Ismail Ahmad, pemuda asal Maluku Utara, diperiksa polisi karena mengunggah humor Gus Dur di akun media sosialnya. Humor Gus Dur itu telah dikenal luas, tentang tiga polisi jujur, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng. Polres Kepulauan Sula menganggap humor itu mencemarkan nama baik institusi Polri.
Gus Dur mungkin tak akan membuat humor itu bila Hoegeng Imam Santoso tak kembali ke Kepolisian. Di awal kariernya, dia pernah keluar dari Kepolisian.
Pada suatu hari di masa revolusi, Hoegeng tengah berada di rumah orang tuanya di Pekalongan. Orang tuanya kedatangan tamu, Kolonel Laut M. Nazir, yang kemudian menjadi Panglima/Kepala Staf Angkatan Laut kedua.
Ditanya pekerjaan oleh Nazir, Hoegeng menjawab bertugas di jawatan kepolisian di Semarang tapi sedang cuti karena sakit. Dia mengalami kecelakaan motor saat bertugas ke daerah Candi, Semarang.
Baca juga: Dari Bugel Menjadi Hoegeng
Nazir menganggap kerja di kepolisian kurang tantangan. Sebagai anak muda terpelajar, Hoegeng mestinya mengerjakan tugas-tugas yang bersifat kepeloporan di awal Indonesia merdeka.
“Saya ini mau jadi apa coba, pendidikan saya kan memang untuk jadi polisi,” kata Hoegeng dalam otobiografinya, Polisi Idaman dan Kenyataan.
Nazir menawarkan posisi di Angkatan Laut yang masih kosong dan cocok untuk Hoegeng.
“Kalau Bung mau, gampang itu, keluar saja dari Kepolisian dan masuk Angkatan Laut,” kata Nazir.
Nazir mengatakan bahwa Angkatan Laut membutuhkan orang yang memiliki latar belakang pendidikan akademi kepolisian. Tugasnya berat tapi dia percaya Hoegeng mampu.
Hoegeng kemudian pergi ke Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota Republik Indonesia. Dia meninggalkan Kepolisian lalu melapor kepada Nazir untuk bergabung dengan Angkatan Laut.
Menurut Hoegeng, saat itu seorang pemuda pindah-pindah kesatuan adalah hal biasa, apalagi kalau mempunyai senjata –lebih-lebih senjata itu diperoleh sendiri, misalnya merampas dari serdadu musuh atau gudang senjata Jepang.
“[Memiliki senjata] ukuran pokok waktu itu jadi pejuang atau tidak, sedangkan urusan masuk kesatuan atau barisan mana adalah soal belakangan,” kata Hoegeng.
Baca juga: Cinta Hoegeng-Mery Bermula dari Sandiwara Radio
Pada awal 1946 itu, administrasi pemerintahan belum dibenahi dengan baik. Hoegeng diangkat sebagai anggota Angkatan Laut tanpa surat pengangkatan. Dia diberi pangkat Mayor, jabatan komandan, dengan gaji Rp400.
Nazir memerintahkan Hoegeng pindah ke Yogyakarta untuk membentuk Penyelidik Militer Laut Khusus (PMLC). Dia bertanggung jawab kepada Letkol Darwis, Komandan Angkatan Laut Jawa Tengah yang berkedudukan di Tegal.
PMLC semacam Polisi Militer Angkatan Laut. Selain menegakkan disiplin di dalam tubuh Angkatan Laut, PMLC punya tugas khusus sebagai badan intelijen Angkatan Laut.
“Saya berhasil meletakkan dasar-dasar organisasi PMLC serta merekrut sejumlah tenaga yang sebagian besar berasal dari teman-teman saya di lingkungan Kepolisian,” kata Hoegeng.
Baca juga: Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kepala Polisi tanpa Rumah
Namun, Hoegeng kemudian bertemu dengan Kepala Kepolisian Negara, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, di Hotel Merdeka. Tujuan Soekanto ke Yogyakarta untuk menghadiri rapat kabinet.
Soekanto menyadarkan Hoegeng bahwa sebagai alumnus sekolah Kepolisian seharusnya tetap di Kepolisian. Apalagi, Hoegeng pernah diajar oleh Soekanto di Sekolah Kader Tinggi di Sukabumi pada zaman Jepang.
“Apakah Hoegeng tidak sayang dan malu masuk Angkatan Laut, karena Kepolisian Indonesia sendiri masih berantakan dan perlu dibenahi dan dikembangkan?” tanya Soekanto.
Hoegeng pun terbayang kembali cita-cita masa kecilnya ingin menjadi komisaris polisi. Dia malu tak hanya kepada Soekanto, tapi juga pada diri sendiri.
“Saya memutuskan kembali ke Kepolisian,” kata Hoegeng.
Hoegeng mengambil keputusan yang tepat dengan kembali ke Kepolisian. Kariernya terus naik sampai puncak sebagai Kapolri. Bahkan, dia dikenal sebagai polisi yang jujur sampai-sampai jadi bahan guyonan Gus Dur.