Pada 13 November 1945, melalui sebuah siaran di radio San Francisco, seluruh dunia mengetahui kondisi politik di Indonesia yang baru tiga bulan merdeka. Dalam keterangannya, kabinet Republik Indonesia disebut telah mengubah bentuk pemerintahannya dari presidensial menjadi parlementer, dengan penunjukkan Sutan Sjahrir sebagai perdana menteri.
Besoknya, Sjahrir secara resmi mengumumkan susunan kabinetnya. Terdapat 14 jabatan menteri yang diisi oleh 11 nama. Sjahrir dan Amir Sjarifuddin menduduki jabatan ganda. Di samping perdana Menteri, Sjahrir menempati posisi menteri luar negeri dan menteri dalam negeri. Sementara Amir mengisi jabatan menteri keamanan rakyat dan menteri penerangan.
Pada hari yang sama, Sjahrir pergi menemui Ahmad Subardjo di kediamannya. Kedua tokoh pergerakan itu terlibat perbincangan panjang perihal kondisi pemerintahan dan tekanan-tekanan dari pihak Belanda kepada Republik. Sjahrir, sebagaimana diceritakan Subardjo dalam otobiografinya Kesadaran Nasional: Sebuah Otobiografi, mengatakan bahwa sudah saatnya pihak Indonesia menggunakan jalan diplomasi dalam menghadapi Belanda daripada kekerasan yang terus dilakukan oleh rakyat di berbagai daerah.
Baca juga: Di Balik Jatuhnya Kabinet Sjahrir
“Belanda lebih kuat dalam persenjataannya, sedangkan rakyat Indonesia hanya memiliki persenjataan yang sangat sederhana. Jika pihak kita melawan Belanda dengan kekerasan, maka sudah barang tentu rakyat akan menjadi korban keganasan Belanda,” ujar Sjahrir.
Sjahrir sendiri, seperti disebutkan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, memiliki jalan pikiran yang sangat Eropa. Revolusi yang dia percaya berasal dari revolusi sosialis internasional yang bersifat demokratis, antibangsawan, dan antifasis. Kondisi tersebut membuat Sjahrir sulit untuk memahami tindakan-tindakan yang dilakukan rakyat semasa perjuangan.
Rakyat di banyak tempat di Indonesia lebih memilih menggunakan perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan. Hal itu sesuai dengan keyakinan dan tradisi yang selama ini mereka pertahankan. Sementara Sjahrir berpikir itu bukan lagi tindakan yang tepat untuk sebuah perjuangan. Dia percaya bahwa diplomasi harus menjadi senjata baru yang dipersiapkan bangsa Indonesia.
Baca juga: Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Buku
“Hal itu mengungkapkan dasar dari sikap saling tidak percaya antara dirinya dengan kekuatan-kekuatan militer Republik, yang kebanyakan mempunyai akar-akarnya pada pendudukan Jepang,” tulis Ricklefs.
Lebih lanjut, Sjahrir mengatakan kepada Subardjo bahwa kemunculannya di pemerintahan adalah untuk menjalankan diplomasi yang dimaksud tersebut. Sejak berdirinya Republik, dengan Sukarno sebagai presiden, tidak pernah sekalipun pihak Belanda mengakuinya. Pemerintahan Sukarno kerap dianggap sebagai bikinan Jepang.
Namun hal itu tidak akan lagi menjadi persoalan. Sjahrir percaya di bawah pimpinannya, pemerintahan baru akan mendapat perhatian dan simpati Belanda, juga Inggris. Dengan mengadopsi bentuk parlementer, sebagaimana telah diterapkan pula oleh Inggris dan Belanda kala itu, Sjahrir meyakinkan Subardjo bahwa aspirasi demokratis dari rakyat Indonesia pasti didengar.
“Sebaiknya saudara Subardjo tetap duduk dalam kabinet baru dan menjabat sebagai Wakil Menteri Luar Negeri. Bagaimana?” tanya Sjahrir.
“Terima kasih atas kepercayaan yang saudara berikan kepada saya. Namun, saya sangat menyesal tak dapat menerima tawaran saudara itu, karena sebagai Wakil Menteri Luar Negeri, saya tentu turut bertanggung jawab atas politik yang saudara lakukan. Dan ini tidaklah dapat saya pertanggungjawabkan,” tegas Subardjo.
Soebardjo juga menyatakan bahwa pandangan Sjahrir sebagai seorang sosialis internasional tak dapat dia kuti, karena dirinya sebagai seorang nasionalis berpedoman pada ideologi Perhimpunan Indonesia, yakni percaya pada diri sendiri sebagai bangsa, tidak minta bantuan dari pihak mana pun dalam menentukan nasib sendiri.
Baca juga: Tugas Berat Ahmad Subardjo
Sejak awal Subardjo memang memiliki pandangan politik yang berbeda dengan Sjahrir. Menurutnya, Sjahrir terlalu banyak dipengaruhi alam pikiran sosialis yang menghendaki agar suatu negara kapitalis diubah menjadi negara sosialis dengan jalan demokrasi liberal (parlementer). Alam pikir itu, seperti dituliskan Rosihan Anwar dalam Sutan Sjahrir: True Democrat, Fighter for Humanity, sudah terbentuk sejak Sjahrir muda, yakni ketika menjadi mahasiswa di negeri Belanda. Sehingga Subardjo pun ragu itu bisa berubah.
“Tetapi apabila saudara membutuhkan bantuan saya, saya sanggup mendampingi saudara sebagai penasihat. Saudara dapat menerima nasihat saya ataupun tidak, terserah kepada saudara,” kata Subardjo.
“Kalau pendirian saudara Subardjo demikian, baiklah bantu saya sebagai penasihat pribadi,” ujar Sjahrir.
Meski telah berkata demikian, Subardjo tidak pernah sekalipun diundang untuk menghadiri sidang kabinet. Dia juga tidak pernah dimintai nasihat dalam urusan luar negeri. Setelah pertemuan di kediaman Subardjo itu praktis komunikasi di antara keduanya telah terputus. Secara de facto, imbuh Subardjo, dia telah benar-benar berhenti dalam aktivitas pemerintahan yang kala itu sibuk menghadapi wakil-wakil pemerintah Belanda.
Baca juga: Ketika Ahmad Subardjo Hampir Dibunuh
Akan tetapi, keterikatan antara Subardjo dan Sjahrir tidak benar-benar berakhir. Pada permulaan 1946, Subardjo sempat nyaris menjadi korban pembunuhan yang dilakukan oleh anggota Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), organisasi yang didirikan oleh Sjahrir untuk mendukung politiknya. Beruntung berkat orang-orang kepercayaannya, Menteri Luar Negeri pertama itu berhasil lolos dari maut.
“Berkat perlindungan Tuhan Yang Maha Esa, saya terhindar dari pembunuhan oleh lawan politik saya. Di samping lawan saya di lain pihak saya rupanya mempunyai banyak kawan yang sepaham dengan pendirian saya untuk mempertahankan Indonesia merdeka seratus persen,” kata Subardjo.