Masuk Daftar
My Getplus

Soeharto Buka Praktik Pengaduan Korupsi

Komite Anti Korupsi minta Soeharto tegas berantas korupsi. Dijawab dengan buka praktik pengaduan korupsi di rumahnya.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 19 Des 2018
Anggota Komite Anti Korupsi, Ridwan Saidi, berbicara di depan Presiden Soeharto dan menterinya dalam pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, pada 14 Juli 1970. (Majalah Ekspres, 26 Juli 1970)

“Ternyata dia bukan negarawan yang baik,” kata Marsillam Simanjuntak, aktivis mahasiswa angkatan ’66 tentang Presiden Soeharto. Dia sampaikan kesan itu dalam mingguan Ekspres, 26 Juli 1970, setelah menghadap presiden di Istana Merdeka, Jakarta, pada 14 Juli 1970.

Marsillam hadir bersama sejumlah anggota Komite Anti Korupsi (KAK) seperti Ridwan Saidi (kelak menjadi budayawan), Sjahrir (kelak menjadi doktor ekonomi dari Harvard University), dan Akbar Tandjung (kelak menjadi ketua umum Partai Golkar).

KAK dibentuk di Jakarta pada 9 Juli 1970 oleh sekelompok mahasiswa dari beragam universitas dan organisasi. KAK bergerak cepat. Selama tiga hari, mereka berdemo dan mendatangi Jaksa Agung, Kapolri, ketua DPR-GR, dan penasihat Komisi Empat, komisi ad hoc yang bertugas memberikan saran dan ulasan kepada pemerintah perisoal kebijaksanaan pemberantasan korupsi.

Advertising
Advertising

Inti pertemuan KAK dengan para pejabat selalu sama: mendesak pemerintah agar lekas menindak birokrat korup di perusahaan negara dan pengusaha swasta culas. Bagi mereka, korupsi merupakan penghambat pembangunan.

KAK berencana menghimpun masyarakat ikut melawan korupsi. Kampanye antikorupsi mereka akan berpuncak pada acara Malam Tirakatan di Jalan Thamrin 15 Agustus 1970.

Baca juga: Melawan korupsi dengan Malam Tirakatan

Soeharto menyimak sepak terjang KAK. Dia mengundang mereka datang ke Istana Merdeka untuk berdiskusi. Di hadapan anggota KAK, dia menyatakan sikapnya tentang pemberantasan korupsi.

“Musuh utama Indonesia adalah gagalnya pembangunan. Saya prihatin karena ada yang berpendapat bahwa korupsi sudah di atas segala-galanya. Saya terus renungkan bagaimana memberantas korupsi tanpa menghancurkan hasil-hasil pembangunan kita,” kata Soeharto.

Soeharto menambahkan bahwa dirinya lebih menyukai pemberantasan korupsi dengan cara alon-alon asal kelakon. Dia juga meminta KAK mempercayainya sebagai presiden.

“Saya akan terus menjalankan tugas kalau masih ada yang percaya pada saya. Beban yang saya pikul tidak enteng. Tapi kalau memang sudah tidak percaya lagi, saya bersedia digantikan. Kalau ada yang sedia gantikan saya, silakan,” kata Soeharto.

KAK kurang puas dengan pernyataan Soeharto. Bagi KAK, cara pemberantasan korupsi yang baik ialah cepat tapi selamat. Mengenai soal percaya atau tidak percaya kepada Soeharto, Marsillam berpendapat bahwa hal itu “sama saja artinya dengan menutup peluang bagi kritik.”

Soeharto Buka Praktik

Menjelang pertemuan bubar, Soeharto meminta mahasiswa berdiskusi lagi dengannya beberapa hari ke depan. Kali ini dia ingin mahasiswa membawa bukti-bukti korupsi yang melibatkan pejabat sipil, militer, dan pengusaha swasta.

Soeharto menjanjikan rumahnya di Jalan Cendana, Jakarta, siap menampung temuan mahasiswa dan masyarakat terkait dugaan kasus korupsi. “Saya akan buka praktik tiap Sabtu jam 9 sampai 12,” kata Soeharto dalam Kompas, 3 Agustus 1970.

