Dari Bugel Menjadi Hoegeng
Sukarno menyuruh Hoegeng mengganti namanya karena bukan nama Jawa. Namanya gemuk tapi badannya kurus.
Kapolri Hoegeng Iman Santoso dikenal sebagai polisi yang jujur, bersih, dan sederhana. Dia menjadi polisi sejak zaman pendudukan Jepang. Kariernya terus naik hingga menjadi Kapolri berkat pendidikannya.
Pada 1952, Hoegeng bersama 15 orang lulus sebagai angkatan pertama PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). Setelah diwisuda, mereka diundang Presiden Sukarno ke Istana Negara Jakarta. Satu persatu ditanya: nama, asal, sudah punya istri atau belum, dan lain-lain.
Tibalah giliran Hoegeng memperkenalkan diri.
“Hoegeng, Pak!”
Sukarno menatapnya. Namanya aneh. Yang dia tahu nama “Sugeng” bukan “Hoegeng.”
Gara-gara soal nama, perkenalan jadi panjang. Menurut Sukarno, nama “Hoegeng” bukan nama Jawa dan tidak ada artinya. Dia pun meminta Hoegeng mengganti namanya dengan mengambil dari cerita pewayangan.
“Nama yang baik itu seperti nama saya, Sukarno. Kan, nama wayang itu. Nah, begini saja, mbok ya nama jij (kamu) itu diganti saja. Ya, diganti seperti Sukarno begitu.”
Hoegeng menolak. Ternyata Sukarno serius. Dia pun mencari akal untuk mencairkan suasana. “Ya, nama Hoegeng itu saya dapat dari saya punya orang tua. Kalau saya berganti nama, Sukarno pula, sedangkan pembantu di rumah saya namanya juga Sukarno, waaah…”
Sukarno mendelik. Orang-orang pada tertawa riuh. “Benar-benar kurang ajar kamu,” kata Sukarno.
“Gaya Pekalongan mungkin tak selalu enak. Bisa-bisa dianggap keterlaluan oleh atasan yang tak paham. Tapi Bung Karno sepertinya dapat memahami. Agaknya karena dia orang Jawa Timur dan pernah tinggal di Surabaya,” kata Hoegeng dalam otobiografinya, Polisi: Idaman dan Kenyataan. “Bung Karno tidak marah namanya saya jadikan bahan olok-olok. Malah Bung Karno sendiri akhirnya tertawa keras.”
Hoegeng yang lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921, memiliki empat nama: Abdul Latif (pemberian teman ayah seorang peramal Arab), Hoegeng Iman Santoso (pemberian ayah), Hoegeng Iman Soedjono (pemberian Eyang Putri), dan Hoegeng Iman Waskito (pemberian nenek buyut, ibu dari Eyang Putri).
Dia memilih nama pemberian ayahnya: Hoegeng Iman Santoso. Namun, dia lebih suka memakai nama Hoegeng saja.
Ternyata, nama Hoegeng ada asal usulnya. Waktu kecil dia memiliki tubuh sangat gemuk. Maka, dia dijuluki si “bugel” (gemuk) seperti ubi mengeram dalam tanah. Namun, dalam panggilan sehari-hari berubah: dari “bugel” menjadi “bugeng” lalu “hugeng” (ejaan lamanya hoegeng).
“Rasanya (Hoegeng) sebuah nama yang meriah sekaligus lucu mengandung ironi,” kata Hoegeng. “Sebab dalam kenyataannya saya tak pernah lagi gemuk dan barang kali tak ingin demikian.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar