Fatmawati melahirkan anak terakhir pada 13 Januari 1953. Sukarno akan memberinya nama Taufan. Namun, Fatmawati tidak setuju, lebih suka dengan nama Guruh. Anak lelaki kedua setelah Guntur itu pun dinamai Mohammad Guruh Irianto Sukarnoputra.
Fatmawati mengalami pendarahan ketika melahirkan Guruh. Oleh karena itu, dokter menyarankan sebaiknya Fatmawati tidak punya anak lagi karena berbahaya.
“Sering saya kemudian ingat, betapa menderitanya Bu Fat. Beliau berhasil lolos dari risiko kematian akibat melahirkan, namun segera memasuki dunia penuh kepedihan dan kepahitan ketika rumah tangganya dirusak oleh sesama kaumnya,” kata Meutia Farida Hatta Swasono, putri Bung Hatta, dalam pengantar buku Suka Duka Fatmawati Sukarno karya Kadjat Adra’i.
Ketika Guruh berumur dua hari, Sukarno meminta izin kepada Fatmawati untuk menikah lagi dengan Hartini. Fatmawati mengizinkan tetapi dia minta dikembalikan kepada orangtuanya. Dia tak mau dimadu dan tetap antipoligami.
Baca juga: Hartini, First Lady yang Tak Diakui
“Terlepas dari perasaanku, satu hal patut dipuji: Bung Karno tidak hipokrit atau sembunyi-sembunyi,” kata Fatmawati dalam memoarnya, Catatan Kecil Bersama Bung Karno.
Sukarno menikahi Hartini pada 7 Juli 1953. Kendati Sukarno menikahi lima perempuan lagi, namun Hartini-lah yang mendampinginya hingga akhir hayat pada 21 Juni 1970. Hartini sendiri meninggal pada 12 Maret 2002.
Sementara itu, setelah Sukarno menikahi Hartini, Fatmawati memutuskan keluar dari Istana dan tinggal di rumahnya di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Baca juga: Sukarno Meninggal Dunia
Lagu Melati Suci
Guruh mewarisi darah seni Sukarno. Dia terlatih menari dan bermain musik. Dia mendirikan grup musik Gang Pegangsaan dan bekerja sama dengan grup musik Gipsy merilis album Guruh Gipsy pada 1976.
Guruh kemudian mendirikan grup tari-nyanyi Swara Maharddhika pada 1977. Dua tahun kemudian, Swara Maharddhika menyihir masyarakat Jakarta lewat pagelaran akbar berjudul "Karya Cipta Guruh Sukarno Putra" selama sepekan.
Kadjat mencatat, selama itu jalan-jalan ke Balai Sidang Senayan, tempat pentas spektakuler tersebut berlangsung, macet total menjelang jam pertunjukan dibentang. Banyak calon penonton terlambat datang, tak kurang pula yang terpaksa membeli tiket catutan dengan harga berlipat karena sudah terlanjur penasaran.
Baca juga: Guruh dalam Percik Pabrik Pemusik
“Bu Fat yang berbusana baju bodo merah jambu dan duduk di baris kursi terdepan tampak cerah. Rona bangga dan haru tampak menyatu. Bu Fat turut bertepuk tangan riuh setiap sequence berakhir,” tulis Kadjat.
Fatmawati memuji pertunjukan karya anak bungsunya itu. “Ibu bangga dan terharu sekali. Guruh benar-benar hebat. Ibu sempat membayangkan, Bung Karno pun pasti bangga dengan karya cipta anaknya yang gegap gempita namun tetap nasionalistis itu,” kata Fatmawati.
Kakaknya, Guntur Sukarnoputra juga memberikan pujian: “Jerih payahnya yang tidak mengenal lelah terbukti tidak sia-sia. Warna baru dalam seni pertunjukan di Indonesia telah lahir dari otak adik saya. Ini membanggakan.”
Baca juga: Guruh: Koleksi Seni Istana Tak Terpelihara Era Orba
Pertunjukan kedua Swara Maharddhika berjudul “Untukmu Indonesiaku” yang digelar pada 12–16 September 1980 di Balai Sidang Senayan, tampil lebih mengesankan.
