Masuk Daftar
My Getplus

Serdadu Belanda Menolak Perangi Indonesia

Agar lebih "mengindonesia", Piet merubah namanya menjadi Pitojo. Ditangkap dengan barter dua ekor kambing.

Oleh: Hendi Jo | 12 Jan 2018
Piet van Staveren disambut warga Rotterdam saat keluar dari penjara. Foto: dokumen IISG.

SUATU hari di tahun 1947. Seorang anggota BKPRI (Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia) Madiun mendatangi MBT (Markas Besar Tentara) di Yogyakarta. Moerijanto, nama utusan BPKRI itu, memohon agar MBT membebaskan Piet van Staveren dan menyerahkannya kepada mereka.

“Aku pikir mustahil orang-orang kiri itu (BPKRI) melakukan hal tersebut jika sebelumnya tidak dikonfirmasi oleh Partai Komunis Belanda (CNP) bahwa ada anggotanya yang sedang ditahan pihak tentara Indonesia,” ungkap J.C. Princen.

Lewat lobi-lobi tingkat tinggi yang sangat alot, Piet kemudian berhasil diboyong ke Madiun. Menurut Asmudji, di Madiun dia disambut dan diperlakukan layaknya seorang pahlawan oleh orang-orang kiri. Nyaris tiap hari, secara bergilir Piet selalu didapuk untuk menceritakan pengalaman hidupnya hingga sampai Indonesia di hadapan para kader Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Bisa dikatakan Piet seolah menemukan habitatnya di Madiun

Advertising
Advertising

“Ia menikmati kebersamaan dengan kawan-kawan kirinya di BKPRI dan perlakuan terhadapnya sangat diistimewakan. Itu terbukti dengan ditempatkannya Piet serumah dengan para pemimpin PKI seperti Amir Syarifuddin, Moeso dan Soeripno,” tulis Martijn Blekendaal dalam Indië-Ganger in Gewetensnood

Aktif di Radio Gelora Pemuda

Di Madiun, Piet juga bertemu lagi dengan Moerianto Koesoemo Oetojo, sahabat lamanya kala aktif di gerakan bawah tanah melawan pendudukan Jerman di Belanda. “Moerianto kemudian menyediakan tempat untuk van Staveren di Radio Gelora Pemuda…” ujar sejarawan Harry A. Poeze.

Sejak itulah Piet sudah resmi tercatat sebagai anggota BKPRI. Secara struktur, dia ditempatlan di bagian agitasi propaganda. Selain memimpin siaran Radio Gelora Pemuda (kemudian berganti nama menjadi Radio Front Nasional) khusus untuk program luar negeri, ia pun bertugas membuat selebaran. “Dia menulis pamflet-pamflet politik mengatasnamakan dirinya dalam nama samaran: Peter Volkland, Komandan Brigade Internasional Batalion Zevenprovinciën…” ungkap Martin Blekendaal.

Zevenprovinciën adalah nama sebuah kapal perang legendaris milik Angkatan Laut Belanda yang pernah dibajak awaknya di perairan Sumatera pada 1933. Pemberontakan massif ini bukan saja didukung oleh para marinir dan kelasi bumiputera tapi juga melibatkan kalangan Belanda totok dan Indo yang dicurigai berafiliasi ke serikat buruh sayap kiri.

Untuk menegaskan “keindonesiannya”, pada November 1947, Piet diantar oleh Murijanto mengajukan permintaan untuk diterima sebagai warga negara Republik Indonesia. Tak menunggu waktu lama, permintaan tersebut langsung diluluskan oleh Menteri Kehakiman RI yang saat itu dipegang oleh Mr. Susanto Tirtoprodjo. Sejak itulah Piet lantas mengganti namanya menjadi lebih Jawa: Pitojo Koesoemo Widjojo.

Terlibat Insiden Madiun

Madiun, 18 September 1948. Satu letusan pistol tiba-tiba memecah keheningan malam. Tembakan tersebut kemudian disusul oleh rentetan suara senjata otomatis. Dari lorong-lorong kota, lantas bermunculan pasukan berpakaian serba hitam dengan syal merah di lehernya. Mereka langsung menyerang beberapa instalasi militer milik pemerintah: markas Corps Polisi Militer, Markas Staf Pertahanan Jawa Timur dan tangsi polisi, lalu mendudukinya.

“Dalam waktu beberapa jam saja, Madiun berhasil dijatuhkan oleh sebuah kudeta militer dari kelompok yang menamakan diri sebagai Pemerintah Front Nasional…” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan.

Namun penguasaan itu tidak berlangsung lama. Pemerintah Hatta bereaksi dengan mengirimkan pasukan penggempur ke Madiun. Kendati pada mulanya, Pemerintah Front Nasional yang didukung oleh unsur-unsur PKI, Partai Buruh, Pesindo, SOBSI dan kesatuan-kesatuan tentara dari Divisi Panembahan Senopati bisa mengimbangi gempuran tersebut, namun lambat laun kekuatan mereka cerai berai. Itu disebabkan selain miskinnya koordinasi di antara pasukan, juga di kalangan kekuatan politik sayap kiri nasional tak ada kata seiring sejalan.

“Yang lebih tragis lagi adalah pernyataan PKI Bojonegoro, Sumatera dan Banten yang menyatakan tetap setia kepada pemerintahan Soekarno-Hatta,” ungkap Soe Hok Gie.

