SEKOLAH Perguruan Cikini tenar karena pernah dilanda tragedi penggranatan pada 1957. Tapi ada hal lain yang tak bisa diabaikan: sekolah ini melahirkan banyak musisi handal. Beberapa di antaranya ikut menentukan perjalanan sejarah musik dalam negeri.
Nasution Bersaudara (Debby, Gauri, Keenan, Oding, dan Zulham) adalah salah satunya. Mereka murid sekolah Percik. Rumah orangtua Nasution Bersaudara di Jalan Pegangsaan Barat di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, menjadi tempat nongkrong teman-teman sekolah mereka yang hobi musik. Atas gagasan Debby Nasution, lahirlah Gank Pegangsaan.
Selain itu, lahir pula kelompok musik Sabda Nada pada 1966 sebelum tiga tahun kemudian berubah nama jadi Gipsy. Chrisye, yang juga suka nongkrong di Pegangsaan, ikut bergabung di dalam Gipsy sebagai pemain bas. Chrisye kelak dikenal sebagai legenda musik pop Indonesia.
Baca juga: Kisah Putra-Putri Bung Karno dalam Peristiwa Cikini
Guntur, putra Presiden Sukarno, ikut mengharumkan nama Percik di bidang musik. Bersama Samsudin Hardjakusumah (yang kemudian mendirikan Bimbo), Guntur mendirikan grup Aneka Nada dan merilis album perdana di bawah label Loakananta, Solo. Bersama grup keduanya, Kwartet Bintang, Guntur kembali rekaman di Remaco.
Jejak Guntur diikuti sang adik, Guruh. Setelah membentuk The Flower Poetman, Guruh mengajak sahabat-sahabatnya di Percik yang aktif di band Gipsy untuk membuat proyek bareng pada 1975.
Chrisye mengisahkan awal pembuatan album tersebut dalam biografinya berjudul Chrisye. Dia dipanggil Keenan, yang mengatakan dia, Gauri, dan Guruh sudah bereksperimen menciptakan sejumlah lagu. “Sepanjang ia bercerita, saya hanya bisa menganga. Apa yang diceritakan Keenan adalah sebuah proyek yang sungguh tidak terbayangkan di zaman itu,” ujar Chrisye.
“Guruh berniat membuat satu album idealis yang menggabungkan musik Barat dan tradisional Indonesia. Mendengar ini saja saya sudah bisa membayangkan bagaimana rumitnya. Bahkan, kata mereka, unsur art rock ada pula di dalamnya.”
Baca juga: Kisah Sedih dari Peristiwa Cikini
Dua tahun kemudian, kerjasama itu melahirkan sebuah album monumental Guruh Gipsy. Nama Guruh di blantika musik nasional terus melambung.
Di genre rock, Eet Syahranie, putra Gubernur Kalimantan Timur Abdoel Wahab Sjachranie, mungkin jadi pelopor di Percik. Eet sekolah di Perguruan Cikini tahun 1978. Di sekolah, dia bergabung dengan band sekolah dengan nama Cikini Rock. Dalam ajang Festival Band Antar-SLTA se-Jakarta, Eet meraih predikat gitaris terbaik, sementara Cikini’s Band menduduki peringkat kedua. Eet kemudian dipercaya menggarap musik Operette Cikini di sekolah.
Bersama Iwan Madjid dan Fariz RM, Eet membentuk grup band WOW. Ketika WOW merilis album Produk Hijau, Eet tengah mengikuti workshop Recording Sound Engineering di Amerika. Pulang ke tanah air, dia membantu kawan-kawannya sesama musisi yang rekaman dengan mengisi track gitar. Hingga akhirnya, bersama Ecky Lamoh, dia mendirikan grup band EdanE, singkatan dari nama keduanya.
Baca juga: Dari Kursus Hingga Percik
Bimbim Sidharta melanjutkan tradisi musisi Percik pada 1980-an. Dia merintis karier lewat Cikini Stones Complex, yang dibentuk bersama teman-temannya di SMA Perguruan Cikini. Karena bosan membawakan lagu-lagu Rolling Stones, Cikini Stones Complex dibubarkan. Bimbim kemudian mendirikan grup baru bernama Red Evil. Kalau manggung, untuk meramaikan suasana, “mereka kerap mengajak teman-teman di sekolahnya yang tak lain adalah anak-anak Perguruan Cikini dengan bayaran ... sebotol minuman,” tulis slank.com.
Pada Desember 1983, nama Red Evil kemudian diubah jadi Slank. Dimulailah perjalanan salah satu band terbesar tanah air yang masih eksis hingga kini.
Ketika orangtua Bimbim pindah ke Gang Potlot, Pasar Minggu, rumahnya menjadi tempat nongkrong teman-temannya. Seperti Gank Pegangsaan, Potlot jadi komunitas yang melahirkan banyak musisi, dari Andy Liani hingga Oppie Andaresta.
Baca juga: Goresan Potlot di Markas Slank
Dalam “School of Rock: Perguruan Cikini”, dimuat rollingstone.co.id, 25 November 2013, penulis musik Denny Sakrie menyebut Percik secara tak sengaja menjadi tempat persemaian pemusik Indonesia.
“Meskipun bukan sekolah musik, tapi tanpa sengaja ternyata Yayasan Perguruan Cikini bisa menjaga benang merah peta musik yang terbentang begitu panjang, dari era awal 60-an hingga saat sekarang ini,” tulis Denny Sakrie.
Sadar bahwa banyak alumninya jadi musisi handal, Percik memunculkan atmosfir musik. Sejak 1989 Percik mendirikan Orkes Simfoni, yang hingga kini masih eksis. Lima tahun kemudian berdiri Lembaga Pendidikan Musik Percik, yang kini tersebar di beberapa wilayah di Jakarta dan sekitarnya. Tak cukup di situ, pada 2005 Percik mendirikan Sekolah Menengah Musik (kini, SMK Musik), yang siap dan telah mencetak musisi-musisi tanah air seperti Wizzy Williana yang menghasilkan beberapa album single.*