam seribu bahasa.
“Kalau kamu diam saja, kamu saya tembak!” hardik Letnan Ahmad.
“Tembak saja,” ujar tawanan dalam nada tenang.
Letnan Ahmad mengeluarkan sebutir peluru dari magasin pistolnya. Setelah menggesek-gesekannya ke tanah, peluru itu dimasukan kembali ke magasin.
“Kamu mau mati ya?”
“Ya.”
Sang letnan kemudian mengarahkan pistol ke dada sang benggol. Dor! Suara pistol memecah ketegangan. Tawanan terhukum mati pun terpental. Dia langsung tewas seketika.
Baca juga: Peristiwa Madiun untuk Mewujudkan Republik Soviet di Indonesia
Di Punung, Pacitan, para kadet MA mengalami kejadian serupa. Seperti dikisahkan oleh Daud Sinjal dalam Laporan Kepada Bangsa Militer Akademi Yogya, tersebutlah seorang lurah pro PKI yang diputuskan pengadilan kilat harus dihukum mati. Lurah yang dikenal sebagai seorang warok (jawara) itu lantas menghadapi regu tembak dengan sikap jumawa. Benar saja ketika ditembak, sang lurah sama sekali tidak mati. Alih-alih mati, darah yang keluar dari batok kepalanya malah dihirup kembali dengan tenangnya.
Untunglah dalam situasi kritis itu, seorang tua menghampiri kadet Suhardiman. Dia kemudian berbisik,” Den Hardiman, dia punya aji-aji hitam di kolornya.” Jimat itu kemudian diambil. Hukuman tembak dilanjutkan. Barulah pada tembakan ke-4, sang warok itu tewas bersimbah darah.