Masuk Daftar
My Getplus

Orang Indonesia di Palagan Pasifik

Kabur dari rumah, Soedirmo Boender terjebak dalam kebrutalan Perang Pasifik.

Oleh: Hendi Johari | 24 Apr 2019
Raden Soedirmo Boender saat mengisahkan pengalamannya kepada Hanna Rambe. (Foto:Budi/Terhempas Prahara ke Pasifik)

SUATU hari jurnalis Hanna Rambe mendapat informasi menarik dari salah seorang kawannya. Sang kawan bercerita bahwa dia mengenal seorang pensiunan perwira tinggi Komando Pasukan Sandi Yudha (sekarang Kopassus) yang pernah menjadi prajurit US Army (Tentara Amerika Serikat) dalam Perang Dunia ke-2.  Namanya Raden Soedirmo Boender.

“Dia sekarang menjadi tenaga ahli sekuriti sebuah pabrik semen di Cibinong,” ujar kawan Hanna.

Hanna tertarik mengangkat kisah hidup sang veteran ke dalam tulisan. Lewat perantara kawannya itu, dia lantas menemui  Soedirmo. Alih-alih disambut baik, Hanna malah dicurigai dan diserang berbagai pertanyaan oleh calon narasumbernya tersebut.

Advertising
Advertising

“Sambil bicara, matanya tajam menyelidik. Di awal-awal, beliau memang sangat tidak kooperatif,” kenang eks wartawan majalah Mutiara itu.

Namun sebagai penulis yang sudah makan asam garam, Hanna membalas kecurigaan itu justru dengan kesabaran. Dia sangat maklum jika calon narasumbernya ini mengalami trauma akibat pengalaman pahit dalam perang.

“Saya perlu “sebuah teknik pendekatan khusus” supaya beliau mau saya wawancarai,” ungkap Hanna.

Setelah berhari-hari  bergaul akrab, lelaki itu mulai mempercayai Hanna. Dia mulai terbuka kepada gagasan untuk membuat buku yang mengisahkan pengalaman hidupnya. Terlebih saat dia berpikir untuk menghadiahkan sesuatu yang abadi kepada putri sulungnya yang akan menikah. Singkat cerita, berlangsunglah wawancara-wawancara penting itu.

Setiap melakukan wawancara, Hanna tak jarang  memutuskan untuk sejenak berhenti mengingat Soedirmo  begitu sangat emosional. Kadang dia bersemangat, kadang dia bicara terbata-bata.

“Matanya memerah dan suaranya kerap parau menahan tangis,” ungkap Hanna

Lantas seperti apakah perjalanan hidup Soedirmo hingga membuat jiwanya begitu terluka?

Baca juga: Serdadu Belanda Menolak Perangi Indonesia

Lari ke Batavia

Soedirmo lahir di Yogyakarta pada 12 Februari 1920.  Dia merupakan putra dari pasangan priyayi Jawa yang tinggal di kawasan Bintaran. Dalam bukunya yang disusun Hanna Rambe, Terhempas Prahara ke Pasifik,  Soedirmo tak pernah menceritakan secara jelas tentang masa lalunya, termasuk nama lengkap ayah dan ibunya.

Dia hanya berkisah bahwa ayahnya seorang priyayi berkumis tebal yang dingin, tak banyak bicara dan sangat kaku pendiriannya. Sang ayah memberlakukan disiplin  yang sangat ketat kepada Soedirmo kecil. Dia pun dididik dalam tradisi pantang menonjolkan diri dan taat kepada Tuhan. Semua itu membentuk Soedirmo menjadi lelaki yang berwatak keras.

Karena kekakuan sifat sang ayah itu pula, suatu hari Soedirmo bertengkar hebat dan menjadikannya terusir dari Bintaran. Itu terjadi karena soal masa depan Soedirmo sendiri. Sang ayah ingin putra sulungnya itu meneruskan sekolah di Jawa saja, sedangkan Soedirmo kukuh menginginkan lanjut ke fakultas kedokteran yang ada di AS (Amerika Serikat).