Buka praktik itu kali pertama berlangsung pada 18 Juli 1970. Soeharto menerima berbagai laporan dari masyarakat menyangkut penyelewengan dana dan jabatan pejabat sipil dan militer. Seringkali laporan itu ternyata kurang bukti dan bukan perkara korupsi, melainkan kasus perdata.

Buka praktik kali kedua terjadi pada 1 Agustus 1970. Soeharto dan KAK kembali bertemu. Tapi KAK tidak membawa bukti kasus korupsi. Mereka mengaku tidak bisa memberi Soeharto bukti korupsi para pejabat. Mereka bukan detektif, tapi bisa merasakan korupsi terjadi di Pertamina, Bulog dan perkayuan. Mereka minta Soeharto bertindak.

Baca juga: Pemberantasan korupsi setengah hati rezim Orde Baru

KAK mengatakan itu berdasarkan keterangan Wilopo, ketua Komisi Empat. “Pertamina jangan dibiarkan tumbuh menjadi satu monster yang tak terkendalikan oleh pemerintah,” tulis tajuk rencana Indonesia Raya, 4 Juli 1970, termuat dalam Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya.  

Pertemuan KAK dengan Soeharto sempat tegang. “Pertemuan hari itu tak bisa dikatakan sebagai pertemuan yang ramah. Anggota-anggota Komite yang hadir menolak untuk mengambil minuman yang dihidangkan,” tulis Ekspres, 15 Agustus 1970.

Ditambah lagi Akbar Tandjung mengajukan tiga pertanyaan kritis. Apa langkah pemerintah terhadap laporan Komisi Empat? Apa presiden bersedia ikut KAK? Apa presiden mau ikut tirakatan bareng KAK?

Soeharto menjawab satu pertanyaan secara normatif dan halus. Tapi terkait pertanyaan lain, dia menjawabnya dengan nada keras. Dia mengatakan tidak perlu ikut KAK dan Malam Tirakatan.

“KAK yang justru ikut saya,” kata Soeharto dalam Kompas, 3 Agustus 1970. Dia juga mengingatkan bahwa Malam Tirakatan punya potensi ditunggangi oleh orang-orang dengan kepentingan politik tertentu.

KAK pulang membawa kekecewaan. “Agaknya, bagi mereka, suatu pendekatan telah gagal… Tak disangka bahwa presiden paginya bersikap demikian,” tulis Ekspres.

Pembubaran KAK

Soeharto kemudian menghentikan buka praktik di rumah. Dia menugaskan Kejaksaan Agung untuk memproses laporan dari masyarakat seputar korupsi para pejabat negara.

Sementara itu, gerak KAK mulai lambat. Mereka membatalkan Malam Tirakatan, lalu membubarkan diri pada 15 Agustus 1970.

Akbar Tandjung mengatakan alasan pembubaran KAK karena tidak mau menjadi seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI), organisasi mahasiswa penentang Sukarno dan turut melahirkan Orde Baru.   

Baca juga: Mereka yang dihabisi karena memberantas korupsi

“Jika kita biarkan KAK menjadi wadah permanen seperti KAMI dulu, maka akan mudah masuk vested-interest,” kata Akbar dalam Ekspres

Asmara Nababan, anggota KAK lainnya, menambahkan alasan pembubaran KAK. “Kami ingin mencegah jangan sampai dari gerakan ini lahir pahlawan-pahlawan yang kemudian harus kami tentang sendiri kelak.”

Puluhan tahun kemudian, prediksi Asmara Nababan mendekati kenyataan. Akbar Tanjung masuk ke dalam birokrasi dan akhirnya terjerat kasus korupsi dana nonbudgeter Bulog pada 2002.

TAG

Soeharto Korupsi

ARTIKEL TERKAIT

Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto TAP MPR Dicabut, Sejarah Makin Berkabut Pencabutan TAP MPR Membuka Lagi Wacana Gelar Pahlawan Soeharto, Begini Kata Sejarawan Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup Korupsi di Era Orde Baru Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Eks KNIL Tajir Kisah Pejabat VOC Dituduh Korupsi tapi Malah Dapat Promosi Soeharto Berkuasa seperti Raja Jawa Ali Moertopo “Penjilat” Soeharto