Begitu pasukan sayap kiri dipukul mundur oleh kekuatan militer pemerintah di bawah pimpinan Divisi Siliwangi pada Oktober 1948, sebagian dari mereka tercecer dan menjadi tawanan di Madiun. Salah satu tokoh sayap kiri yang tertawan itu adalah Pitojo. Namun tanpa alasan yang jelas, Pitojo kemudian dilepas. Ia kemudian menggabungkan diri dengan sisa-sisa kekuatan sayap kiri di Pacitan.

Ditukar dengan Dua Kambing

Hampir setahun lamanya Pitojo turun naik gunung dan berjuang di hutan-hutan sekitar Pacitan dan Gunung Lawu. Sebagai tenaga palang merah, ia banyak menolong puluhan bahkan mungkin ratusan gerilyawan yang menjadi korban tembakan rekan-rekan sebangsanya. Hingga tibalah hari gencatan senjata pada Agustus 1949.

Sesuai kesepakatan antar kedua belah pihak, maka pada 24 September 1949 para gerilyawan turun gunung dan bergerak kembali ke kota. Begitu juga yang berlaku pada pasukan yang ditempati Pitojo mereka memutuskan untuk keluar dari gunung dan turun ke Solo. Pada saat proses turun gunung inilah sebuah kejadian licik dan mengecewakan terjadi pada diri Pitojo.

Saat itu Pitojo tengah berjalan memasuki Solo, ketika dua perwira TNI mengendarai jip berbendera PBB mendekatinya. Mereka lantas menanyakan identitas dan memerintahkan Pitojo untuk naik ke atas jip. Alasannya ia akan dipertemukan dengan para petugas dari UNCI (Komisi PBB untuk Indonesia). Tanpa curiga, Pitojo menuruti perintah tersebut dan bergeraklah jip tersebut ke dalam kota.

Pitojo baru merasa curiga ketika di tengah jalan, jip yang mereka tumpangi berhenti tiba-tiba. Tak lama kemudian munculah dua polisi militer Belanda dengan masing-masing sepucuk pistol di tangan mereka dan langsung meringkusnya. Rupanya militer Belanda tak pernah lupa terhadap “pengkhianatan” salah seorang mantan anggotanya dan dengan memanfaatkan “jasa” dua perwira Indonesia tersebut, mereka berhasil mendapatkan buronannya secara mudah.

“Ia ditukar oleh kedua perwira Indonesia itu dengan dua ekor kambing dari polisi militer Belanda…” ungkap J.C. Princen seperti yang dituturkan kepada Joyce van Fenema dalam Een Kwestie van Kiezen.

Selama ditahan oleh rekan-rekan sebangsanya, Pitojo kerap mengalami siksaan dan hinaan. Dalam sebuah interogasi, bahkan kaca matanya pecah akibat pukulan seorang serdadu ke mukanya. Dari Solo ia kemudian dibawa ke Jakarta dengan menggunakan kendaraan lapis baja. Setelah “dimainkan” oleh polisi-polisi militer Belanda di Jakarta, pada Januari 1950, ia dikirim ke Belanda.

Usai meringkuk selama tiga bulan di penjara militer Belanda, ia lantas diadilii mahkamah militer di Velde. Ketika jaksa penuntut umum menanyakakan kenapa ia melakukan desersi dan tega menjadi pengkhianat bagi bangsanya, dengan gagah berani, Pitojo menjawab: “Saya tidak mau ambil bagian dalam aksi militer untuk melawan Republik dan rakyat Indonesia…”

Pengadilan militer Belanda kemudian mengganjar Pitojo dengan hukuman kurung selama 8 tahun. Aksi demonstrasi dan protes pun bermunculan, baik di dalam negeri Belanda sendiri maupun di kalangan masyarakat Indonesia dan dunia internasional. Penulis ternama Anna van Gogh Kaulbach, penulis Martin Andersen Nexo, penulis Howard Fast dari Amerika Serikat dan tokoh perdamaian Cekoslowakia Gusta Fucikowa, termasuk deretan orang-orang yang menuntut pembebasan Pitojo dari penjara.

Karena desakan khalayak yang bertubi-tubi, pada 3 Agustus 1954, pemerintah Belanda akhirnya membebaskan Pitojo dari penjara. Kebebasan Pitojo disambut gembira oleh para pendukungnya. Di Rotterdam, diadakan penyambutan besar-besaran kepada Pitojo. Kendati tidak semeriah di Belanda, sambutan antusias atas pembebasan Pitojo pun diperlihatkan oleh masyarakat Indonesia.

Terhadap ucapan selamat dari orang-orang Indonesia ini, Pitojo membalasnya dalam suatu surat khusus. “Saya ingin menyampaikan harapan agar rakyat Indonesia mempunyai keteguhan hati dalam perjuangan melawan imperialism…” demikian bunyi salah satu bagian dari surat tersebut seperti dikutip oleh Eric Mol dalam Vrijheid voor Piet van Staveren.

TAG

piet van staveren

ARTIKEL TERKAIT

Dulu Tentara Kudeta di Medan Protes Sukarno soal Kemelut Surabaya Diabaikan Presiden Amerika Sebelum Jenderal Symonds Tewas di Surabaya Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Pelatih Galak dari Lembah Tidar Pangeran Pakuningprang Dibuang Karena Narkoba Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis) Melihat Tentara Hindia dari Keluarga Jan Halkema-Paikem Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian I) Azab Pemburu Cut Meutia