Mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, terdakwa pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, selalu membawa buku bersampul hitam termasuk saat menjalani persidangan. Buku Hitam itu berisi catatan pribadi Sambo sejak Kombes sampai menjalani kasus hukum.
Kuasa Hukum Sambo, Rasamala Aritonang mengaku tidak mengetahui secara spesifik isi Buku Hitam milik kliennya itu. Namun, dikutip dari cnnindonesia.com, Rasamala menyatakan jika ada informasi penting dalam Buku Hitam itu dan berguna untuk memperbaiki situasi dan keadaan dalam Polri, maka hal itu bisa saja disampaikan Sambo.
Dalam sejarah kepolisian, dua Kapolri pernah menyebut Buku Hitam. Pertama, Jenderal Pol. Awaloedin Djamin (1927–2019), Kapolri kedelapan (1978–1982), menyebut “Buku Hitam” untuk buku saku yang berisi pengetahuan dasar kepolisian sehingga mudah dibawa kemana saja oleh anggota polisi.
“Buku saku tersebut kelak lebih dikenal dengan sebutan Buku Hitam karena memang sampul buku saku tersebut berwarna hitam, atau Buku Pintar karena buku tersebut dimaksudkan agara para prajurit Polri menjadi mengerti akan tugas-tugas dan pekerjaannya,” kata Awaloedin dalam biografinya, Pengalaman Seorang Perwira Polri.
Baca juga: Awaloedin Djamin: Soekanto Bapak Polisi Kita
Awaloedin menyusun Buku Hitam sebagai pegangan para tamtama Polri yang hanya mengenyam pendidikan selama empat bulan. Dia juga memutuskan pendidikan tamtama Polri menjadi minimal enam bulan.
Buku Hitam itu memuat secara rinci dasar-dasar pelaksanaan tugas bagi anggota Polri sampai cara menerima telepon yang benar, cara menerima orang yang melapor sehingga polisi tampak simpatik, cara melakukan Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (PPPK) yang kemudian dikenal dengan Pertolongan Pertama terhadap Gawat Darurat (PPGD), dan cara mengamankan atau memeriksa Tempat Kejadian Perkara (TKP).
Sebelum dicetak hampir seratus ribu eksemplar, Buku Hitam diujicobakan terlebih dahulu kepada beberapa tamtama Polri yang berlatar belakang berbeda. “Dapatkah mereka memahami isinya? Ternyata buku tersebut cukup komunikatif,” kata Awaloedin.
Buku Hitam tak hanya dibagikan, tapi juga dilombakan. Setiap Komdak (Komando Daerah Kepolisian, kini Polda) mengadakan lomba antar tamtama dalam rangka penguasaan isi buku tersebut. Bahkan, lomba itu pernah diadakan tingkat nasional. Juaranya mendapat hadiah mengikuti pendidikan setingkat lebih tinggi atau mengembangkan karier mereka.
Buku Hitam kedua disebut Jenderal Pol. Hoegeng Iman Santoso (1921–2004), Kapolri kelima (1968–1971). Buku Hitam ini bukan buku saku, tapi buku berisi daftar penjahat yang menjadi buruan polisi.
Baca juga: Hoegeng Pernah Keluar dari Kepolisian
Dalam otobiografinya, Polisi: Idaman dan Kenyataan, Hoegeng menceritakan suatu kasus yang terdapat dalam Buku Hitam. Pada suatu hari, seorang perempuan Tionghoa menelepon ke rumah Hoegang. Dia meminta waktu menghadap untuk melaporkan kasusnya. Hoegeng kemudian menerima perempuan itu di kantor Mabak (Markas Besar Kepolisian).
Perempuan itu membuka pembicaraan dengan mengejutkan. “Saya cuma ingin bertanya, Mas Hoegeng, bagaimana mobil barunya?” kata perempuan itu. "Katanya, Mas Hoegeng punya sedan Mercedes baru.”
“Jangan macam-macam, saya tak punya Mercedes. Bahkan tak punya sedan pribadi. Tak mampu beli,” kata Hoegeng.
“Saya sudah menduga begitu, Mas, tapi karena itulah saya memberanikan diri menghadap,” kata perempuan itu.
Perempuan itu menceritakan perkara yang dihadapinya. Dia mempunyai piutang dari seorang lelaki Tionghoa. Berkali-kali ditagih tapi lelaki itu tidak mau membayar. Akhirnya, perempuan itu mengancam akan melaporkannya ke polisi. Lelaki itu tidak takut, sehingga perempuan itu akan melaporkannya langsung kepada Hoegeng. Lelaki itu menggertak, “Mana bisa, beberapa minggu yang lalu ia baru saja saya beri Mercedes.”
Baca juga: Hoegeng dan Kapolri yang Mengundurkan Diri
Sungguh cerita yang tak enak buat Hoegeng karena menyangkut nama baiknya. Hoegeng lupa nama lelaki yang dilaporkan perempuan itu. Namun, Hoegeng mengenalnya karena dia tersangkut beberapa perkara dan sedang diburu kepolisian.
Hoegeng mengungkapkan kepada perempuan itu bahwa kepolisian memiliki Buku Hitam, yaitu buku yang berisi daftar nama orang-orang yang harus ditangkap sebagai tersangka untuk diproses lalu diajukan ke pengadilan. Buku itu memuat data identitas pribadi dan kejahatannya termasuk foto yang bersangkutan.
“Saya meminta Mas Katik Soeroso datang sambil membawa Buku Hitam,” kata Hoegeng. Katik Soeroso adalah Deputi Kapolri Urusan Operasi.
Hoegeng meneliti daftar nama dan foto dalam Buku Hitam. Nama lelaki yang dilaporkan perempuan itu ada dalam Buku Hitam.
“Kami sudah memerintahkan pihak kepolisian untuk melacak dan menangkapnya. Tersangka penipu kelas kakap. Banyak pengaduan tentangnya dari Padang, Medan, Kutaraja (Banda Aceh), dan Jakarta,” kata Hoegeng. Laporan perempuan itu menambah kasus baru pada data penipu itu.
Baca juga: Hoegeng dan Beking Judi
Perempuan itu meminta kepada Hoegeng agar penipu itu segera ditangkap. Dia memberi tahu bahwa penipu itu akan pergi ke Singapura pada pukul enam sore. Hoegeng langsung menghubungi pihak imigrasi dan meminta agar penipu itu ditahan di Bandara Kemayoran.
Pukul empat sore, Hoegeng pulang ke rumah. Belum lama di rumah, dia menerima telepon dari pihak imigrasi di Bandara Kemayoran yang mengabarkan telah menahan penipu itu. Hoegeng menghubungi Katik Soeroso untuk sama-sama kembali ke kantor Mabak.
Polisi yang dikirim ke Bandara Kemayoran berhasil meringkus penipu itu dan membawanya ke kantor Mabak. Penipu yang mengaku telah memberi mobil Mercedes kepada Hoegeng itu diproses sampai pengadilan.
“Nama saya sebagai pejabat rupanya sudah cukup komersil kalau disalahgunakan orang lain. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala,” kata Hoegeng.*