GERAKAN melawan korupsi tak hanya tumbuh di Jakarta, melainkan juga di kota besar lainnya seperti Bandung dan Yogyakarta. Pertumbuhan gerakan-gerakan tersebut di kota besar dipengaruhi oleh sensitivitas yang tinggi terhadap gaya hidup mewah para pejabat dan ketimpangan sosial antara yang kaya dan miskin akibat korupsi.
"Berbeda dengan masyarakat pedesaan yang lebih toleran menghadapi perbedaan kekayaan atas dasar perbedaan kedudukan, sebagian masyarakat kota besar sudah bisa merasakan adanya ketidakwajaran dalam kemewahan itu," tulis Ekspres, 29 Agustus 1970.
Sekelompok mahasiswa dari berbagai universitas dan organisasi di Bandung membentuk Bandung Bergerak (BB) pada 14 Juli 1970. Alasan mahasiswa membentuk BB mirip dengan alasan mahasiswa Jakarta mendirikan Komite Anti Korupsi (KAK). Mereka prihatin dengan wabah korupsi dan kecewa pada sikap lambat pemerintah menindak perilaku korup para pejabat.
“Dikatakan bahwa korupsi dan penyelewengan-penyelewengan itu dapat membahayakan tercapainya pembangunan dan akan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah,” tulis mingguan Mahasiswa Indonesia, Minggu ke-III, Juli 1970.
Baca juga: Mereka yang dihabisi karena memberantas korupsi
BB mempunyai serangkaian rencana gerak. Mereka menggelar sejumlah diskusi ilmiah tentang korupsi. Diskusi ilmiah mereka membahas apa itu korupsi, dari mana akarnya, mengapa korupsi terjadi, bagaimana perbandingan korupsi di Indonesia dengan negara lain, dan bagaimana memberantasnya.
BB juga mengampanyekan sikap antikorupsi kepada pemerintah dan masyarakat. Mereka bersedia menjalin hubungan baik dengan elemen antikorupsi lain untuk berjuang melawan korupsi. Mereka berpendapat perlawanan terhadap korupsi tak hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan juga kewajiban warga negara.
BB kemudian turut bergerak ke Jakarta untuk berdiskusi dengan presiden bersama Front Anti Korupsi dari Yogyakarta. Dalam diskusi tersebut, mereka menolak pemberantasan korupsi yang beralas pada janji dan slogan. Mereka menginginkan pemerintah bertindak lebih dari dua hal itu. BB mengingatkan Soeharto bahwa upaya melawan korupsi selalu mendapat perlawanan dari para koruptor.
Baca juga: Pemberantasan korupsi setengah hati rezim Orde Baru
“Di lain pihak kami melihat bagaimana usaha yang baik itu dihambat oleh orang-orang atau golongan-golongan yang tidak bertanggung jawab, yang hanya mencari keuntungan pribadi dan golongannya sendiri dengan merugikan kepentingan umum,” ungkap BB dalam surat terbukanya kepada Presiden Soeharto seperti dikutip Mahasiswa Indonesia, Minggu ke-III, Agustus 1970.
Surat terbuka kepada presiden menandai akhir riwayat BB. Mereka membekukan segala aktivitasnya pada 15 Agustus 1970.
“Masing-masing eksponen kembali ke kampus untuk meneruskan kegiatannya sesuai dengan fungsi pengabdian masyarakat yang terkandung dalam Tri Dharma Bhakti Perguruan Tinggi,” demikian keterangan Berlin Batubara dan Agus Diposubagyo kepada Mahasiswa Indonesia, tentang alasan pembubaran BB.
Front Anti Korupsi
Setelah gerakan antikorupsi berdiri di Jakarta dan Bandung pada awal Juli, delapan orang mengeluarkan manifesto antikorupsi di Yogyakarta pada 26 Juli 1970. Mereka anak-anak muda usia 20 dan 30-an dari beragam latar belakang: mahasiswa, intelektual, dan seniman.
Nama-nama seperti Ahmad Wahib, Ashadi Siregar, dan Umbu Landu Paranggi termaktub di dalam manifesto tersebut.
Ahmad Wahib kemudian sohor sebagai pemikir tentang Islam melalui buku hariannya, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Ashadi Siregar kelak menjadi penulis novel. Terakhir, Umbu Landu Paranggi, terkenal sebagai seniman besar Malioboro sekaligus guru spiritual Emha Ainun Nadjib, cendekiawan muslim.
Baca juga: Teror terhadap pemburu koruptor
Manifesto antikorupsi berisi lima pernyataan. Mereka mengawalinya dengan pernyataan bahwa keberhasilan pembangunan hanya dapat tercapai jika penyelewengan dan korupsi dibasmi. Karena itu, mereka meminta orang-orang di birokrasi untuk membersihkan diri.
Lalu mereka beralih pesan ke generasi seusianya. Mereka meminta generasi seusianya mempersiapkan kedirian yang kuat. “Tidak larut dalam gelombang penyelewengan dan korupsi yang telah mencekam masa kini,” tulis Manifesto antikorupsi dalam Kompas, 29 Juli 1970.
