Dari Jawa Tengah, pasukan Banteng Raider (BR) dikirim jauh-jauh ke Sumatra untuk melawan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). BR yang berasal dari Komando Tentara dan Teritorium Diponegoro, Jawa Tengah –hingga akhir 1959, panglima Diponegoro adalah Kolonel Soeharto– punya reputasi yang mumpuni. Sebab, lawan yang dihadapi bukan “kaleng-kaleng”.
“Ketika PRRI mengangkat senjata melawan pemerintah pusat, maka dukungan serta bantuan pihak Amerika Serikat dan sekutunya diwujudkan dalam bentuk yang lebih nyata. Bantuan itu antara lain terlihat dari suplai senjata,” catat Gusti Asnan dalam Memikir ulang Regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an.
Selain senjata, Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998 menyebut, pelatihan pun diberikan kepada PRRI.
Baca juga: Agen Lokal CIA di Sumatra
“Kalau tentara rezim Sukarno berani menginjakkan kakinya di bumi PRRI, maka sejengkal tanah pun akan kami pertahankan sampai tetes darah yang penghabisan,” seru PRRI seperti dicatat Sersan Mayor Bandel dalam Madjalah Angkatan Darat, 6 Juni 1958. Cerita Sersan Mayor Bandel ini tentu berdasarkan sudut pandang Angkatan Darat sebagai lawan PRRI.
Tentu saja PRRI sedang merasa kuat kala itu. Jadi mereka berusaha menggetarkan dulu lawannya yang akan mendarat.
Toh, gertakan itu semata bentuk psy war. Ketika pasukan pusat, termasuk BR, mendarat di Pekanbaru kemudian, perlawanan yang mereka terima tak semenakutkan gertakan lawan.
“Kami hanya melepaskan beberapa butir peluru, kemudian kami menyusir daratan Riau dan setiap berpapasan dengan satuan-satuan pemberontak (PRRI), hanya penembak Bren dari regu yang terdepan saja yang memuntahkan beberapa pelurunya, dan satu-satuan pemberontak tersebut sudah mengangkat tangannya tinggi-tinggi,” kata Sersan Mayor Bandel.
Pasukan PRRI tak punya disiplin tempur yang baik. Mereka dengan mudah menyerah.
Baca juga: Kisah Jenaka Para Petinggi PRRI/Permesta
Akhirnya pasukan BR, yang punya pengalaman melawan pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Tengah itu, jadi tidak merasa bertempur. Tugas tempurnya seperti melakukan perjalanan ke daerah yang tak dikenal saja. Pasukan BR itu kemudian tiba di Sawahlunto.
Sebuah regu BR punya seorang kopral senior yang berpengalaman dalam pertempuran. Kopral ini dijuluki Kopral Dukun. Suatu kali Kopral Dukun dan beberapa prajurit bawahannya hendak menyergap sebuah pos senapan mesin Watermantel.
Kopral Dukun bergerak maju mendekati posisi senapan mesin itu dengan hati-hati. Setelah berjarak 4 meter dengan pos senapan mesin, Kopral Dukun melemparkan pisaunya ke salah satu pelayan senapan. Pelayan senapan mesin yang lain lalu dilempari batu sebesar nanas hingga pingsan. Penembak senapan mesin PRRI itu lalu melihat ke ke arah Kopral Dukun.
“Aku kopral Banteng Raiders! Kamu mau apa?” kata Kopral Dukun.
“Saya akan bertobat, Pak!” kata si penembak.
Setelahnya, anggota PRRI lain di tempat itu pun menyerah. Senjata-senjata mereka tentu saja disita tentara pemerintah yang datang dari Jawa.