SEJARAH militer Indonesia tak pernah sepi dari insiden bentrokan antara sesama kesatuan. Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, kini Kopassus) pernah bentrok dengan kesatuan elite Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL, kini Marinir) pada 1964 di Kwini dan Pasukan Gerak Tjepat Angkatan Udara (PGT) pada 1965 di Halim Perdanakusumah.
Namun, tak banyak orang tahu bahwa RPKAD pun pernah bentrok dengan Menpor (Resimen Pelopor, sekarang Brimob). Dalam Resimen Pelopor, Pasukan Elit yang Terlupakan, Anton Agus Setiyawan dan Andi M. Darlis mengungkap bentrokan yang terjadi pada pertengahan 1968 itu.
Insiden diawali oleh datangnya seorang sopir oplet ke asrama Menpor di Kelapa Dua, Depok pada suatu siang. Dia menyerahkan jasad seorang prajurit Menpor. Sebelum pingsan, sopir itu mengatakan kepada petugas pos jaga bahwa prajurit Menpor itu tewas ditembak dari jarak dekat oleh personel RPKAD.
Baca juga: Baret Merah (Kopassus) vs Baret Ungu (KKO/Marinir)
Setelah melakukan identifikasi, prajurit Menpor tersebut adalah anggota Kompi F yang baru saja lulus pendidikan. Menerima laporan tersebut, Wakil Komandan Menpor AKBP Soetrisno sontak menjadi berang. Alih-alih menenangkan prajuritnya, dia malah memerintahkan tiga kompi Menpor (Kompi A, Kompi B dan Kompi D) untuk menyiapkan perlengkapan tempur dan mengisi senjata AR 15 dengan lima magasin peluru tajam.
“Mereka diperintahkan untuk menduduki Cijantung yang merupakan markas sekaligus asrama RPKAD. Sementara kompi lain diperintahkan bersiaga mengantisipasi serangan balasan,” tulis Anton dan Andi.
Tiga kompi ini dipecah kedalam beberapa peleton dan berjalan kaki menuju Cijantung. Peleton pertama yang tiba di Cijantung berhasil menyusup dengan cara memotong pagar kawat di belakang markas RPKAD. Hanya dalam hitungan menit, dua kompi masuk ke markas RPKAD, satu kompi di luar untuk mengantisipasi perangkap RPKAD. Setelah melakukan penyisiran, ternyata asrama sudah dikosongkan.
Baca juga: AU di Tengah Pertempuran Dua Pasukan AD
Prajurit Menpor menduduki markas RPKAD hingga pukul 06.00 pagi. Beberapa saat kemudian, datanglah sepasukan tentara dipimpin langsung oleh Pangdam V Jaya Mayjen. Amir Machmud. Dari atas tank, dia berseru agar prajurit Menpor segera meninggalkan Cijantung atau akan dianggap pasukan liar dan diambil tindakan keras.
Prajurit-prajurit tidak gentar dan malah mengarahkan senjatanya kepada Pangdam Jaya. Seorang prajurit bertanya kepada AKBP Soetrisno, “Bagaimana, Pak Tris? Pangdam Jaya ditembak, tidak?” Soetrisno memberi perintah untuk menunggu. Tak lama kemudian, Kombes Polisi Anton Soedjarwo, komandan Menpor, yang tidak mengetahui penyerbuan anak buahnya ke markas RPKAD, memerintahkan mereka untuk membubarkan diri. Barulah para prajurit Menpor mengundurkan diri dari Cijantung.
Baca juga: Misteri Insiden Kwini
Seminggu setelah kejadian itu, pasukan Menpor memakai pakaian sipil dengan menggunakan truk yang diganti pelat nomornya menculik prajurit RPKAD yang pulang cuti. Prajurit RPKAD malang itu ditusuk dengan pisau komando dan mayatnya dibuang di jalan. Pada pekan berikutnya, aksi ini didukung Batalion 530 Brawijaya yang tengah bertugas di Jakarta. “Pasukan ini memberi dukungan berupa tank yang digunakan untuk berkeliling menculik para prajurit RPKAD,” tulis Anton dan Andi.
Para petinggi TNI dan Polri segera melakukan penyelidikan. Hasil penyelidikannya tidak pernah diumumkan kepada publik. Menpor dan RPKAD didamaikan dengan cara apel dan kegiatan bersama.