Masuk Daftar
My Getplus

Perjuangan Ani Idrus untuk Perempuan Sumatera

Pengalaman masa kecilnya jadi pemantik bagi Ani untuk memperbaiki nasib perempuan.

Oleh: Nur Janti | 12 Des 2019
Ani Idrus (tengah) bersama nenek dan ayahnya. Sumber: Tridah Bangun, Ani Idrus Tokoh Wartawati Indonesia.

MASIH lekat dalam ingatan (Rohani) Ani Idrus bagaimana ayah dan ibunya bertengkar. Kala itu Ani dan kakaknya Ana (Rohana) masih amat kecil untuk mengetahui duduk perkaranya. Keduanya hanya menduga, persoalan yang dipertengkarkan seputar uang belanja atau bisa juga perkara poligami. Djalisah, ibu Ani, merupakan istri kedua dari Sidi Idrus. Kala itu, praktik poligini (poligami) amat jamak ditemui di lingkungan sekitar Ani.

Ani lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat pada 25 November 1919. Ayah kandung Ani, Sidi Idrus, bekerja sebagai kerani (juru tulis) di kantor tambang batubara Ombilin. Sementara ibunya, Djalisah, merupakan ibu rumah tangga yang mengurus Ani dan Ana dengan penuh kasih sayang. Pertengkaran Djalisah dan Sidi Idrus yang disaksikan Ani dan Ana ternyata berujung perceraian.

Pada masa kecilnya di Sawahlunto, Ani sudah melihat kondisi pernikahan yang menurutnya tidak ideal. Ada banyak laki-laki yang sudah berumah tangga masih mau menambah istri. Entah karena dibujuk mamak, ibu, atau sanak famili lainnya akhirnya si perempuan mau menjadi istri kesekian.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Ani Idrus, Wartawan Perempuan Lintas Zaman

“Aku hanya dua bersaudara yang semuanya perempuan. Mungkin karena itulah, sejak kecil aku sudah memikirkan nasib kaumku,” tulis Ani dalam kumpulan memoar perempuan berjudul Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi.

Ani merasa tak enak melihat nasib perempuan yang diperlakukan tak adil oleh lelaki dan lingkungannya. Ia mengambil contoh suami yang tak mencukupi uang belanja istrinya, menceraikan atau memperlakukan istrinya dengan sewenang-wenang, main serong atau bahkan kawin lagi tanpa pernah memberitahu istri sebelumnya. Masalah-masalah terkait nasib perempuan yang ia temui di Sawahlunto mendorong Ani untuk terus berusaha memperbaiki nasib perempuan.

Setelah bercerai, Djalisah membawa dua anaknya pindah ke Medan pada 1929. Ani kemudian dimasukkan ke Methodist Girls School. Namun lantaran kekurangan biaya, Ani pindah ke sekolah kepandaian putri Meisjes Kopschool, hingga lulus. Ia kemudian melanjutkan ke Schakel School Taman Siswa pimpinan Sugondo Kartoprodjo dan setelah lulus melanjutkan ke MULO Perguruan Kita pimpinan Munar S Hamidjojo.

Baca juga: 

Yang Kaya yang Madu Tiga

Sejak masa penjajahan, Ani aktif dalam gerakan politik dengan masuk Indonesia Muda dan Gerakan Rakyat Indonesia. Menurut Tridah Bangun dalam Ani Idrus, Tokoh Wartawati Indoensia, Ani juga terlibat dalam pengorganisasian kaum perempuan dalam perang kemerdekaan dan ikut dalam pembubaran Negara Sumatera Timur di permulaan 1950.

Pasca-proklamasi, Ani mulai membangun wadah-wadah untuk kepentingan perempuan. Pada akhir 1945, Ani bekerjasama dengan pemimpin harian Pewarta Deli Amarullah Ombak Lubis mendirikan Majalah Wanita. Terbitan ini tak bertahan lama. Pada Juni 1949 ia kembali membuat media perempuan, Dunia Wanita, yang jadi bacaan banyak tokoh perempuan seperti Fatmawati dan Rahmi Rachim (Hatta). Dwiminguan Dunia Wanita inilah yang jadi prestasi penting Ani dalam gerakan perempuan.

Baca juga: 

Majalah Dunia Wanita Hampir Tutup Karena Cekcok Lauk

Tak berhenti di situ, pada 1952 Ani mendirikan yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan dan kepentingan perempuan. Yayasan ini dibuat untuk mewujudkan mimpi Ani berupa penyediaan Balai Penitipan Bayi agar kaum ibu yang bekerja tak perlu risau atau harus mengorbankan keinginannya untuk berkarier ketika sudah memiliki anak.

Yayasan ini rencananya juga menyediakan pendidikan dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga SMA. Namun pembangunannya dilakukan secara bertahap. Ani juga berusaha menemukan tenaga pendidik dan pemelihara yayasan yang mumpuni. Pembangunan tahap pertama selesai tepat waktu. Pada Hari Ibu 1953, Balai Penitipan Bayi dan TK Indria diresmikan di Jalan Sisingamangaraja 84 Medan.

Beberapa tahun setelahnya, SD dan SMP Indria diresmikan pada Hari Kartini. Pada awal pendiriannya, murid di Yayasan Indria hanya sedikit sehingga berpengaruh pada kas yayasan. Ani pun terus mencari biaya operasional dan memenuhi honorarium para pendidik. Beruntung, ia dibantu oleh para staf yang juga peduli pada perbaikan nasib perempuan.

Baca juga: 

Djamin Gintings, Sang Loyalis dari Utara Sumatera

Kerja-kerja Ani untuk memperbaiki nasib perempuan ini didorong oleh pemikirannya. Menurut Ani, perempuan harus dinamis dan giat menuntut ilmu, tidak apatis dan terus berjuang mempertahankan haknya sebagai warga negara Indonesia. “Wanita harus dapat menaikan derajatnya, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan laki-laki. Jangan diberi kesempatan kepada laki-laki untuk memandang rendah lawan jenisnya,” kata Ani.

TAG

jurnalis perempuan pahlawan perempuan sumatera

ARTIKEL TERKAIT

Sosok Itu Bernama Hamka Siapa Bachtaruddin Said Tokoh PKI Sumatera Barat? Sukarno dan Trauma PRRI Kolonel Jepang di Medan Area Ketika Sumatra Menjadi Pusat Peribadatan Tantrayana Islamisasi Minangkabau Tak Payah Dirundung Fitnah Kisah Cinta Rohana dan Abdul Kudus: Dua Sejoli dari Tanah Minang Ilmu Komandan di Palagan Gerilyawan Republik Bernama Bun Seng