Di bagian akhir manifesto, mereka menolak tegas warisan sebuah negeri yang telah dirusak oleh generasi sebelumnya. Entah melalui tindak korupsi ataupun lewat bentuk penyelewengan lain.
Sehari kemudian, mereka mendeklarasikan diri sebagai Front Anti Korupsi (FAK). Mereka menyampaikan terima kasih kepada harian Sinar Harapan atas keberanian koran tersebut menyiarkan laporan Komisi Empat, komisi adhoc yang bertugas mengkaji dan memberikan saran kepada pemerintah terkait pemberantasan korupsi.
Di sini terlihat peran pers sebagai bagian dari kelompok perlawanan terhadap korupsi. Gerakan antikorupsi kerapkali mendasarkan pendapatnya berdasarkan laporan pers tentang korupsi. Pers-pers yang getol memberitakan dugaan korupsi antara lain Pedoman, Indonesia Raya, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Ekspres.
Baca juga: Soeharto buka praktik pengaduan korupsi
Presiden Soeharto tak pernah mempublikasikan laporan Komisi Empat. Sehingga masyarakat tak pernah tahu bagaimana isinya. “Tanpa pemuatan itu kami tidak mengerti keadaan sebenarnya,” demikian pernyataan FAK.
FAK turut mendukung gerakan antikorupsi di Jakarta dan Bandung. Mereka bersedia gabung dengan KAK untuk menggelar Malam Tirakatan di Jakarta. Sebagai pemanasan, mereka telah bertirakat di Taman Makam Pahlawan Semaki Umbulharjo, Yogyakarta. Mereka menegaskan aksi tersebut sebagai upaya menciptakan iklim anti korupsi.
Kekecewaan FAK
Minggu kedua Agustus, FAK berangkat ke Jakarta untuk bertemu dengan Soeharto. Dalam pertemuan di Istana Merdeka tersebut, anggota FAK mengenakan blangkon. Soeharto tertarik dengan penampilan mereka.
“Kenapa saudara pakai blangkon?” tanya Soeharto. Seorang anggota menjawab bahwa mereka mengenakan blangkon sebagai penegas identitas ke-Yogya-an mereka.
“Kalau memakai itu harus sopan, yaitu pakai kemeja dan sarungnya,” balas Soeharto lagi. Kali ini Umbu Landu Paranggi menyahut sembari menyindir. “Sekarang ini perlu kerja cepat, Pak, jadi tak sempat pakai sarung.”
Seluruh peserta pertemuan tertawa. Soeharto nyeletuk, “Wah, ini namanya Revolusi Kebudayaan ya?” demikian gambaran Mahasiswa Indonesia edisi Minggu ketiga, Agustus 1970, seputar awal pertemuan tersebut.
Tapi jalan dan akhir pertemuan ternyata berbeda dari pembukaan. FAK dan BB kecewa dengan sikap Soeharto.
W.S. Rendra, sastrawan sohor yang baru datang ke Jakarta pada 10 Agustus 1970, memperoleh cerita dari seorang rekannya bahwa pertemuan tersebut berjalan dengan “kaku dan seperti pertemuan priayi dengan bawahannya.” Demikian kata Rendra dalam Kompas, 10 September 1970.
FAK dan BB merasa Soeharto menyepelekan peran mahasiswa. Soeharto bilang apa yang dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas korupsi bukanlah karena tekanan mahasiswa, melainkan karena memang sudah seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Dia juga mewanti-wanti peserta pertemuan agar tidak memaksakan acara Malam Tirakatan.
Baca juga: Melawan korupsi dengan Malam Tirakatan
Usai pertemuan, FAK sempat berencana gelar protes ke Jalan Cendana, kediaman Soeharto, dengan naik delman. Tapi rencana itu urung dieksekusi lantaran petugas keamanan tak mengizinkan. Sebagai pelampiasan kekecewaan, mereka bertekad tetap mengadakan Malam Tirakatan.
Rendra mengingatkan FAK untuk menahan diri supaya tidak memperuncing konflik dengan penguasa. Dia mendukung gerakan melawan korupsi. Tapi dia meminta FAK mengurungkan niat bertirakat. Rendra berjanji akan menggantikan mereka bertirakat.
“Kami mencegah timbulnya tindakan-tindakan ekstrem dari kedua belah pihak. Kami ingin menyelamatkan dua muka sekaligus: muka para mahasiswa dan muka penguasa,” kata Rendra dalam Ekspres 29 Agustus 1970.
FAK akhirnya menerima saran Rendra. Mereka pulang ke Yogyakarta, lalu menghentikan segala aktivitasnya pada 23 Agustus 1970. Dengan demikian, riwayat semua gerakan antikorupsi pada awal Orde Baru berakhir sudah. Perlawanan masyarakat terhadap korupsi mulai bertumpu pada pers.