BEBERAPA waktu lalu, laman google menghiasi wajahnya dengan gambar sesosok perempuan. Dalam keterangannya, soosk itu merupakan Ani Idrus.
Penampilan sosok Ani jelas merupakan penghargaan google yang patut diapresiasi. Tak hanya memperkenalkan sosok pejuang perempuan asal Sumatra Barat itu kepada publik, upaya google juga seperti menampar kita, terutama kaum milenial, yang banyak melupakan –lebih parah, tidak kenal– jasanya.
Pada secarik kertas, Ani Idrus mencoba membuat karangan pendek tentang gadis-gadis di lingkungan Batavia. Ani lalu memasukkan kertas itu ke dalam amplop putih dan mengirimnya ke kantor pos. Iseng-iseng berhadiah, Ani mencoba mengirim tulisannya itu ke kantor redaksi Majalah Pandji Pustaka di Batavia.
Tak berapa lama kemudian, seorang tukang pos datang membawa Pandji Pustaka untuk Ani. Ani langsung buru-buru memeriksanya, halaman demi halaman sampai akhirnya melihat karangannya dimuat majalah itu pada pengujung 1930. Ani melompat girang bukan kepalang. Dipamerkannya tulisan itu pada ibu, ayah tiri, dan kakak-kakaknya. Keluarganya pun amat bangga, pasalnya Ani masih berusia 12 tahun dan masih duduk di Meisjeskopschool Medan.
Baca juga: Perjuangan Ani Idrus untuk Perempuan Sumatera
Itulah momen pertama kali tulisan Ani dimuat di media cetak. Keberhasilan itu membuat Ani ketagihan untuk mencoba lagi. Ia pun berusaha mengirim tulisannya ke tempat lain. Ia tak peduli akan dimuat atau tidak, yang penting mencoba dulu dan bakat menulis tersalurkan.
Selain aktif menulis, Ani juga hobi bermain musik di Hawaiien Band bersama rekan-rekan sekolahnya. Ketika berusia 16 tahun, Ani mulai ikut dalam organisasi kepemudaan. Ia menjadi pengurus Indonesia Muda Medan dan anggota partai politik Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Ani mendapat dukungan kuat dari orangtuaya. Ketika remaja, ia dibelikan sepeda oleh orang tuanya. Ia memang cukup beruntung lahir di keluarga berkecukupan. Ani lahir di Sawahlunto, Sumatra Barat pada 25 November 1918. Ibunya bernama Siti Djalisah dan ayah kandungnya bernama Sidi Idrus. Sejak remaja, Ani tinggal bersama ibu dan ayah tirinya, Misan.
Dengan sepeda dari ibu dan ayah tirinya itu, Ani pergi ke sana-kemari mengunjungi kantor suratkabar di Medan. Pada 1930-an, di Medan ada 3 surat kabar berbahasa Indonesia: Pewarta Deli, Sinar Deli, dan Pelita Andalas. Sementara terbitan berbahasa Belanda ada Deli Courant dan Sumatera Post.
Baca juga: Rohana Kudus, Wartawan Perempuan Pertama Jadi Pahlawan Nasional
Ani lebih dekat dengan para wartawan di suratkabar bebahasa Indonesia. Ia pun diperbantukan di Sinar Deli hingga menjadi wartawan. Ia juga menjadi kontributor di Pewarta Deli dan Pelita Andalas pimpinan Kasoema. Semangatnya untuk mendalami dunia jurnalistik membuatnya berkenalan dengan Hasan Noel Arifin, Arif Lubis, Hasbullah Parinduri (Matu Mona), Burhanuddin Muhammad Diah, dan Mohammad Said yang kelak jadi suaminya.
“Saya masih ingat bagaimana Ani Idrus sering datang ke kantor Pewarta Deli di Jalan Masjid, Medan. Ini terjadi pada 1934. Saya heran kenapa ada anak gadis yang senang bertamu ke kantor kami. Tapi saya kagum sesudah mengetahui Ani Idrus menjadi anggota keputrian Indonesia Muda,” kata Matu Mona seperti dikutip Tridah Bangun dalam Ani Idrus: Tokoh Wartawati Indonesia.
Selain menulis berita liputan, Ani juga menulis cerpen di sejumlah media dengan nama pena Lady Andy. Lewat cerpen-cerpennya Ani selalu menyampaikan bahwa perempuan harus mampu membela haknya dan jangan mau diperlakukan sewenang-wenang. Ia juga mendorong kaum peremuan untuk mengejar kemajuan dirinya.
Baca juga: Siti Danilah Salim Wartawan Perempuan yang Terlupakan
Ketika Mohammad Said mendirikan minguan Seroean Kita pada 28 Juni 1939, Ani ikut menjadi kontributor. Mingguan ini merupakan terbitan politik untuk rakyat, seperti mingguan yang didirikan Mohammad Said sebelumnya, Penjedar.
Menurut SK Trimurti, wartawan sezaman yang kemudian menjadi menteri perburuhan, Ani merupakan pejuang perempuan yang tahan banting. Sebab, seperti dikisahkan Matu Mona, pemerintah kolonial senantiasa memadamkan semangat kebangsaan kaum nasionalis. Lebih jauh, pemerintah juga berkeinginan untuk memusnakhkan mereka yang mengkritik kebijakan pemerintah Hindia-Belanda.
Kiprah Ani dalam dunia jurnalistik terus berjalan hingga Indonesia merdeka. Bersama suaminya, Mohammad Said, Ani mendirikan harian Waspada pada 1947. Bermula dari kolom perempuan di Waspada, ia kemudian mendirikan Dunia Wanita, terbitan yang dikhususkan untuk pembaca perempuan.
Baca juga:
Kehadiran Ani dalam dunia jurnalistik menjadi hal yang langka di masanya. Angela Rose Romano dalam Politics and The Press in Indonesia: Understanding an Evolving Political Culture menyebut bahwa Ani Idrus menjadi satu di antara sedikit perempuan yang memegang jabatan tinggi dalam manajemen keredaksian. Pada dekade 1990-an, dari 71 media massa yang ada hanya tiga yang dipimpin perempuan: Surabaya Post dipimpin Toety Aziz, Herawati Diah mempimpin Indonesia Observer yang didirikan bersama suaminya, BM Diah, dan Ani Idrus yang mendirikan Waspada juga Dunia Wanita. Ani bersama wartawan perempuan tersebut merupakan jurnalis senior yang sudah berjibaku sejak era kolonial.
“Waktu itu perempuan yang terjun di kalangan pers apalagi pers perjuangan sangat sedikit jumlahnya,” kata SK Trimurti.