“Menjelang pagelaran kedua itulah Guruh tergerak batinnya mempersembahkan sebuah lagu ‘Melati Suci’ untuk ibunda tercinta, yang ternyata tak sempat bisa dinikmati Bu Fat karena Tuhan lebih dulu memanggilnya tanggal 14 Mei 1980,” tulis Kadjat.
Acara Resmi Terakhir
Sebagai first lady pertama, Fatmawati selalu diundang menghadiri acara-acara yang diselenggarakan pemerintah. Kalau yang diundang Fatmawati, maka panitia biasanya tidak mengundang janda-janda Bung Karno yang lain. Hal itu untuk menjaga perasaan sesama janda almarhum Bung Karno.
Setiap kali Fatmawati menerima undangan, jauh-jauh hari dia selalu memberitahukan bisa hadir atau tidak. Itu merupakan tata tertib dan etika pergaulan supaya orang yang mengundang respek.
“Soalnya, kita diundang itu karena si pengundang menghargai kita. Nah, kalau kita tidak balas menghargai, bisa-bisa kesan atau pandangan orang akan tak seperti yang kita inginkan,” kata Fatmawati.
Baca juga: Sukarno Cemas Bu Fat Hilang di Cipanas
Fatmawati termasuk tamu kehormatan ketika berlangsung peringatan seperempat abad Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Gedung Sate Bandung, Jawa Barat pada 24 April 1980, yang berlangsung dalam suasana penuh nostalgia.
“Bu Fat tampak sangat cantik kala itu. Busana daerah yang terdiri sarung tenun warna ungu dengan hiasan mawar di kanan sanggulnya serasi nian. Kehadirannya di situ ternyata merupakan pemunculan resminya yang terakhir, sebab hanya berjarak 20 hari kemudian, Bu Fat wafat di Kuala Lumpur,” tulis Kadjat.
Menyusul Bung Hatta
Mohammad Hatta, proklamator dan wakil presiden pertama, meninggal pada 14 Maret 1980. Fatmawati hadir dan duduk di sebelah Rahmi Hatta bersama ketiga putrinya, untuk menyalami pelayat.
Fatmawati ikut mengantar jenazah Bung Hatta ke Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta. Dia menumpang mobil di belakang mobil jenazah. Dalam perjalanan, dia berkata kepada Meutia, “Enak juga ya meninggal diantar banyak orang.” Saat itu, kabarnya sekitar satu juta orang berdiri di sepanjang jalan dari Jalan Diponegoro 57 menuju pemakaman Tanah Kusir untuk mengantar jenazah Bung Hatta.
Baca juga: Meutia Cerita Pertemuan Terakhir Sukarno-Hatta
“Selama 40 hari acara tahlil oleh para pelayat di rumah kami, Ibu Fatmawati ikut berdoa bahkan membimbing saya membaca Surat Ar-Rahman bagi ayahanda Bung Hatta,” kata Meutia.
Setelah 40 hari Bung Hatta, Direktur Garuda Indonesia Wiweko Soepono menawarkan umrah kepada keluarga proklamator.
“Yang disebut keluarga proklamator adalah keluarga Bung Karno bersama-sama keluarga Bung Hatta. Karena itu tidak ada salahnya apabila Garuda Indonesia juga mengumrahkan Ibu Fatmawati, lebih-lebih karena Bu Fat adalah seorang muslimah yang taat,” kata Rahmi.
Baca juga: Meluruskan Sejarah Bendera Pusaka
Fatmawati menerima ajakan untuk turut umrah, tetapi tidak pada hari yang sama. Dia berangkat beberapa hari kemudian ditemani kakak ipar Meutia, yaitu Dien Soemaryo dan suaminya, Soemaryo Hadiwignyo.
“Tidak disangka bahwa tepat dua bulan kemudian [setelah Bung Hatta meninggal], pada tanggal 14 Mei 1980, Ibu Fatmawati pun menyusul ke alam baka,” kata Meutia.
Fatmawati, penjahit Bendera Pusaka Merah Putih, meninggal mendadak karena serangan jantung saat transit di Kuala Lumpur, Malaysia, dalam perjalanan kembali ke Indonesia. Dia kemudian dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.