“Kebencianku kepada penjajah Belanda menjadikanku pantang mendapatkan gelar dokter berijazah Belanda,” ujar Soedirmo.

Silang pendapat itu tak menemukan titik temu. Dengan marah, sang ayah lantas memberikan pilihan kepada Soedirmo untuk mewujudkan sendiri cita-citanya tanpa bantuan keluarga. Darah muda Soedirmo menggelegak. Harga dirinya membuhul. Tanpa banyak bicara, dia pun pergi dari rumahnya menuju Batavia.

Setelah lama terlunta-lunta dan menjadi gelandangan di Batavia, Soedirmo ditemukan oleh seorang lelaki Amerika bernama Bowen. Dia kemudian diangkat anak dan disekolahkan ke AMS-Bagian B. Karena kecerdasannya, keluarga Bowen lantas mengabulkan permintaan Soemardi untuk melanjutkan sekolah ke fakultas kedokteran di AS.

Baca juga: Dirgahayu, Poncke!

Terkena Wamil

Di Amerika Serikat, Soedirmo terdaftar sebagai mahasiswa fakultas kedokteran St. Anthony College, San Francisco. Sebagai mahasiswa perantau,  dia memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dengan bekerja serabutan, mulai menjadi buruh pemetik buah hingga penyaji makanan dan minuman di restoran.

Pada 7 Desember 1941, ratusan pesawat pembom Kekaisaran Jepang menyerang Pearl Harbor. Sekitar 3000 orang Amerika menjadi korban dan pangkalan militer kebanggan militer AS itu pun hancur lebur. AS pun berang dan menantang perang Jepang. Inilah awal yang menjadikan AS terseret secara langsung dalam Perang Dunia II.

Pernyataan perang AS terhadap Jepang diikuti dengan munculnya berbagai kebijakan militer yang dikeluarkan pemerintahnya. Salah satu kebijakan itu adalah diberlakukannya wamil (wajib militer) kepada kaum muda AS yang mampu berperang.

Soedirmo tidak termasuk dalam kekecualian. Setelah menjalani latihan militer yang sangat berat, dia pun bergabung ke Divis Infanteri Angkatan Darat ke-42 yang lebih termasyhur dengan nama Rainbow Division, sebuah kesatuan pasukan infanteri yang berasal dari berbagai latar belakang bangsa.

Dia kemudian diterjunkan di palagan Pasifik. Sejak itulah Soedirmo ikut menyabung nyawa melawan militer Jepang, mulai dari Rabaul hingga Okinawa. Sebagai serdadu dia termasuk alat perang yang terampil dan berani. Karena itu, Soedirmo lantas didapuk menjadi komandan peleton dan terlibat aktif memimpin operasi-operasi  pemusnahan gua-gua pertahanan Jepang di Pasifik.

Sepanjang palagan, Soedirmo menjadi saksi betapa kejamnya perang. Dia yang tadinya bercita-cita ingin memelihara nyawa manusia justru harus terlibat dalam pemusnahan brutal sesama manusia. Hatinya yang dulu penuh cinta, sejak itu harus terbiasa menghujamkan bayonet ke tubuh lawan atau mencekik sampai mati seorang prajurit Jepang dalam pertarungan satu lawan satu.

“Kami seperti dipaksa masuk dalam hari-hari yang penuh dengan mimpi buruk,” ujar Soedirmo kepada Hanna. (Bersambung)

Baca juga: Enam Pelaut Amerika di Perang Pasifik yang Menjadi Presiden

 

 

TAG

Sejarah-Perang-Pasifik

ARTIKEL TERKAIT

Sepakterjang Batalyon yang Hilang Melindungi Kenangan Kapal Perang Sang Pilot "Mengudara" untuk Selamanya Dari Penaklukkan Carstensz hingga Serangan VOC ke Kesultanan Gowa Setelah Inggris Menjadikan Bekasi Lautan Api Saat Pelantikan KSAD Diboikot Hans Christoffel Memburu Panglima Polem Memori Getir Pembantaian Hama Bambang Utoyo, KSAD Bertangan Satu Jenderal Belanda Tewas di Lombok