HAMPIR tiap kali Persija dan Persib hendak bertanding, kekhawatiran akan tawuran antara kedua kelompok suporter militan mereka, Jakmania (Persija) dan Viking (Persib), mencuat. Entah sudah berapa kali seruan damai ditujukan pada keduanya, toh perdamaian mutlak belum belum juga muncul di antara keduanya. Perseteruan dua kelompok suporter besar ini nyaris seusia The Jakmania yang lahir pada 1997.
Padahal, Jakmania dan Viking awalnya merupakan kawan. “Sebelum-sebelumnya enggak pernah bentrok, karena Viking sendiri lahir 1993, sementara The Jak baru 1997, kan,” ungkap Bobotoh cum pengamat hukum olahraga Eko Noer Kristiyanto kepada Historia.
Persahabatan itu berjalan hingga awal 2000. Ketua Umum Jakmania Tauhid Ferry Indrasjarief ingat betul masa-masa indah itu. “Kita pernah sambut Bobotoh di Jakarta. Mereka pulang, kita iring-iringan nyanyi ‘Halo-Halo Bandung’ sampai tukeran kaos segala,” ujar Ferry kepadaHistoria. Beberapa waktu kemudian, ketika Jakmania diserang di Stadion Siliwangi, lanjut Ferry, “Viking malah dulu yang dekat sama kita, berusaha jaga.”
Namun, perdamaian itu mulai retak oleh ulah “penumpang gelap”. Akar masalahnya, kata Ferry, mulai muncul pasca-Persib bertandang ke Jakarta tahun 2000. “Dulu itu sejarahnya waktu kita sambut Bobotoh di Jakarta. Sempat ada benturan kecil, tapi akhirnya damai,” kata Ferry.
Setahun kemudian, insiden kembali terjadi ketika ratusan Jakmania mengawal Persija bertandang ke Stadion Siliwangi, Bandung. “Di situ kan banyak yang bukan Viking. Terjadi keributan, dua anggota kita kepalanya bocor dan gegar otak,” sambung Ferry.
Sejumlah oknum Viking memperparah keadaan dengan menyerang anggota Jakmania di Cimahi beberapa saat kemudian. Jakmania kala itu tengah mengawal Persija berlaga kontra Persikab Bandung. Dari situlah timbul saling dendam.
“Meluas karena pemberitaan media, TV. Anak-anak yang nggak datang ke Bandung ikut sakit hati, timbullah kebencian yang lebih luas. Sampai ada kejadian lagi di Kuis Siapa Berani,” ujar Ferry menjelaskan. Insiden yang terjadi 28 Juli 2003 itu mengakibatkan sembilan anggota Viking luka-luka.
Upaya Damai
Upaya untuk berdamai dari masing-masing kubu bukan tidak ada. Ferry sendiri sudah tiga kali melancong ke Bandung, dua kali bertemu pentolan Viking dan sekali bersua pimpinan Bomber (Bobotoh Maung Bandung Bersatu). Namun diakui Ferry, sulitnya perdamaian juga disebabkan oleh kondisi “panas” di garis perbatasan macam Bogor, Depok atau Bekasi. Para penggila bola di daerah-daerah itu juga terpecah antara oranye (Jakmania) dan biru (Viking).
“Sudah pernah juga saya diskusikan dengan pimpinan Viking. Terutama yang di Bekasi dan Bogor, juga kondisinya sulit. Saya pernah ingin temui pentolan Viking di Bogor, tapi mereka belum bisa nentuin waktunya kapan bisa ketemu,” sambungnya.
Pihak ketiga, mulai kepolisian hingga kementerian, juga sudah berkali-kali mencoba jadi mediator. Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) bersama PSSI, misalnya, memediasi pada Agustus 2017. “Mari kita sudahi hal-hal yang menyakitkan,” seru Menpora Imam Nahrawi dalam pembukaan gelar jumpa suporter, 3 Agustus 2017, dikutip situs kemenpora.go.id.
Sayang, kala itu Ferry justru enggan hadir. “Karena gue mau (upaya silaturahim) ini datang dari bawah, bukan dari atas. Bukan dari orang pemerintahan, politik, atau kepolisian. Kalau mau damai, kita bicara kelompok A dan B. Dengan dipertemukan pihak ketiga belum tentu lebih baik. Karena kalau ketemu, polisi, pejabat, itu bisanya cuma bilang damai-damai, dinasihatin, ayo tanda tangan, ikrar. Nggak bisa begitu menurut gue,” jelas Ferry.
Pernyataan Ferry ada benarnya. Itu bisa dibuktikan dari fakta singkatnya usia perdamaian yang disepakati ketua Jakmania Larico Ranggamone dan Ketua Umum Viking Heru Joko di Bogor, 11 April 2014. Perdamaian yang diinisiasi Wakapolda Jabar Brigjen Rycko Amelza Dahniel dan Wakapolda Metro Jaya Brigjen Sujarno itu kembali rusak pada 27 Mei 2014 kala keduanya kembali bentrok hingga menewaskan tiga orang. Bentrokan berlanjut 9 November 2014, rombongan 20 bus Viking diserang di Tol JORR (Jakarta Outer Ring Road).
“Ada yang melestarikan permusuhan ini, tapi saya tidak tahu siapa,” cetus Larico, dikutip Detik, 17 Oktober 2015. Perdamaian hanya bisa terjadi bila akar rumput bisa “dididik” sehingga kebencian dari segala hal bisa dihilangkan. Baru setelah itu bicara rekonsiliasi.
“Kita bicara lagu rasis dulu deh. Itu harus dihilangkan. Itu yang membuat luka makin melebar. Hate speech di kaos, spanduk, media sosial juga harus dihilangkan dulu. Harus ada pendekatan psikologis. Digali nuraninya, apa mau sampai kiamat? Daripada dikasih doktrin-doktrin damai. Artis saja banyak yang disuruh damai tapi cerai-cerai juga tuh,” canda Ferry.
Baca juga:
Jakmania Milik Semua Masyarakat Ibukota
Jakmania Setia Mengawal Persija
Bobotoh, Suporter Militan yang Patut Dicontoh
Viking, Antara Lawan dan Kawan