Masuk Daftar
My Getplus

Cerita Sukabumi Saat Agresi

Bagaimana pengalaman orang-orang Indonesia kala militer Belanda melakukan invasi pertamanya atas nama Operasi Produk.

Oleh: Hendi Johari | 23 Jul 2018
Aksi Militer Belanda dalam Operasi Produk di Sukabumi. Foto: Arsip Nasional Belanda.

Sebagai kanak-kanak, Hetty Kabir masih ingat situasi di Sukabumi pada 26 Juli 1947. Perempuan kelahiran tahun 1937 tersebut melukiskan  bagaimana pagi itu belasan pesawat terbang melayang-layang di atas kota sambil melepaskan bom-bom yang menghancurkan beberapa tempat strategis.

“Salah satunya Stasiun Kereta Api Sukabumi yang langsung porak poranda terkena bom Belanda,” kenang putri Mayor Harun Kabir, salah seorang perwira Divisi Siliwangi.

Sadar akan bahaya mengancam, siang itu juga sebagian besar masyarakat Sukabumi mengungsi ke luar kota. Sementara itu kekuatan Brigade Surjakantjana yang menjadi penanggungjawab kemananan wilayah Bogor, Sukabumi dan Cianjur alih-alih melakukan perlawanan, mereka terpaksa mundur ke arah Nyalindung. Di kota yang terletak antara Cianjur dengan Sukabumi tersebut,  bekerjasama dengan para pejabat sipil, mereka lantas mendirikan pemerintahan darurat.

Advertising
Advertising

Demi Lahan Produksi

Dalam bukunya Indonesie, Nederland en de Wereld (Indonesia, Belanda dan Dunia),  H.J. van Mook menyatakan bahwa suatu operasi militer perlu dilakukan  guna menduduki beberapa wilayah yang secara politik dan ekonomi sangat penting bagi Belanda. Sukabumi adalah salah satunya, karena di sana terdapat banyak sumber daya ekonomi berupa perkebunan teh, perkebunan kopi dan perkebunan karet terbesar di Asia Tenggara yakni Perkebunan Cipetir.

Dengan mengerahkan sekira 1.000 prajuritnya dari Divisi 7 Desember dan Divisi B, Belanda memulai Operasi Produk (aksi militer untuk merebut sumber-sumber ekonomi) ke Sukabumi pada 21 Juli 1947, lewat tengah malam menjelang dini hari. Mereka bergerak dari arah Bogor dan langsung merangsek ke arah Sukabumi dengan terlebih dahulu menduduki Cigombong, Cicurug dan Cibadak,

“Mereka yang berkendaraan carriers dan bersenjatakan meriam anti tank, menerobos secara cepat dan tiba-tiba, melanda segala rintangan yang telah para prajurit TNI pasang di jalan raya,” ungkap A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid V.

Sebelum pasukan Belanda mencapai Sukabumi, pasukan TNI yang seharusnya bersiap di dalam kota bahkan sudah menghindar ke luar kota. Hal itu teridentifikasi oleh Batalyon IV dari Resimen Tangerang pimpinan Kapten Kemal Idris yang baru saja sampai Sukabumi dalam perjalanannya menuju Cikampek.

Menurut salah satu komandan kompi Yon IV Letnan Satu Marzoeki Soelaiman, saat mereka menapakan kaki di Sukabumi suasana terasa lenggang. Nyaris tak ada  anggota TNI atau anggota lasykar yang nampak kecuali beberapa seksi yang terlihat bingung karena tak ada komando.

“Saya bahkan dapat cerita dari mereka bahwa komandan TNI yang seharusnya bertahan mempertahankan Sukabumi malah kabur dengan membawa sejumlah perempuan Jerman,” ungkap Marzoeki kepada Historia.

Tak ingin menanggung kesalahan tersebut, Yon IV Resimen Tangerang akhirnya meneruskan perjalanan menuju Cianjur. Alih-alih bergerak ke Cikampek dan mengepung Jakarta, Yon IV malah pada akhirnya ditugaskan untuk membuat basis di wilayah selatan Cianjur hingga perang berakhir pada Agustus 1949.  

Mengungsi ke Nyalindung

Dari sektor timur, militer Belanda tetiba merangsek Sukabumi. Satu pasukan pelopor yang dilengkapi satu eskadron kavaleri lapis baja langsung menerobos ke dalam kota dan langsung menguasai pusat pembangkit listrik Ubrug.

“Pada 26 Juli secara utuh Sukabumi berhasil dikuasai Belanda,” ujar Nasution.

Serangan mendadak pihak Belanda membuat sisa pasukan TNI dan lasykar yang bertahan di dalam kota tak sempat menjalankan aksi bumi hangus. Guna menghindar serangan yang lebih gencar, mereka terpaksa menyingkir ke arah Nyalindung bersama para pengungsi.

Detik-detik terkuasainya Sukabumi terekam jelas dalam ingatan Hetty Kabir. Masih segar dalam kenangannya rakyat bersama sebagian kecil tentara berduyun-duyun menuju luar kota dengan berjalan kaki, sementara itu pesawat-pesawat pemburu militer Belanda berterbangan di atas kepala mereka.

"Sekali-kali, mereka melempari kami bom dan menembak kami seolah mau mempermainkan kami dalam ketakutan," ujar perempuan yang pernah berkarir di Departemen Hankam (Pertahanan dan Keamanan) tersebut.

Tentu saja mereka tak berdaya menghadapi serangan-serangan tersebut. Korban pun berjatuhan. Di antaranya tembakan-tembakan senapan mesin 12,7 itu menghabisi satu keluarga seorang letnan Siliwangi.

"Termasuk bayi munggil anak bungsu sang letnan yang sering saya goda sepanjang jalan itu ikut tewas juga terkenan bom," kenang Hetty.

Sejak Juli 1947, Nyalindung resmi menjadi pusat pemerintahan darurat Republik Indonesia di Sukabumi. Pejabat tinggi Republik yang berkedudukan di Sukabumi yakni Hilman Djayadiningrat sendiri tidak pernah menyusul jajarannya ke Nyalindung. Dia memutuskan untuk bergabung dengan Belanda dan diangkat sebagai gubernur Jawa Barat dalam pemerintahan Hindia Belanda versi van Mook.

TAG

sukabumi agresi tni produk

ARTIKEL TERKAIT

Sejarah Prajurit Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Para Pejuang Bugis-Makassar dalam Serangan Umum Jenderal dari Keraton Penyandang Jenderal Kehormatan, dari Sri Sultan hingga Prabowo Subianto Murid Westerling Tumbang di Jogja Kisah Kaki Prabowo Muda Jenderal-jenderal Madura Arief Amin Dua Kali Turun Pangkat Soeyono Apes Setelah Kudatuli