Gubernur Sumatra Utara Edy Rahmayadi membuat pengakuan mengejutkan baru-baru ini. Dikatakannya, ketika menjabat komandan Kodim Batam pada 2002, Edy pernah mencoba kokain. Ia merasa nikmat waktu mencicipi barang haram tersebut.
“Awalnya memang sakit semua. Lima menit kemudian, seperti kita ada di surga, jadi perasaan sudah tahu surga,” ujar Edy dikutip dari detik.com. “Artinya semua nyaman. Tidak ada problem, stamina oke, kayak kita yang paling hebat di dunia ini. Tapi, ya sebatas ingin tahu itu."
Menurut Edy, kalau sudah tiga kali mencoba bakal ketagihan dan sukar untuk lepas dari jerat narkotika. Edy sendiri hanya mengonsumsi kokain seberat 1 gram pada pengalaman perdanananya itu. Edy mengakui lagi kalau dirinya merupakan tipe orang yang kalau dilarang, malah makin ingin mencoba. Pernyataan itu disampaikannya saat menghadiri penghargaan rekor MURI Pemeriksaan Tes Urin Pertamina Sumbagut di Medan (6/10).
“Untuk itu, jangan coba-coba lagi karena itu sangat nikmat, apalagi kalau yang punya hutang, lupa sama hutangnya,” pungkas purwirawan jenderal bintang tiga itu.
Baca juga: S.M. Amin, Gubernur Pertama Sumatra Utara
Edy barangkali hendak menyampaikan pesan betapa berbahayanya ketergantungan narkotika dengan gaya guyon. Namun, apakah pengalaman coba-cobanya itu patut menjadi contoh, entahlah. Biar publik menilai sendiri.
Pada awal 1970-an, Kapolri Jenderal Hoegeng sampai turun tangan dalam memberantas penyalahgunaan narkotika. Kepolisian saat itu menghadapi tingginya angka korban pemakaian obat bius di kalangan remaja. Ganja atau mariyuana adalah jenis zat adiktif yang paling digandrungi anak muda berbagai kelas sosial, mulai dari level elite yang tongkrongannya diskotik hingga kaum jelata pinggir jalan.
“Ancaman narkotika bagi anak-anak muda Indonesia sebenarnya bersumber dari situasi global dunia remaja di satu pihak, dan kenyataan-kenyataan lokal di Indonesia di lain pihak,” kata Hoegeng dalam otobiografinya yang disusun Abrar Yusra dan Ramadhan K.H, Polisi Idaman: dan Kenyataan.
Baca juga: Awal Invasi Narkotika ke Indonesia
Menurut Hoegeng, suasana kehidupan anak-anak muda Indonesia di kota-kota besar berkiblat pada kebiasaan kaum hippies dan gaya hidup bebas para penyanyi pop idola kaum remaja. Pengaruh ini bertaut dengan masalah domestik seperti perceraian orang tua, kekerasan dan sebagainya. Banyak anak orang kaya korban perceraian mencari pelariaan dari kepahitan hidup dengan jalan menjadi pecandu ganja, heroin, dan narkotika.
Di Indonesia, ungkap Hoegeng, beberapa daerah diketahui sebagai kawasan merah penghasil ganja. Di Sumatra Utara, misalnya, di Aceh atau Pematang Siantar, kepolisian pernah melakukan pemusnahan tanaman ganja dan penyitaan berton-ton ganja lalu memperkarakan pelakunya. Di Kota Purwekerto, juga pernah ditemukan kebun ganja.
Hoegeng sendiri pernah terlibat dalam operasi yang terbilang berani. Seperti diakuinya dalam Memoar Senarai Kiprah Sejarah Jilid 3, Hoegeng melakukan aksi penyamaran jadi pecandu narkotika. Sejak zaman revolusi, Hoegeng memang gemar menyamar untuk mengetahui persoalan di lapangan.
“Pernahkah anda memakai wig gondrong, baju berbunga, syal di leher, merokok Ji Sam Soe, dan pura-pura teler,” kata Hoegeng menggambarkan penyamarannya.
Baca juga: Aksi Penyamaran Hoegeng
Itulah pekerjaan gila yang pernah dilakukan Hoegeng ketika menjabat kapolri (1968—1971). Ia menyamar jadi pemuda hippies dan bergaul di antara sesama pecandu narkotik. Hoegeng bahkan berlagak seperti orang teler mabuk ganja. Kadang-kadang, Hoegeng berperan jadi orang gila sambil berjalan ke mana-mana selama berhari-hari.
Dengan gaya dan tampilan senyentrik itu, Hoegeng mendatangi tempat perkumpulan anak-anak muda di Jakarta. Tiada seorang pun yang mengenali Hoegeng, orang nomor satu di jajaran kepolisian. Ia lakoni itu demi membongkar sindikat pengedar narkotika.
“Yang menggelikan, selama penyamaran itu, saya tetap tak berani mencoba mariyuana. Saya selalu merokok dan bertanya macam-macam kepada anak-anak muda itu,” kenang Hoegeng.
Baca juga: Kisah Hoegeng dan Anak Menteri
Selain menyamar, Hoegeng juga menjalin kerja sama internasional antar-negara. Pada September 1970, Hoegeng mengikuti konferensi Interpol yang membahas ancaman narkotika di Brussel, Belgia. Turut serta bersama Hoegeng, Katik Soeroso (Deputi Kapolri Urusan Operasi) dan MA Loebis (Direktur Lembaga Laboratorium Polri).
Selain jenis-jenis narkotika termutakhir, perhelatan itu membahas langkah-langkah mengatasi bahaya dan peredaran narkotika di dunia. Hoegeng mendapat informasi baru dan lengkap mengenai jaringan perdagangan narkotika. Secara geografis, diketahui bahwa Indonesia berada dalam segitiga emas jaringan distribusi narkotika bersama Indocina.
“Ancaman narkotika yang sudah bersifat mondial nampaknya hanya mungkin ditanggulangi dengan kerjama internasional, termasuk Interpol,” demikian Hoegeng menjelaskan.
Namun, sepulangnya ke Indonesia, Hoegeng dihadapkan dengan masalah baru: insiden penembakan Rene Louis Conrad, mahasiswa teknik elektro ITB. Peristiwa yang bermula dari pertandingan sepak bola ini mencoreng institusi kepolisian di masa kepemimpinan Hoegeng.
Baca juga: Dari Lapangan Berujung Penembakan